Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Karena Ahok Menolak Kompromi

10 April 2015   01:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14286023151326932000

[caption id="attachment_360011" align="aligncenter" width="624" caption="Ahok dan anggota DPRD DKI Jakarta (Kompas.com)"][/caption]

Korupsi yang menahun, korupsi yang sudah membudaya, korupsi yang ditoleransi, dan korupsi yang diatasi dengan cara kompromi akan mengakibatkan bukan saja melahirkan koruptor-koruptor baru, tetapi juga akan membuat para pelakunya menganggap apa yang mereka lakukan itu bukan lagi suatu kejahatan, melainkan sudah merupakan haknya, bahkan rezekinya.

Ini bukan hanya sebuah teori analisis, tetapi sudah merupakan fakta. Contoh kongkritnya adalah dari tersangka kasus suap mantan Ketua DPRD Bangkalan Fuan Amin Imron, yang ditangkap tangan KPK pada Desember 2014. Saat diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi dari terdakwa Antonio Bambang Djatmiko (Direktur PT Media Karya Sentosa), penyuapnya, Fuad mengaku telah menerima uang suap itu, tetapi sekaligus tidak merasa bersalah. Ia menyatakan uang suap tersebut merupakan rezekinya, rezeki yang diberikan Allah kepadanya!

"Saya tidak melaporkan pemberian itu ke KPK karena saya anggap itu rezeki dari Allah," demikian pengakuan Fuad dalam BAP yang dibacakan Jaksa di persidangan Antonio tersebut (jpnn.com).

Harta benda Fuad yang disita KPK sejak Januari-Maret 2015 merupakan rekor tertinggi nilai aset yang pernah disita oleh KPK dari seorang tersangka korupsi.

Korupsi bisa berlangsung bertahun-tahun sampai akhirnya menjadi semacam budaya diakibatkan karena sikap yang terlalu toleran pemerintah terhadap perbuatan tercela tersebut. Jika korupsi itu dipermasalahkan oleh pihak tertentu, sampai menimbulkan perseteruan di antara mereka, maka budaya sungkan dan “TST” alias tau-sama-tau, kompromi pun digunakan.

Wujudnya adalah apa yang disebut “duduk bersama”, yang identik dengan kompromi. Kompromi dengan para koruptor itu. Sehingga penyelesaian masalahnya bukan dengan cara hukum, tetapi saling mengalah antara pejabat satu dengan pejabat yang lainnya, saling berkomitmen tidak mempermasalahkan satu terhadap yang lain, saling tidak mengganggu, dan sebagainya.

Pejabat tertentu yang meskipun bukan koruptor, tetapi takut kehilangan jabatannya akan bersikap pura-pura tidak tahu apa yang dilakukan para para koruptor, dan para koruptor itu pun berjanji tidak mengganggu kedudukan pejabat itu;  “win-win solution.” Korupsi pun bisa diteruskan lagi seperti biasa, dan kursi pejabat itu pun dijamin aman. Maka, kedua belah pihak aman dan sentosa,  serta makmur dan sejahtera bagi para koruptornya.

Cara penyelesaian perseteruan antara KPK dengan Polri, merupakan contoh kongkritnya.

Saat KPK masih diketuai oleh Abraham Samad, mereka dengan nyali super besar berani menetapkan seorang calon Kapolri, Budi Gunawan, sebagai tersangka penerima gratifikasi. Tidak terima, Polri membalasnya dengan menetapkan dua pimpinan KPK sekaligus, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka.

Perseteruan masih terus berlanjut meskipun KPK nyaris lumpuh setelah Presiden memberhentikan sementara dua pimpinan KPK itu, dan lewat praperadilan yang sesat, hakimnya memutuskan penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah.

Lalu, dipilihnya Ketua KPK yang baru sebagai pelaksana tugas, mengganti Abraham Samad, Taufiequrachman Ruki yang kontradiktif sekaligus mencurigakan. Terbukti dalam hitungan hari, ia sudah memutuskan hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh KPK sejak lembaga anti rasuah itu berdiri, yaitu menyatakan KPK menyerah kalah kepada tersangka korupsi, lalu melimpahkan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Padahal beberapa hari sebelumnya, saat belum menjadi pelaksana tugas Ketua KPK itu, ia sendiri telah melontarkan pernyataan kerasnya bahwa tidak ada ketentuan hukum yang bisa membuat KPK melimpahkan perkara kepada Kejaksaan Agung.

Tudingan pun diarahkan kepada Ruki bahwa ia telah melemahkan KPK dari dalam, dan langkahnya memutuskan melimpahkan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung itu merupakan bagian dari skenario menyelamatkan Budi Gunawan dari jerat hukum. Karena hampir pasti Kejaksaan Agung pun akan melimpahkan perkara itu kembali ke Bareskrim Polri, sedangkan lembaga itu sudah pernah menyatakan Budi klir, bersih dari kasus korupsi. Sekarang itu sudah menjadi kenyataan; Kejaksaan Agung sudah melimpahkan perkara Budi kepada Bareskrim Polri. Tak lama lagi hampir pasti SP3, alias penghentian perkara Budi pun diputuskan Polri.

Langkah-langkah tersebut pun bisa diendus sebagai bagian dari barter perkara. Dengan bersedianya KPK melimpahkan perkara Budi kembali ke Polri melalui tangan Kejaksaan Agung, maka Polri pun bersedia menghentikan perkara Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Bukankah itu yang terjadi sekarang?  Kompromi dan win-win solution telah diterapkan dengan baik antara KPK di bawah Ruki dengan Polri. Selanjutnya antara KPK dengan Polri tidak akan saling ”mengganggu” lagi.

Cara penyelesaian serupa kelihatannya juga tengah disarankan dalam kasus perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta, Ahok dengan DPRD DKI Jakarta.

Ahok yang tak sudi memenuhi keinginan DPRD DKI meloloskan anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun itu, dibalas DPR DKI dengan upaya pemakzulan terhadap dirinya, hak angket pun dipakai, Ahok pun dinyatakan bersalah melanggar hukum dan etika. Selanjutnya katanya, akan ditingkatkan ke penggunaan hak menyatakan pendapat, yang ujungnya bermuara para keputusan pemakzulan, yang akan ditentukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan keputusan dari DPRD DKI itu.

Suara-suara yang menyarankan agar kedua pihak kembali duduk bersama untuk melakukan pembicaraan dari hati ke hati pun sudah diutarakan. Bahkan dari DPRD DKI, antara lain Wakil Ketuanya dari Fraksi Partai Gerindra, M Taufik pun sudah pernah bilang, jika memang menurut Ahok ada anggaran bermasalah yang diatemukan itu, yang oleh Ahok disebut “anggaran siluman” itu, maka seharusnya Ahok tidak begitu saja mencoretnya, tetapi seharusnya kembali mengajak DPRD DKI duduk bersama untuk membicarakan hal tersebut secara baik-baik.

Tetapi, Ahok tidak mau melakukan hal itu. Kenapa? Karena itu namanya kompromi, duduk bersama itu sama saja dengan melakukan kompromi. Jelas-jelas itu anggaran siluman, kenapa dan untuk apa harus duduk bersama lagi untuk membicarakannya? Mau membicarakan apanya? Kan tinggal dua alternatif mutlak, tetap dimasukkan ke APBD ataukah dicoret. Ahok memilih tidak ada kompromi, tanpa ragu ia mencoret anggaran siluman itu dari APBD 2015.

Maka dengan Ahok, kompromi dengan perilaku-perilaku tak patut menjurus pada tindakan-tindakan korupsi anggaran itu pun gagal diterapkan. Kasus ini pun masih terus bergulir.

DPRD DKI menjadi gamang pasca keputusan mereka sendiri bahwa Ahok bersalah. Kembali datang tawaran dari pihak DPRD DKI (Ketua Panitia Angket Muhammad Sangaji alias Ongen) untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cara kompromi lagi, win-win solution. Ahok diharapkan beresdia minta maaf kepada DPRD DKI, dan sebagai imbalannya DPRD DKI menghentikan upaya pemakzulan kepada dirinya. Tetapi, Ahok adalah tipikal pemimpin yang langka di negeri ini, pejabat yang tidak takut kehilangan jabatannya, maka, seperti yang saya sebutkan di artikel saya sebelumnya, dasar Ahok yang masih “gila”, ia bukan hanya menolak solusi dengan meminta maaf kepada DPRD DKI itu, tetapi juga malah menantang DPRD DKI untuk meneruskan proses pemakzulan kepada dirinya lewat cara penggunaan hak menyatakan pendapatnya itu. Maksudnya, agar kasus ini sampai di ujung akhirnya, menjadi jelas, tidak menggantung di tengah jalan, sebagaimana kasus-kasus serupa lainnya.

Untuk kedua kalinya upaya mengajak Ahok melakukan kompromi itu pun gagal. Ahok tetap bersikeras untuk menyatakan dan melakukannya secara nyata, konsisten dan konsekuen: Tidak ada toleransi dan kompromi dalam menghadapi kasus dugaan korupsi! ***

Artikel terkait:

Karena Ahok Masih "Gila"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun