Mohon tunggu...
Danial Darwis
Danial Darwis Mohon Tunggu... -

saya adalah seseorang yang ingin memperoleh kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta senantiasa terpelihara dari siksa neraka

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerangka Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Timur Tengah Pasca Arab Spring

18 Mei 2014   07:17 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 3516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abstrak

Tulisan ini merupakan sebuah paper yang akan memberikan penggambaran mengenai kerangka bangunan kebijakan luar negeri dari negara Amerika Serikat terhadap kawasan Timur Tengah setelah peristiwa Arab Spring. Fokus dari tulisan ini berusaha untuk melihat tentang bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca Arab Spring disusun dalam rangka mempertahankan kepentingannya di kawasan Timur Tengah, mengingat Amerika Serikat mempunyai beberapa kepentingan di Timur Tengah baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun militer. Tulisan ini juga akan mengeksplorasi mengenai eksistensi Islam sebagai sebuah ancaman bagi Amerika Serikat pasca peristiwa Arab Spring, mengingat selama ini terjadi sebuah dilema dalam politik luar negeri Amerika Serikat dalam kaitannya dengan hubungan yang terjalin dengan pihak Islam Politik, dimana terdapat pandangan-pandangan yang berbeda dari para pembentuk opini serta akademisi terhadap Islam Politik yang pada akhirnya membentuk dua buah kubu di panggung intelektualitas Amerika Serikat mengenai Islam Politik, yakni kubu konfrontasionalis yang menginterpretasikan Islam sebagai “Musuh Baru” dan ancaman yang bersifat monolitik dengan berdasar pada aspek ideologi, budaya, dan sejarah. Sementara di sisi lainnya adalah kubu akomodasionis yang menginterpretasikan Islam sebagai “Tantangan Baru” dan ancaman yang tidak monolitik melainkan sebuah dunia Islam yang lebih terkotak dan terpilah dengan berdasar pada aspek politik dan pertahanan-keamanan. Pada bagian akhir dari tulisan ini juga akan disinggung terkait tentang prospek kebangkitan Islam di Timur Tengah pasca Arab Spring.

Kata-kata Kunci :

Kebijakan Luar Negeri, Amerika Serikat, Timur Tengah, Arab Spring

Pendahuluan

Selama penghujung tahun 2010 sampai tahun 2011, bahkan ada yang mencapai hingga tahun 2012 dan terus berlanjut hingga tahun 2013, kawasan Timur Tengah mengalami sebuah pergolakan politik yang luar biasa, selanjutnya dikenal dengan peristiwa “Arab Spring” (Musim Semi Arab). Musim Semi Arab merupakan suatu istilah yang muncul untuk memberikan sebuah gambaran mengenai bergugurannya satu demi satu penguasa-penguasa diktator di kawasan Timur Tengah yang diidentikkan dengan bergugurannya daun-daun pohon satu per satu pada saat musim semi tiba. Suatu proses revolusi yang menjalar dengan begitu cepat serta menggoncangkan stabilitas politik di negara-negara Timur Tengah. Revolusi ini dilakukan oleh rakyat kepada para penguasa mereka dengan membawa pesan yang sama, yaitu menginginkan perubahan secara fundamental terhadap kekuasaan dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.

Peristiwa Arab Spring ini berawal dari pergolakan rakyat di Tunisia, selanjutnya menyebar ke Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya dan negara-negara lain di Timur Tengah. Salah satu negara yang masih bergolak dan menjadi sorotan masyarakat internasional hingga saat ini atas jumlah korban jiwa yang sangat banyak dalam proses berjalannya revolusi tersebut serta kecenderungan penggunaan senjata kimia adalah Suriah. Tuntutan rakyat Suriah dimotivasi oleh keberhasilan perjuangan rakyat Tunisia, Mesir dan Libya yang berhasil menuntut mundur rezim otoriter. Tuntutan tersebut merupakan akumulasi dari ketidakpuasan rakyat Suriah terhadap pemerintahan Bashar al Assad yang dianggap otoriter. Bashar al-Assad telah berkuasa sejak tahun 2000, mewarisi kekuasaan ayahnya Hafez al-Assad yang berkuasa selama tiga dekade di Suriah. Dalam perkembangannya kemudian karakter Islam sangat kuat mewarnai perjuangan rakyat yang diwakili oleh milisi-milisi Islam.

Pasca Arab Spring perbincangan mengenai Timur Tengah Baru (The New Middle East) banyak diperbincangkan oleh para pakar politik dunia. Para ahli politik ini seperti bersaing untuk memberikan analisis dan wacana terkini dari Timur Tengah Baru ini. Transformasi Timur Tengah memang membelalakkan mata dunia. Terlebih bagi Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dunia yang paling sering ikut campur dalam urusan Timur Tengah, dimana Amerika Serikat menginginkan agar posisinya dapat menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat menimbulkan dominasi di kawasan tersebut.

