Mohon tunggu...
Daniel Jones Bernadi
Daniel Jones Bernadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Moody Writer :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agama : Antara Perdamaian dan Konflik

25 September 2011   10:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:38 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="496" caption="SARA masih tinggal di negara ini"][/caption] Anak-anak kecilpun sering mendiskrimanasi teman-teman mereka yang berbeda. Diskriminasipun dimulai sejak dini. Mulai dari yang paling hakikipun masih saja ada diskriminasi. Entah sejak kapan diskriminasi tentang agama mulai dan sampai saat ini belum berakhir. Sering tersiar berita konflik antar agama yang hampir tak pernah berhenti beritanya. Periode 1095 – 1291 adalah konflik antar agama paling lama. Hampir 200 tahun konflik antara umat Nasrani dan Islam terjadi. Sampai saat ini pun rasanya masih ada saja perseteruan diantara keduanya. Apa perang selama hampir 200 tahun tersebut belum memuaskan nafsu saling membunuh diantara mereka? Atau saling mengklaim kebenaran agama yang membuat mereka berkonflik hingga saat ini? Di sini agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, melainkan telah menjadi bencana, seperti kata Kimley. Sumber pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman. Misalnya, Islam menyebut umat yang bukan Islam sebagai kafir dan begitu juga dengan Nasrani yang mendoktrin neraka adalah imbalan bagi mereka yang meninggalkan agama Nasrani. Memang, berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik, misalnya di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Maluku. Dalam kasus itu, agama hanyalah sumber legitimasi yang dimanfaatkan demi kepentingan politik ataupun ekonomi. Sedangkan di lingkup internasional ada konflik antara Israel dan Palestina yang juga memiliki latar belakang serupa. Tapi mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Sebab, agama itu mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar serta dibantu Tuhan masing-masing. Fanatisme yang meledak-ledak ini sunggah tidak baik jika ada dalam negara dengan pluralitas tinggi seperti Indonesia ini. Indonesia sebenarnya harus bisa mengubah fanatisme yang ekstrim itu menjadi nasionalisme tingkat tinggi yang membawa kearah perdamaian dan persatuan. Tapi tidak begitu dengan kenyataan yang ada saat ini. Seakan semuanya terbalik dari apa yang ada dalam pernyataan ini. Konlfik yang dilatarbelakangi oleh agama adalah konflik yang paling eksplosif. Konflik kepentingan ekonomi dan politik tersebut selalu dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik Irlandia Utara disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen, konflik Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme Thailand Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Di lain pihak, persamaan agama bisa tidak menyelesaikan masalah, misalnya dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku Kurdi ataupun bangsa Turki dan Irak sama-sama muslim. Dalam kasus ini, timbul pertanyaan, lalu apa manfaat persaudaraan karena persamaan agama? Lalu apa yang mereka dapat dari beragama? Apakah ajaran agama mereka menganjurkan berperang? Agama secara potensial merupakan sumber konflik dan bencana sepanjang waktu dan di mana saja? Pertama, karena agama menekankan iman yang tidak bisa dikompromikan dan tidak bisa didialogkan. Selanjutnya, kedua iman itu selalu mengklaim kebenaran absolut yang eksklusif. Ketiga, agama terbesar di dunia, Kristen dan Islam, adalah agama dakwah atau evangelis, yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-banyaknya. Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip "tujuan menghalalkan cara" (the end justify the means). Kelima, dalam mencapai tujuan atau mempertahankan diri, agama pada umumnya meminta bantuan kekuasaan dan negara, seperti UU Anti Penodaan Agama. Sehingga politikpun mulai ditunggangi oleh kepentingan golongan (agama) dan bukan lagi kebijakan politik yang berpihak pada rakyat secara keseluruhan. Tidak lain yang juga membuat perseteruan agama abadi hingga saat ini ialah cara pandang dari masing-masing pemeluk agama. Menurut Nurcholish sikap inklusif memandang agama-agama lain sebagai bentuk implist dari agamanya sedangkan sikap eksklusif memandang agama-agama lain sebagai jalan yg salah yg menyesatkan bagi pengikutnya. Ternyata sikap toleransi yang telah diajarkan guru PPKn [Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan] sejak kita SD sampai SMA dan bahkan dibangku kuliahpun masih diberikan tak bisa menghentikan sejarah abadi konflik ini. Para pemeluk agama ternyata tidak bisa memahami hakikat UUD '45 pasal 28E yang menyatakan dengan gamblang bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Sempat terlintas dipikiran memprotes kepada MPR untuk mengamandemen pasal tersebut dan bila perlu dihapuskan. Pasal tersebut hanyalah pasal kosmetik yang sekedar mempercantik citra Indonesia sebagai salah satu negara yang menghargai HAM. Indonesia masih sarat dengan pemaksaan, diskriminasi dan kekerasan. Tidak perlu lagi saling klaim mana yang benar ataupun salah. Pada dasarnya agama dapat dianalogikan sebagai roda, dimana pusat roda adalah Tuhan dan jari-jari itu adalah jalan-jalan atau agama-agama, menurut Nurcholish Madjid. Kata pepatah, banyak jalan menuju Roma, begitulah sebenarnya bagaimana kita memandang perbedaan antar agama. Biarlah masing-masing individu menentukan keyakinan mereka, karena itu adalah hak asasi yang pailing hakiki yang mereka miliki sejak lahir. Memeluk agamapun juga hal pribadi yang sebenarnya orang lain tak patut untuk mengusiknya. Beragama adalah hubungan spiritual individu dengan Tuhan, dan tidak pernah dibenarkan ada "mak comblang" yang memprovokasi si X untuk memilih ajaran Tuhan si A lebih benar dari Tuhan si B. Masihkah perlukah konfilk? Jika jawaban para pemeluk agama "ya", lebih baik tidak beragama tapi bermoral dari pada terlibat konflik agama tiada akhir yang sama halnya seperti manusia tanpa moral. (ijo)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun