Mohon tunggu...
Debora Audrey
Debora Audrey Mohon Tunggu... -

Desainer abstrak dari kalangan anak muda merangkap EXO-L modal wifi. Biasanya gemar memandangi yutup dari layar laptop sambil makan Koko Crunch yang sudah lembek. Masih berdoa suatu hari nanti bisa keliling dunia pake kartu gesek aja bersama orang-orang yang Tuhan tempatkan di hidup ini untuk selamanya sampai maut memisahkan Amin.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wajah Lesu Perkomikan Lokal

17 Mei 2017   14:00 Diperbarui: 17 Mei 2017   14:18 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komik berarti “cerita bergambar (dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu”. Para ahli menyepakati bahwa komik pertama kali muncul di dunia pada tahun 1837, yang dibuat dan diterbitkan oleh Rudolphe Topffer berjudul “Les Amours de Mr. Vieux Bois”, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, yang artinya adalah “The Adventures of Obadiah Oldbuck”. Sementara komik pertama di Tanah Air adalah komik strip berjudul “Ko Put On” ciptaan Kho Wan Gie, seorang Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi pelopor komik strip pertama di Indonesia.

Perjuangan komika Indonesia tidak terhenti sampai di titik tersebut saja. Para komikus lokal jadulkita terus memproduksi komik-komik heroik yang terinspirasi dari wabah komik superhero dari negeri Paman Sam, Amerika. “Si Buta dari Gua Hantu”, “Gundala Putra Petir”, dan “Godam” hanyalah segelintir superhero lokal yang sempat melejit di era keemasan perkomikan lokal, yakni pada 1960-1970an. Namun masa-masa tersebut tidak bertahan lama, sebelum akhirnya komik-komik impor dari Hongkong menggusur komik-komik lokal di pasaran pada 1980an, disusul oleh manga dari Jepang pada 1990an hingga sekarang. Penulis cukup yakin bahwa popularitas komik Jepang nyaris menenggelamkan komik lokal di pabrikannya sendiri. Contoh yang paling sederhana adalah “Garudayana” yang eksistensinya seakan tak terendus di publisher Tanah Air sekelas Gramedia. Kisah fantasi yang mengadaptasi tokoh pewayangan Gatotkaca tersebut baru mendapat perhatian dari pembaca lokal setelah meraih popularitas melalui penerbit online asing, Digital Catapult, yang lagi-lagi berasal dari Jepang. Sedikit mengingatkan penulis pada sebuah film animasi anak-anak yang diapresiasi oleh masyarakat, setelah dibeli oleh negeri tetangga terlebih dahulu karena tidak direspon oleh pasar sendiri. Seharusnya sekarang para pembaca sudah dapat membayangkan sosok dua bersaudara laki-laki berdialek Melayu, yang terkenal akan kepala plontos dan kelucuannya.

Jika mengamat-amati cerita di atas, kesannya industri perkomikan Indonesia memang miris, lesu, dan menyedihkan. Namun, siapa yang patut menerima predikat tersebut? Para komikus? Ataukah para pembaca? Melihat akar permasalahannya, bukankah respon pasar sendiri yang memengaruhi respon pembaca? Berkaca dari insiden film Upin Ipin yang telah disebutkan di atas. Inti permasalahannya tidak terletak pada output anak Bangsa ini, melainkan tanggapan mereka yang bertanggungjawab mempromosikan karya para seniman kita. Direktur Caravan Chris Lie, yang dikenal melalui komik G. I. Joe dari Amerika, menuturkan bahwa perkembangan komik di Indonesia sebenarnya bergantung pada penghargaan atas karya-karya itu sendiri. Selain penghargaan, karya tersebut perlu dilindungi dalam bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang masih menjadi isu hangat sampai hari ini. Chris menilai, kedua hal tersebut masih kurang didistribusikan secara merata dibandingkan dengan di Amerika. Jadi, siapa yang sebenarnya mendalangi permasalahan tersebut? Apakah semua ini memang murni kesalahan para publisher Tanah Air yang seharusnya bertanggungjawab melindungi dan mengayomi komikus Indonesia?

            Komik impor Jepang menempati penjualan terbesar di Indonesia pada era 90’an, yakni sebesar 90%, menurut data yang dikeluarkan oleh grup Gramedia. Hal tersebut berarti ada 10% lainnya yang terdiri dari komik non-Jepang, Indonesia pasti termasuk di dalamnya. Perkiraan ini didukung oleh statement Luthfi Fazar Ridho, seorang copywriter asal Indonesia. Ia mengungkapkan dalam kurun waktu sebulan ada 1400 judul komik Jepang dan 400 judul komik Korea yang masuk Indonesia, sedangkan hanya ada empat judul komik lokal yang mampu menembus pasar dalam waktu yang sama. Kedalaman tema yang disuguhkan oleh komik-komik lokal juga membutuhkan riset, contohnya seperti Naruto. Komik yang bercerita tentang petualangan ninja yang disuguhkan oleh Masashi Kishimoto sangat detail, mulai dari adanya klan hingga jurus yang dimiliki oleh setiap karakter, ada riset sebelum pembuatan cerita dimulai. “Itu yang dibutuhkan oleh komik-komik Indonesia. Bukan hanya storytelling yang bagus atau gambarnya yang menarik, tapi ada riset yang mendalam supaya cerita dan keseluruhan komik ini punya kekuatan,” jelas Fazar.

            Mengamati dari segi bisnis, komik adalah lapangan pekerjaan yang belum bisa menjadi industri yang bisa diandalkan. “Permasalahannya saat ini adalah komik kita selalu dijual dengan harga lebih mahal daripada komik luar. Ini karena komik luar menjual lisensinya ke penerbit Indonesia dengan sangat murah sehingga harga jualnya pun murah,” tutur Sweta Kartika, komikus Grey dan Jingga, serta beberapa komik lokal lainnya, ketika diwawancarai CNN Indonesia saat Popcon Asia 2015 Agustus silam. Dalam berbisnis, ada persaingan yang ketat pastinya agar dapat menguasai market dan pikiran masyarakat. Campur tangan pemerintah Indonesia pun dibutuhkan oleh komikus Indonesia agar dapat bersaing. Subsidi harga kertas untuk komikus lokal adalah salah satu bentuk bantuan yang dapat diberikan oleh pemerintah menurut Sweta, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia. “Pemerintah harus benar-benar turun. Bisa dengan mengadakan program seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) tapi khusus komik,” lanjut Sweta dalam wawancaranya.

            Menyinggung harga jual yang mahal, biaya produksi komik lokal pun tidak murah karena kurangnya dukungan pemerintah. Bahkan persoalan tersebutlah yang juga mengakibatkan penerbit memhilih cara yang lebih ekonomis, yakni membeli hak untuk menerbitkan komik impor. Situasi serba mepet inilah yang memunculkan produksi komik independen di Indonesia. Komik independen, atau dikenal juga sebagai komik indie, disuguhkan secara berbeda dibandingkan saingannya yang terlihat lebih apik. Sepintas komik independen terlihat seperti poster dengan beberapa panel bercerita gambar, tetapi itulah penampakannya yang membuatnya dijuluki sebagai komik fotokopi. Lebih tepat mengatakannya sebagai komik liar ketimbang komik cantik karena komik ini memang ungkapan dari sebuah pribadi, bahkan untuk mengkritik sesuatu, mulai dari politik sampai agama, hingga kadang melewati batas estetika, moral, dan kultur, tutur Beng Rahardian, komikus dari negeri yang sama. Komik ‘aneh’ yang terlanjur melebihi batas itu menjadi terkesan vulgar bahkan sampai cenderung porno. Bukan menjadi sebuah rumor yang kabur lagi, jika pornografi dilarang di Indonesia. Hal ini jelas membuat komik independen harus didistribusikan secara terbatas, bahkan secara informal di kalangan masyarakat. Sistem distribusi yang tidak biasa ini yang menciptakan idiom underground comic di antara masyarakat.

            Distribusi yang kurang fleksibel sebenarnya tidak mengurangi jumlah peminat komik underground di Indonesia. Menilik segi jumlah, penggemarnya pun tetap banyak, hanya saja tidak merata di segala kalangan karena yang dapat menerima genre tersebut kebanyakan dari kalangan penikmat seni. Athonk adalah salah satu komikus independen yang cukup sukses di Indonesia. Penyampaian ceritanya kerap menggunakan istilah rockditambah dengan bahasa Inggris yang ngawur, jelas tidak semua orang dapat mengerti aliran musik rock jika tidak menikmatinya. Harga jual yang murah meriah juga mendukung penyebaran komik ini di Indonesia, karena harga selalu menjadi momok utama bagi masyarakat Indonesia. Namun pendistribusian itu juga bergantung pada kemauan komikus, contohnya Athonk yang tidak ingin mendaftarkan komiknya pada Hak Kekayaan Intelektual karena ingin meraih pangsanya sendiri secara independen, padahal telah disebutkan jauh di atas bahwa sebenarnya komikus Indonesia memerlukan hak intelektual untuk melindungi karyanya. Di samping isu distribusi, masih ada isu lain yang menggerus komik lokal, yakni isu bahasa. Para seniman tidak mampu mengemas materi dengan bahasa yang ‘enak’ dibaca, sehingga mistargeting-lah dalang utamanya isu ini, dimana bahasa, termasuk gaya cerita juga, dibawakan oleh komikus kepada target pembaca yang tidak pas. Kreativitas komikus lokal masih terpengaruh oleh gaya mangaka Jepang. Buktinya, masih saja ada komikus lokal yang ‘muncul’ di rak toko buku, tetapi dengan bersembunyi di balik nama pena yang berbau Jepang seperti Anzu dan Shinju Arisa. Karakteristik cerita yang disuguhkan seakan tak menggambarkan budaya lokal, misalnya saja kisah cinta segitiga dan seragam sailor yang dipakai di kalangan SMA. Isu ini masih berkaitan dengan pendapat Fazar sebelumnya bahwa cerita itu harus detil dan memerlukan riset.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya hampir semua pakar perkomikan yang kita percayai ini mengumbar permasalahan saja. Perasaan skeptis, kecewa, bahkan melempem pasti mulai muncul di benak pembaca masing-masing, apalagi penulis yang kerap kali mendengar kata-kata seperti ini “komik Indonesia yang mana, ya?”, “bagusan komik Jepang, dong!”, “komikus, kan dari Jepang.” Namun, apakah memang benar-benar seperti itu kenyataannya? Apakah komik-komik lokal memang mati sepenuhnya? Karena sepertinya komik lokal dari level underground masih berjaya, walau tak pernah menampakkan diri di rak buku toko. Jadi, manakah yang sebetulnya tepat? Semua komik lokal lesu, atau komik tertentu lesu di kandang sendiri? Yang kandangnya tidak lain adalah publisher itu sendiri?

Penulis akan mencoba mengumpamakan pasar komik nan besar dan luas menjadi lebih sederhana dengan logika sehari-hari. Misalkan anda mempunyai sebuah kedai yang menjual beberapa jenis makanan, mana yang akan diberi label “recommended”? Atau justru anda akan melabeli semuanya? Tentu sebagai seorang yang menjalankan bisnis, anda akan menonjolkan yang lebih menambah pemasukan. Kurang lebih itulah yang terjadi pada pasar komik kita. Seorang penerbit tidak berbeda dengan seorang pebisnis toko buku yang memikirkan cara untuk meraih target penjualan yang sudah ditentukan setiap bulannya. Maka dari itu, penerbit pasti akan lebih melirik buku-buku yang diminati oleh target konsumen mereka. Semuanya murni untuk kepentingan bisnis, bukan untuk mematikan atau kurang mendukung komik lokal sendiri, meski kesannya ada unsur anak emas dan anak tiri dalam dunia perkomikan ini. Secara alamiah, perasaan ragu pasti akan muncul ketika kita berusaha mempromosikan sesuatu yang kurang menjanjikan. Membahas permasalahan promosi, mungkin promosi dari pihak pemerintah masih kurang gencar karena kurangnya perhatian pada sektor ini karena komikus bukanlah lapangan pekerjaan favorit di Indonesia, selain itu sektor industri pariwisata dan pemerataan pembangunan daerah lebih diperhatikan akhir-akhir ini. Komik digital juga lebih didukung di era digital seperti sekarang ini, sehingga komik fisik terkesan lesu, atau mungkin mati.

Di samping itu, ada kesenjangan yang sangat kontras di antara komik impor dan komik lokal, tidak kasat mata, tetapi dapat dirasakan melalui perasaan pembaca. Kenyamanan dan kepuasan ketika melihat konflik demi konflik cerita mengalir hingga akhirnya terselesaikan itu kurang dapat dirasakan oleh para pembaca ketika mencoba mencicipi karangan komikus Indonesia, tak terkecuali saya sendiri. Kebalikannya, kita dapat mengikuti jalan cerita komik impor tak peduli seberapa panjang pun episodenya dengan sangat antusias, contohnya saja One Piece. Bahkan pembaca seakan tidak lelah menunggu episode kelanjutan yang belum muncul di Indonesia dan rela membayar lebih untuk mendapatkan merchandise karakter komiknya yang tidak murah. Apa yang menyebabkan komik Indonesia seakan kurang bersahabat di hati para pembaca? Logika manusia cenderung akan bekerja lebih cepat ketika menemukan hal-hal yang kurang masuk akal, atau sekadar tidak sesuai dengan harapan. Bagaimanakah perasaan anda jika sedang membaca sebuah komik tentang kisah cinta anak SMA dari Indonesia, kemudian ia dikisahkan berangkat ke sekolahnya dengan berjalan kaki, kemudian bertabrakan di persimpangan jalan dengan sesosok laki-laki yang sudah pasti menjadi pacarnya di akhir cerita? Padahal semua orang tahu bahwa berangkat sekolah via jalan kaki bukanlah budaya orang Indonesia. Apalagi jika anak-anak SMA itu memakai seragam sailor lengkap dengan sweater rajutan yang tebal di tempat beriklim hangat?

Kadang, atau malah umumnya pembuatan komik Indonesia cenderung latah dengan tren perkomikan. Bahkan saya sendiri pernah mendapati komik lokal era 90’an yang mengisahkan perjuangan anak sebatang kara yang gemar menari balet, dan tiba-tiba saja pacarnya yang awalnya tidak bisa apa-apa langsung dengan mudahnya menguasai balet agar bisa berduet dengan pujaan hatinya sekaligus untuk balas dendam pada orang-orang yang pernah meremehkannya. Setelah menamatkan satu jilid, dengan melompati beberapa lembar panel yang bertele-tele, saya hanya mengembalikannya ke rak perpustakaan sekolah sambil menggelengkan kepala. Tren komik cantik Jepang yang sarat akan gadis cantik yatim piatu dan penokohan yang kaku dan puitis memang pernah meledak di Tanah Air di era ‘90an. Namun, jika diterapkan di Indonesia tentunya tidak relevan karena balet sendiri kurang digilai masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun