Mohon tunggu...
DANIK SRIMULYANI
DANIK SRIMULYANI Mohon Tunggu... Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta -

Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Problematika Khumus Dalam Ekonomi Islam

29 Agustus 2017   22:44 Diperbarui: 29 Agustus 2017   23:25 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam suatu negara tentu saja membutuhkan suatu penerimaan pendapatan ke dalam kasnya. Hal ini untuk kesejahteraan negara itu sendiri. Selama ini yang kita kenal sumber penerimaan negara diantaranya adalah pajak. Di Negara-negara kaum kapitalis pendapatan dibebankan pada rakyatnya, yang terkadang sering mencekik warganya. Bahkan Negara jika tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka mereka melakukan pinjaman dari luar negeri.

Dalam dunia Islam, Negara memiliki sumber-sumber pendapatannya tidak dibebankan pada masyarakat sepenuhnya. Negara mengandalkan sumber daya alam dan potensi lainnya untuk mendapatkan pemasukan. Keuangan public Islam masa awal telah membedakan sumber-sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat.

Selain zakat, khumus adalah salah satu pilar penting dalam perekonomian Islam yang dianjurkan untuk dipenuhi oleh setiap Muslim. Tetapi, jika zakat sudah begitu populer di kalangan kaum Muslim, lain halnya dengan khumus. Bahkan tidak sedikit yang memahaminya dengan keliru. Padahal pada masa permulaan Islam, kedua sistem ekonomi Islam tersebut - zakat dan khumus-, yang bertujuan mensejahterakan masyarakat, dijalankan dengan lancar dan baik.

Menurut Adiwarman Azwar Karim, sumber-sumber pendapatan negara pada masa Rasulullah Saw dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Dari kaum Muslim, terdiri dari zakat, ushr (5-10%), ushr (2,5 %), zakat fitrah, wakaf, amwal fadhilah, nawaib, sedekah lain, dan khumus, (2) dari non Muslim, terdiri dari jizyah, kharaj, ushr (5%), dan (3) dari umum (primer-sekunder), yang terdiri dari ghanimah, fa'i, uang tebusan, pinjaman dari kaum Muslim atau non Muslim, hadiah dari pemimpin atau pemerintahan negara lain.

Tetapi dalam perkembangan berikutnya khumus hanya populer di kalangan Syi'ah, sementara di kalangan Sunni kurang populer. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pemahaman dalam memahami ayat Al-Quran yang berkaitan dengan khumus, yang turun ketika Perang Badar.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Anfal : 41)

Ayat ini berbicara tentang ghanimah, sebagai perincian pesan ayat pertama QS. al-Anfal. Pada ayat pertama mereka bertanya tentang al-anfal dan dijawab bahwa al-anfal adalah milik Allah, dan Rasul Saw diberi wewenang untuk membaginya atas petunjuk Allah, maka ayat ini mengemukakan petunjuk pembagian tersebut. Mayoritas ulama Sunni mempersempit makna dan menafsirkan kata ghanimah atau ghanimatun dalam ayat di atas semata sebagai hasil rampasan perang sebagaimana tampak pada terjemahan di atas. Karena itu, bagi kaum Sunni, karena perang tidak terjadi maka kemudian khumus hanya disebut di kala mereka mengkaji teori sumber pendapatan negara dalam kajian ekonomi makro Islami. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Sayyid Quthb, misalnya, ketika menafsirkan ayat di atas :

"Untuk masa sekarang, masalah ghanimah secara umum bukan lagi merupakan realitas keislaman yang kita hadapi. Kita sekarang tidak lagi menghadapi masalah ini. Kita tidak berada dalam pemerintahan, kepemimpinan dan umat Islam yang sedang berperang di jalan Allah lalu mendapatkan banyak ghanimah yang harus didistribusikan sedemikian rupa. Zaman telah berputar dan kembali ke fase di mana Islam menghadapi masalah kemanusiaan untuk pertama kalinya. Manusia kini telah kembali ke zaman jahiliyah sebagaimana asal mereka dulu. Islam pun kini telah kembali ke fase awal di mana ia harus menyeru manusia untuk masuk ke dalamnya; menyeru mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menyeru mereka untuk bersatu di bawah kepemimpinan Islam guna membangun kembali agama ini dalam kehidupan manusia; serta menyeru mereka supaya loyal secara total terhadap komunitas dan kepemimpinan Islam tersebut".

Inilah persoalan nyata yang dihadapi Islam sekarang. Tidak ada persoalan lain. Tidak ada persoalan ghanimah sebab tidak ada perang sekarang. Manhaj Islam adalah manhaj yang realistis (waqi'i). Ia tidak mengurusi persoalan yang tidak benar-benar ada (terjadi). Ia tidak mengurusi masalah ini (pembagian ghanimah) yang dari segi kenyataan tidak ada wujudnya. Yang kini dituntut dari para mujtahid adalah berijtihad untuk meng-istinbath hukum guna memecahkan berbagai persoalan yang nyata. Hanya ijtihad semacam itu yang bernilai karena memiliki momentum dan realitasnya yang nyata.

Oleh karena itu, berkenaan dengan ayat ini kami tidak akan masuk ke wilayah fikih yang mendetil yang terkait khusus dengan masalah anfal dan ghanimah, sampai tiba waktunya di mana masyarakat Islam menghadapi keadaan perang secara nyata yang darinya masalah ghanimah memerlukan pemecahan hukum."

Sementara mazhab Ja'fari (mazhab yang dianut kaum Syi'ah) memahami ghanimah dalam ayat di atas tidak sekedar harta rampasan perang. Mereka berargumentasi dengan pendekatan kebahasaan maupun riwayat-riwayat yang berbicara mengenai khumus. Secara etimologi, ghanimah berarti apa yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang lewat usaha. Dalam al-Quran, kata-kata yang terbentuk dari kata dasar terulang sebanyak sembilan kali, yaitu dalam QS. an-Nisa' [4] : 94, al-An'am [6] : 146, al-Anfal [8] : 41, 69, Thaha [20] : 18, al-Anbiya' [21] : 78, dan al-Fath [48] : 15, 19, 20. Tentu saja tidak semuanya berhubungan dengan ghanimah yang berarti harta rampasan perang. Dalam QS. an-Nisa' [4] : 94 disebut yang berarti "harta yang banyak". Dalam QS. al-An'am [6] : 146, Thaha [20] : 18 dan al-Anbiya' [21] : 78 disebut yang berarti kambing. Sementara yang berhubungan dengan ghanimah terdapat dalam QS. al-Anfal [8] : 41, 69 dan al-Fath [48] : 15, 19, 20. Dalam QS. al-Anfal [8] : 41 dan 69 disampaikan dengan shighat fi'il madli, dan seringkali diartikan "yang kalian peroleh sebagai rampasan perang". Sedangkan dalam QS. Al Fath 48 : 15, 19 dan 20 disebut dengan shigat yang berarti "harta rampasan". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun