Ketika kita membuka buku yang saya tulis : "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: Grasindo, 1998 dan 2008, karena diterbitkan dua kali), kita akan mendapatkan pendapat pemikir dan ahli ekonomi, Prof.Dr. Soemitro Djojohadikoesomo menulis kesannya tentang salah seorang saksi penandatangan Surat Perintah 11 Maret 1966 itu.
Melalui surat pengantar dari isteri almarhum Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, yaitu Nyonya Sriwoekan, saya mewawancarai mantan Menteri Negara Ruset, Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan itu. Ternyata hubungan baik antara Jenderal Basoeki Rachmat tidak hanya sebatas dengan Soemitro, tetapi juga antara Jenderal Basoeki dan ayah Prof. Dr. Soemitro, yaitu Margono.
Melihat kebijakan Presiden Soeharto terhadap mantan anggota Pemerintah Revolusionar Republik Indonesia (PRRI) pun tidak ada masalah, termasuk Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesumo yang pada waktu itu Menteri Perhubungan dan Pelayaran PRRI. Ia dipanggil dari Singapura dan kemudian diangkat menjadi menteri.
Memang di masa Presiden Soeharto masalah PRRI dianggap selesai. Faktanya di masa Presiden Soekarno ada ganjalan, di masa pemerintahan Presiden Soeharto dianggap selesai. Sebaiknya Sejarah PRRI ditulis ulang. PRRI sejak awal bukanlah pemberontak. Saya lebih menyebutnya ketidakpuasan rakyat Sumatera Barat terhadap ketimpangan pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera.
Data Primernya ketika saya berkunjung ke rumah tokoh PRRI, Ahmad Husein (dua kali) - rumahnya waktu itu di Ciganjur, Jakarta Selatan - saya langsung menanyakan, apakah Bapak pemberontak ? Beliau waktu itu sedang duduk di kursi roda, sakit, dan menyatakan "tidak" sambil menggelengkan kepala. Hal ini dipertegas oleh isterinya yang duduk di samping, bahwa suaminya itu bukanlah seorang pemberontak.
Pada waktu menulis buku "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar" ini, saya dikenalkan dengan sesepuh Jawa Barat, Solihin Gautama Purwanegara (GP). Ia adalah Gubernur Jawa Barat 1970-1975 dan banyak mengenal Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat. Ketika ingin pulang dari Bandung, setelah bermalam di rumah beliau, lalu kembali ke Jakarta, saya diberi sebuah buku kenang-kenangan sebuah buku: "Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI Madiun," di mana Solihin GP banyak terlibat di dalamnya.