Secara umum Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki sejumlah kepentingan di kawasan Timur Tengah baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun militer. Hal tersebut disebabkan karena kawasan Timur Tengah memiliki nilai strategis dalam politik dunia. Nilai-nilai strategis tersebut membuat kawasan Timur Tengah menjadi tempat perebutan pengaruh dan kepentingan bagi negara-negara adidaya dunia, terkhusus bagi Amerika Serikat. Oleh sebab itu, sejak lama elit pembuat kebijakan AS telah waspada terhadap potensi radikal dari berbagai macam revolusi yang terjadi di kawasan Timur Tengah, termasuk peristiwa Arab Spring. Mereka selalu menunjukkan kekhawatiran terhadap revolusi-revolusi yang menyimpang dari norma-norma konstitusional, liberal, dan kapitalis Amerika Serikat. Tujuan kebijakan luar negeri Amerika selalu terkait erat dengan pencapaian stabilitas, yang sebagian dipahami sebagai suatu proses perubahan yang teratur.

Tulisan ini akan berusaha untuk melakukan sebuah kajian yang berfokus pada sebuah penggambaran mengenai : “Bagaimana kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat disusun terhadap kawasan Timur Tengah pasca Arab Spring ?”. Fokus tersebut akan memberikan arah yang jelas dalam memandu penulis untuk mencapai kesimpulan akhir. Argumen utama dalam tulisan ini yakni, kebijakan luar negeri Amerika Serikat disusun terhadap kawasan Timur Tengah dalam rangka mengamankan kepentingannya, mengingat pasca Arab Spring terjadi sebuah perubahan dalam konstalasi politik di kawasan tersebut, kecenderungan dari Amerika Serikat adalah berusaha untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah dengan mengupayakan proses demokratisasi terhadap kawasan-kawasan yang telah bergejolak, selain itu Amerika Serikat juga menaruh kekhawatiran terhadap potensi ancaman dari gerakan-gerakan Islam yang mengusung agenda Islam politik untuk menerapkan negara Islam. Tulisan ini juga akan mengeksplorasi tentang kecairan yang terjadi di kalangan para pembentuk opini dan akademisi AS terhadap Islam Politik. Tidak ada topik lain yang bisa menandingi tajamnya perbedaan kubu yang terjadi di panggung intelektual AS tentang isu seputar Islam politik. Kebanyakan dari para pembentuk opini menganut garis konfrontasionalis atau akomodasionis.

Kerangka konseptual yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah konsep tentang kebijakan luar negeri AS.  Kebijakan luar negeri Amerika Serikat sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan : pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Atau dengan kata lain, kebijakan luar negeri Amerika berkutat antara politik riil dan Ideologi. Bagi para pendukung dan praktisinya, realisme adalah sebuah pemahaman yang tertib, jernih, dan tegas tentang perumusan kebijakan yang didasari pada kepentingan negara yang didefinisikan dengan baik. Esensi realisme ini adalah kepentingan nasional yang terkait erat dengan keamanan nasional.

Sebaliknya, legalisme-moralisme yang cenderung berbasis ideologis lebih cenderung menunjukkan sebuah etos budaya yang lebih dalam beserta nilai-nilainya. Nilai-nilai ini tertanam dalam gagasan inti dari kebesaran bangsa, berdampingan dengan perjuangan kebebasan individu dan kapitalisme demokratis di dalam dan luar negeri. Sebagian besar orang Amerika menganggap dirinya masyarakat yang superior dalam moral dan politik, bagai sebuah kota gemerlap di atas bukit, membawa misi universal dengan di dorong anggapan diri yang merasa istimewa. Mereka yang tidak sepaham mengatakan, suatu kebijakan luar negeri aktif yang ditujukan untuk kebesaran bangsa-bangsa akan membahayakan kebebasan yang merupakan warisan kaum Republik.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan metode yang bersifat deskriptif. Pendekatan ini penulis gunakan untuk menggambarkan tentang bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat disusun terhadap kawasan Timur Tengah pasca Arab Spring. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari buku-buku, jurnal, laporan tertulis, website, koran online dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian yang penulis teliti.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menelusuri berbagai dokumen tertulis yang berkaitan dengan buku-buku, laporan, jurnal, website, koran dan sebagainya. Data yang terkumpul selanjutnya akan dianalisis dengan teknik analisis kualitatif, dimana penulis akan menggambarkan permasalahan berdasarkan fakta-fakta dan data yang diperoleh untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Kepentingan Amerika Serikat di Kawasan Timur Tengah

Perkara yang penting untuk diketahui ketika ingin melihat proses penyusunan kebijakan luar negeri sebuah negara adalah kepentingan dari sebuah negara. Oleh sebab itu, ketika kita ingin mengetahui tentang bagaimana proses penyusunan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah, maka yang penting untuk kita pahami adalah kepentingan dari Amerika Serikat itu sendiri. Menurut Bowman (2008:78), ada tiga kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah, pertama dan yang dalam jangka panjang adalah kepentingan untuk mengamankan dan tidak dirintanginya aliran minyak dari kawasan teluk Persia ke Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya. Untuk mencapai kepentingannya tersebut maka negara-negara Barat perlu untuk mengamankan cadangan minyak tersebut dari gangguan teroris atau negara-negara musuh. Kepentingan kedua Amerika Serikat di Timur Tengah yakni memastikan bahwa baik aktor negara maupun non-negara di kawasan tersebut tidak mengembangkan, memperoleh, atau menggunakan senjata pemusnah massal atau Weapon of Mass Destruction (Bowman, 2008 : 79). Saat ini negara di Timur Tengah yang menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat adalah Iran, dimana negara tersebut dengan bangganya memamerkan teknologi nuklir yang mereka miliki dan melakukan Megaphone Diplomacy terhadap negara-negara Barat yang menghalangi usaha mereka serta dengan gampangnya mengabaikan resolusi dan sanksi yang diberikan PBB kepadanya. Meskipun disisi lain Amerika Serikat memang tetap menjalin beberapa hubungan dengan Iran untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah. Pola “permusuhan” yang dibangun Iran terhadap AS adalah “permusuhan” dengan batas-batas tertentu. Amerika ingin rezim Iran tetap berdiri, karena Amerika menginginkan isu nuklir tetap memanas, tetapi tidak sampai pada tingkat hulu ledak nuklir dan tidak diselesaikan secara final. Iran hanya diberi sanksi, tetapi Iran tetap eksis dan dibiarkan tetap menjadi suatu hal yang menakutkan negara-negara Teluk sebagai batu pijakan bagi kelangsungan militer Amerika di Teluk. Amerika juga memanfaatkan Iran untuk membangun perisai rudal di Turki, dan di Eropa Tengah dengan alasan menangkal senjata nuklir Iran dan menjaga Eropa dari nuklir Iran. Isu nuklir Iran juga dijadikan justifikasi peningkatan anggaran belanja kementerian pertahanan AS.

Kepentingan Amerika Serikat yang ketiga yakni membantu kawasan tersebut agar tidak menjadi sarang, panggung aksi, ataupun pengekspor ekstrimis Islam yang mengandalkan kekerasan (Bowman, 2008 : 80). Ekstrimisme Islam yang dimaksud disini adalah kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan tegaknya kembali negara Islam. Mengapa Amerika Serikat membenci dan berusaha memberantas ekstrimisme Islam, hal tersebut disebabkan karena mereka inilah yang melawan Amerika Serikat secara terang-terangan dan melakukan aksi-aksi nekat yang dapat membuat kekacauan dan akhirnya mengganggu kepentingan Amerika Serikat yang lain seperti usaha bom bunuh diri yang dilakukan anggota Al-Qaeda di pabrik minyak Abqaiq di Saudi Arabia (Bowman, 2008 : 79). Belum lagi ketakutan Amerika Serikat jika sampai senjata pemusnah massal seperti teknologi nuklir jatuh ke tangan kaum ekstrimis Islam, tentu akibat buruknya akan berlipat ganda.

Untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, maka yang dilakukan Amerika Serikat adalah melakukan penempatan pasukan militer sebanyak mungkin di kawasan tersebut (Bowman, 2008 : 81). Karena hanya dengan menempatkan pasukan militer maka tiga kepentingan tersebut dapat tercapai. Keberadaan militer Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dapat dipergunakan untuk melakukan pengawasan terhadap sumber-sumber minyak dari gangguan teroris ataupun instabilitas domestik kawasan, serta dapat mengawasi pergerakan aktor-aktor yang mengembangkan senjata nuklir seperti Iran, serta dengan keberadaan pasukan tersebut dapat dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk memburu para ekstrimisme Islam, serta menghalau laju kebangkitan Islam sebagai ancaman ideologis global yang baru pasca runtuhnya Komunisme.

Dalam rangka memuluskan kepentingan AS serta memperoleh izin untuk menempatkan pasukan secara permanen di Timur Tengah, maka AS menjalin kerjasama dengan beberapa negara di kawasan. Sejak tahun 1930-an AS telah berusaha untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Iran (1953-1979). Pada masa awal kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah AS lebih memfokuskan pada upaya untuk meminimalisasi pengaruh dari Uni Sovyet dengan cara mendukung dan memberi bantuan militer dan ekonomi bagi pemerintahan yang anti-Soviet (Bowman, 2008 : 80). Namun, dalam perkembangan selanjutnya keberadaan pasukan Amerika Serikat tidak memperoleh apresiasi yang baik dari penduduk setempat dan pada kelanjutannya menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan radikal. Atas dasar itu, keberadaan militer Barat di Timur Tengah justru menjadi counterproductive karena memunculkan kemarahan bagi umat Islam yang kemudian melakukan aktivitas Jihad yang ditujukan untuk mengusir Barat dari Timur Tengah.

Pada hakekatnya Amerika Serikat atau Barat yang didominasi oleh negara maju merupakan negara-negara yang arogan serta cenderung bersikap superior, mereka memiliki anggapan bahwa kelompok ekstrimis dan negara yang tidak mengikuti arahan kebijakannya sebagai musuh. Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkannya tergolong berlebihan untuk mengamankan kepentingan dirinya di sebuah negara serta seringkali melanggar asas-asas kedaulatan dan non-intervensi, sebagaimana yang dilakukan terhadap Irak pada tahun 2003. Adapun kelompok ekstrimis dan tindakan radikal yang terjadi di Timur Tengah, yang oleh Amerika Serikat disebut sebagai terorisme sejatinya disebabkan oleh kebencian kaum pribumi yang merasa tanahnya di okupasi oleh negara lain. Selain itu, kebudayaan Barat yang menjunjung tinggi kebebasan tidak cocok jika dipertemukan dengan kebudayaan Timur Tengah yang sangat agamis dan menjunjung tinggi kesucian. Timur Tengah merupakan wilayah dimana tiga agama samawi berasal, oleh karena itu merupakan tempat suci, sementara tentara Amerika Serikat banyak melakukan tindakan sesuka hati dan tidak sesuai dengan tuntutan agama.

Oleh sebab itu, menarik selanjutnya untuk kita kaji mengenai kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah dalam rangka upaya untuk menjelaskan sikap dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan Islam. Mengingat kelompok-kelompok penting di Amerika Serikat menyejajarkan ancaman Komunisme Soviet dan ancaman Islam politik. Bahkan, Huntington menyatakan dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order bahwa Amerika Serikat pasca perang dingin adalah negara yang sepertinya sedang mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaan, dan Islam menjadi pilihannya. Slogan mereka, “Ancaman Hijau menggantikan ancaman Merah”. Ditambah lagi dengan fenomena yang tebaru di kawasan Timur Tengah yang disebut dengan peristiwa Arab Spring, tentu fenomena ini menjadi sebuah hal yang juga meningkatkan kewaspadaan Amerika Serikat terhadap Islam politik yang diusung oleh gerakan-gerakan yang berusaha menyongsong kembali kebangkitan Islam.

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat : Ideologi versus Politik Riil

Secara umum kerangka konseptual yang penulis gunakan dalam menjawab permasalahan utama dalam tulisan ini adalah konsep tentang kebijakan luar negeri AS, yang terbagi kedalam dua pola yang berlawanan, yakni : pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Dalam konteks legalisme-moralisme keterlibatan peran budaya dan sejarah sangat kuat dalam kecurigaan AS terhadap para Islamis, konteks pertimbangan yang muncul dalam kebijakan luar negeri untuk domain ini lebih cenderung berbasis ideologis yang didasarkan pada nilai-nilai mendasar yang dianut oleh Amerika Serikat. Dalam konteks budaya terdapat nilai-nilai yang berperan penting dalam membentuk sebagian besar persepsi para pembuat kebijakan. Atas dasar itu, maka, kumpulan nilai, kepercayaan, sikap, tata cara dan gaya hidup yang dianut bersama menjadi preferensi yang dipergunakan oleh para pemimpin Amerika dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Dalam kasus hubungan antara Barat dan Islam, maka terdapat nilai-nilai dan prinsip hidup yang berbeda diantara mereka yang dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Selain itu, persepsi budaya orang Amerika cenderung menganggap bangsa Arab atau Muslim berbahaya, tidak dapat dipercaya, tidak demokratis, barbar dan primitif. Sejak awal 1980-an, segala peristiwa di dunia Muslim merupakan berita taumatis di Amerika Serikat. Seorang editor New York Times menulis bahwa “berkat politik internasional saat ini, satu bentuk rasialisme etnis meraih tempat terhormat di AS : rasialisme terhadap orang Arab (Muslim)”.

Pandangan rakyat Amerika terhadap umat Muslim ini mungkin saja berakar dari sejarah religius negeri ini, dan bisa ditelusuri sampai ke konflik historis antara umat Kristen dan Islam, sebuah pertikaian yang diturunkan dan dipopulerkan dari generasi ke generasi melalui sejarah, sastra, cerita rakyat, media, dan wacana akademis. Ketakutan akan kebangkitan Islam juga berakar pada sebuah pandangan bahwa kaum islamis kelihatannya anti-demokrasi maka tidak terdapat kesamaan dalam tujuan mereka. Diasumsikan juga bahwa kekuatan Islam bisa mengancam perimbangan kekuatan antar negara, dan di dalam negeri mereka bersikap represif. Dalam pandangan ini terkandung dua buah hipotesis : (1) Islam tidak sejalan dengan demokrasi, dan (2) para Islamis terlahir sebagai “perebut-kembali kekuasaan” (irredentist).

Kerangka kebijakan luar negeri lainnya dari Amerika Serikat sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah pragmatisme-realisme, berbeda dengan legalisme-moralisme yang lebih menekankan pada aspek budaya dan sejarah. Maka, pragmatisme-realisme lebih menekankan pada masalah politik dan pertahanan-keamanan, dimana kedua aspek ini mungkin lebih berpengaruh ketimbang kedua faktor sebelumnya, karena berdampak langsung pada persepsi para pemimpin AS tentang kepentingan utama mereka. Ini termasuk perhitungan strategis Amerika dalam peta Arab-Israel, rawannya akses terhadap minyak Teluk Persia, rentannya pertahanan rezim-rezim Timur Tengah pro-Amerika dari serangan kaum Islamis, jatuhnya komunisme Soviet, masa jeda terorisme, dan kemungkinan makin berkembangnya senjata nuklir.

Sesungguhnya sudah sejak lama para elit pembuat kebijakan AS mewaspadai potensi radikal dari terjadinya berbagai macam bentuk revolusi berikut dengan tantangan yang ditimbulkannya terhadap prinsip-prinsip ketertiban dan hak negara, AS selalu menaruh kebencian terhadap peristiwa revolusi-revolusi yang menyimpang dari norma-norma konstitusional, liberal, dan kapitalis Amerika. Tujuan kebijakan luar negeri yang berbasis pada pragmatisme-realisme selalu terkait erat dengan pencapaian stabilitas, yang sebagian dipahami sebagai suatu proses perubahan yang teratur. Di sinilah ditemukan alasan bagi benturan Amerika dengan nasionalisme revolusioner selama masa Perang Dingin dan kini dengan penggantinya dan ahli warisnya Islam revolusioner.

Para pengambil kebijakan AS memiliki ketakutan terhadap dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh kebangkitan Islam. Yang paling ditakuti oleh elit kebijakan luar negeri Amerika adalah efek-efek pengguncangan oleh militan Islam terhadap stabilitas dan keamanan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia serta terhadap proses perdamaian Arab-Israel, dua tiang utama dalam kebijakan luar negeri AS di kawasan Timur Tengah. Di hadapan Amerika Serikat kedua tiang diplomasi tradisional Amerika ini terancam lebih besar oleh perlawanan Islam internal dibanding oleh kekuatan-kekuatan luar. Selanjutnya, dalam benak banyak orang Amerika, ancaman “Islam ekstrimis” makin berganda dengan adanya terorisme internasional maupun domestik dan ketakutan terhadap bom nuklir Islam.

Secara umum ancaman politik Islam oleh para kelompok-kelompok penting di Amerika Serikat disejajarkan dengan bahaya Komunisme Soviet yang merupakan lawan ideologis baru bagi Amerika Serikat setelah runtuhnya Komunisme. Untuk itu, para pejabat Amerika Serikat diminta untuk “membendung” (contain) dan bukannya “melunakkan” (appease) sang musuh baru. Tetapi saran-saran terkait kebijakan “pembendungan” yang bersifat “mendahului” (preemptive) ini bukan satu-satunya topik debat publik di Amerika. Sekelompok intelektual, yang jumlahnya kecil tetapi penting mempertanyakan ketepatan dan penerapan wacana dominan tentang Islam politik di AS. Orang-orang dari kelompok ini tidak melihat aktivitas Islam sebagai ancaman absolut tapi lebih sebagai tantangan berupa fenomena yang ambigius, beragam, dan terpecah-pecah. Lebih lanjut lagi, beberapa pengamat Amerika melihat para Islamis baru ini bahkan mungkin sedang memainkan peran politik yang konstruktif dalam mereformasi dan meliberalkan masyarakat mereka, sama seperti yang dilakukan para reformis Protestan di Eropa lima ratus tahun silam.

Konteks Intelektual Kebijakan Luar Negeri AS : Antara Konfrontasionalis dan Akomodasionis

Secara umum ketegangan dialektik antara pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Islam politik di kawasan Timur Tengah melahirkan sebuah debat kebijakan yang vital dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pandangan-pandangan berbeda para pembentuk opini serta akademisi terhadap Islam politik mengerucut pada perbedaan kubu dalam panggung intelektualitas AS, yaitu terbentuknya dua buah kubu yang saling bersaing yakni kubu Konfrontasionalis dan kubu Akomodasionis.

Ada dua tema yang menjauhkan kubu akomodasionis dan konfrontasionalis. Pertama, terkait dengan perkara optimisme melawan skeptisisme tentang prospek demokrasi dalam masyarakat muslim, dan juga menyangkut pretensi-pretensi demokratis kalangan Islamis. Kedua, menyangkut spekulasi tentang agenda politis  para Islamis begitu mereka meraih kekuasaan, apakah mereka akan bertindak seakan merebut kembali kekuasaan yang pernah hilang, atau akankah realitas-realitas politik mencairkan kobaran ideologis para Islamis dan melunakkan perilaku mereka terhadap AS.

Pada hakekatnya kedua kubu tersebut masih menyimpan kekhawatiran terhadap Islam Politik, tetapi terdapat perlakuan yang berbeda dalam menyikapinya. Kubu konfrontasionalis lebih menekankan pada sebuah interpretasi bahwa Islam adalah Sang “Musuh Baru” dan merupakan ancaman yang bersifat monolitik dengan berdasar pada aspek ideologi, budaya, dan sejarah AS. Sedangkan, kubu akomodasionis menekankan pada sebuah interpretasi bahwa Islam merupakan “Tantangan Baru” yang persepsi ancaman terhadapnya tidak bersifat monolitik, melainkan melihat dunia Islam sebagai sesuatu yang lebih terkotak dan terpilah dengan berdasarkan pada aspek politik dan pertahanan keamanan.

Kebanyakan konfrontasionalis memberikan label kepada aktivis Islam dengan sebutan “fundamentalisme Islam” yang dalam anggapan mereka bahwa pada praktiknya Islam dan demokrasi itu berlawanan. Para konfrontasionalis menganggap Islam sebagai sebuah musuh ideologis yang sudah terlahir anti-demokrasi dan sangat anti-barat, dan dalam berbagai hal menjadikan Barat sebagai sasaran. Gilles kepel dan Lewis lebih jauh menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak selaras dengan fundamentalisme Islam.

Konfrontasionalis lebih jauh lagi meyakini bahwa persaingan antara Islam dan Barat bukan cuma urusan materi dan kepentingan politik, tetapi pertarungan di antara keduanya merupakan suatu perang budaya dan peradaban. Dalam sebuah artikel yang terkenal, Huntington meyakini sangat pentingnya budaya dalam politik internasional : “Sumber konflik yang mendasar dalam dunia baru ini bukanlah bersifat ideologis dan ekonomi. Hal yang membelah-belah umat manusia dan sekaligus merupakan sumber konflik yang utama adalah kebudayaan. Perang peradaban akan mendominasi peta politik global”. Perselisihan-perselisihan yang paling penting, menurut Huntington, akan terjadi sepanjang garis kebudayaan yang memisahkan Barat dari peradaban-peradaban non-Barat : “Di kedua sisi, interaksi antara Islam dan Barat dilihat sebagai perang peradaban”. Ia memprediksi bahwa perang dunia berikutnya adalah sebuah perang antar peradaban.

Konfrontasionalis mengklaim bahwa terdapat tali-tali politis di antara berbagai gerakan Islam. Mereka yakin bahwa fundamentalis Islam membentuk jaringan internasional yang terus berkembang. Sama-sama mesianis dan ideologis, ekstrimis dan tegar, amat sangat memusuhi liberalisme Barat. Efek teori domino dianggap telah terjadi. “Satu dua keberhasilan”, ujar Jonathan Paris, “dapat mengubah fundamentalisme Islam menjadi sebuah bola salju revolusioner yang bisa menembus semua perbatasan ke arah suatu ummat yang lebih besar, atau mencapai kesatuan untuk melaksanakan Jihad”. Satu-satunya yang dibutuhkan adalah suatu kepemimpinan untuk menyatukan Muslim menjadi sebuah kekuatan politik Islam. Dalam khasanah intelektual Islam disebut dengan negara Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah.

Para konfrontasionalis melihat bahwa pertikaian yang terjadi dengan dunia Muslim sekarang ini sebagai bagian dari konfrontasi yang lebih luas antara Barat yang demokratis dan kawan-kawan sekularnya melawan apa yang mereka sebut sebagai “despotisme timur” ataupun “Islam ekstremis”. Bukannya menciptakan sebuah dunia yang lebih damai, keruntuhan Uni Soviet malah melahirkan sebuah perang budaya yang lebih mematikan antara Islam dan Barat. Dalam perang peradaban ini, Amerika Serikat tidak boleh hanya berdiam diri. Jawabannya adalah pertempuran dan penumpasan, bukan perjanjian dan perlucutan senjata.

Sementara, kubu akomodasionis menolak deskripsi Islam yang digambarkan para konfrontasionalis, penganut paham akomodasionis yakin bahwa baik di masa lalu maupun sekarang, ancaman sebuah Islam yang monolitik selama ini adalah mitos Barat yang berulang lagi, sebuah mitos yang jauh dari realitas sejarah Muslim. Mereka memandang dunia Islam sebagai sebuah dunia yang lebih terkotak dan terpilah, bukan seperti yang seringkali dipahami; keragaman, dan bukannya kesatuan yang abadi, merupakan faktor penentu utama dalam perumusan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah. Menurut pandangan mereka kelompok dan gerakan-gerakan Islam secara internal mengalami keragaman yang selanjutnya menuntut Amerika Serikat untuk mengapresiasi keragaman aktor-aktor Islam dan gerakan-gerakannya, dalam rangka mengetahui dengan pasti alasan yang menyebabkan terjadinya persinggungan antara Islam dengan Barat, serta menanggapi situasi tertentu dengan tanggapan yang berdasarkan pengetahuan dan nalar, bukan dengan reaksi berasarkan prasangka semu belaka. Dalam konteks ini, nampaknya Amerika ingin menjangkau kelompok-kelompok Islam yang lebih moderat dan mau bersahabat dengan Barat.

Kaum akomodasionis menekankan kepada pejabat AS tentang pentingnya menganut kebijakan-kebijakan yang lebih beragam nuansanya dengan membedakan elemen-elemen pragmatis dalam gerakan-gerakan Islam dari aktivis-aktivis militan yang lebih cenderung berbasis pada Ideologi. Para akomodasionis menganjurkan agar AS secara berangsur-angsur melibatkan elemen-elemen pragmatis itu dalam proses politik, mereka menyarankan untuk memarjinalkan aktivis-aktivis militan dengan cara yang tidak memicu kekerasan.

Akomodasionis menekankan kritik pada wacana dominan mengenai Islam Politik lebih didasarkan pada perhitungan serta kekhawatiran yang pragmatis dan bukannya disebabkan alasan-alasan kekaguman atau rasa menghargai terhadap kaum Muslim. Pelan tapi pasti, terkikisnya tatanan politik yang berlaku membuat para akomodasionis merekomendasikan pendekatan inklusif, bukan eksklusif, yang bisa mengamankan kepentingan AS dalam jangka waktu yang panjang. Dalam konteks ini saran-saran kebijakan akomodasionis berakar dari realitas politik dan bukannya sentimen ideologis. Akomodasionis tidak mengabaikan politik riil, melainkan mereka tergerak untuk menjaga kepentingan nasional Amerika Serikat dengan landasan politik dan pertahanan-keamanan. Artinya, mereka akan merangkul kelompok moderat dan meminimalisasi pengaruh dari kelompok radikal.

Berdasarkan pada kerangka kebijakan luar negeri AS terhadap Islam Politik di kawasan Timur Tengah sebagaimana yang dijelaskan diatas , maka terdapat tiga hal yang mendasari posisi Amerika terhadap Islam politik. Pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam; sikap semacam ini dilandasi oleh kekhawatiran bahwa sikap tak bersahabat bakal memperparah sikap mereka terhadap Amerika. Alasan kedua, AS ragu-ragu untuk secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya ataupun kepentingan sekutunya. Alasan ketiga, di dalam lingkaran para pembuat kebijakan luar negeri AS terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara Islam dan demokrasi. Sehingga, bukannya memberikan panduan kebijakan yang konkret, pernyataan-pernyataan resmi AS jadinya berbentuk bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam interpretasi, seputar apakah Amerika menganggap Islam Politik sebagai “Musuh Baru” ataukah sebagai “Tantangan Baru”. Memang benar, beberapa aktor-aktor gerakan Islam sangat provokatif dan konfrontasionalis, tetapi disisi lain terdapat pula aktor-aktor Islam yang moderat dan bersedia untuk berdiskusi dengan Amerika Serikat.

Kebijakan Luar Negeri AS Pasca Arab Spring dan Prospek Kebangkitan Islam

Pemaparan yang telah dikemukan sebelumnya menyinggung secara umum mengenai pola kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, menarik untuk menelisik secara lebih mendalam keberlanjutan pola tersebut pasca peristiwa Arab Spring yang menimpa kawasan Timur Tengah. Mengingat proses perubahan yang terjadi di Timur Tengah tentu berdampak pada kepentingan Amerika Serikat di kawasan tersebut. Apalagi peristiwa Arab Spring ini secara beruntun menimpa negara-negara di Timur Tengah yang menghasilkan efek domino selama kurang lebih dua tahun lamanya, bahkan negara Suriah telah menginjak tahun ketiga namun belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Dalam kasus Arab Spring di Timur Tengah, nampaknya proses revolusi yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya menunjukkan kentalnya pendekatan yang lebih cenderung bersifat akomodasionis. Hal tersebut ditunjukkan melalui strategi yang dilakukan oleh partai-partai yang memenangkan pemilu pasca revolusi  di beberapa negara Timur Tengah. Sebab mereka mentoleransi proses pemilu dan demokrasi, meskipun Islam telah memainkan peran sentral dalam perubahan tetapi kelompok-kelompok seperti An-Nahdah di Tunisia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir melalui proses pemilu yang dimenangkannya lebih memilih untuk bersikap moderat terhadap Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk bersikap lunak terhadap Barat, sikap tersebut tentu sejalan dengan kepentingan Barat, utamanya Amerika Serikat yang memang berusaha untuk merangkul negara-negara di Kawasan agar tetap menjalin hubungan persahabatan dengan Amerika Serikat. Karena secara umum negara-negara yang bersahabat dengan Amerika Serikat akan memberikan keuntungan bagi terjaganya kepentingan AS di kawasan. Hal yang sama juga terjadi di Libya, karena sikap otoriter yang dimiliki oleh Muammar Khadafi yang berakibat pada konflik yang berujung pada perang saudara dalam internal Libya yang terjadi antara Khadafi dan kelompok oposisi yang hendak menumbangkannya, maka dalam rangka menjaga stabilitas kawasan Amerika Serikat beserta negara-negara di bawah bendera NATO melalui mandat resolusi Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk melakukan intervensi militer terhadap Libya atas nama kemanusiaan, karena konflik internal Libya telah berujung pada kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Khadafi dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Pada akhirnya Khadafi pun berhasil di tumbangkan melalui proses intervensi militer tersebut, yang secara tidak langsung menimbulkan stabilitas kawasan. Namun, proses pembangunan kembali Libya juga mengikuti desain yang diinginkan oleh Amerika Serikat, yakni terbentuknya sebuah pemerintahan yang baru di Libya dengan dasar Demokrasi.

Sikap akomodasionis Amerika Serikat juga terlihat dalam kasus Mesir dimana situasi Mesir mengalami proses pergolakan sebanyak dua kali yakni pada tahun 2011 yang berujung pada berhasilnya ditumbangkan kekuatan Husni Mubarak, hingga pemilu dilaksanakan pada tahun 2012 yang pada akhirnya melalui proses pemili tersebut berhasil menghantarkan kader Ikhwanul Muslimin yakni Muhammad Mursi ke kursi kekuasaan Presiden Mesir setelah berhasil meraih 13,2 juta suara dari 26 juta pemilih. Sedangkan rivalnya Ahmed Shafiq hanya berhasil meraih 12,3 juta suara. Jika dipersentasekan Mursi berhasil meraih 51% suara. Hasil pengumuman kemenangan tersebut diumumkan pada Ahad 24 Juli 2012. Berselang sehari dari pengumuman kemenangan Mursi tersebut AS melalui Presiden Barack Obama menyampaikan ucapan selamat kepada Mursi, Senin (25/6) “Kita berminat bekerja bersama-sama dengan Presiden terpilih Mursi, dengan dasar saling menghormati, untuk memajukan kepentingan bersama antara Mesir dan Amerika”, demikian pernyataan Obama. Dalam keberlanjutannya Mursi memilih sikap moderat dengan Amerika Serikat melalui beberapa jalinan kerjasama yang dilakukan antara Morsi dan Obama, termasuk tidak terlalu berubahnya desain politik luar negeri Mesir terhadap Amerika, antara lain Morsi tetap memegang teguh perjanjian Camp David yang terjalin antara Israel dan Mesir atas prakarsa Amerika Serikat, selain itu Morsi juga tetap memilih untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan Mesir, juga pinjaman yang dilakukan oleh Mursi terhadap IMF. Keseluruhan paket kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa kepemimpinan Mesir di bawah Mursi masih berkeinginan untuk membangun kerjasama yang baik dengan Amerika Serikat, meskipun sebelumnya Mursi adalah kader Ikhwanul Muslimin yang merupakan salah satu gerakan Islam yang di larang di Mesir. Namun tatkala meraih kekuasaan ternyata realitas-realitas politik yang dihadapi oleh Mursi berhasil melunakkan perilakunya untuk lebih bersahabat dengan Amerika Serikat.

Namun, suatu peristiwa mencengangkan terjadi tatkala Presiden Muhammad Mursi yang merupakan presiden pertama yang dipilih melalui pemilu tiba-tiba di kudeta oleh Militer, tepatnya pada Rabu (3/7/2013). Kepala angkatan bersenjata Mesir yakni Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengumumkan bahwa ia telah melakukan pembekuan konstitusi dan menunjuk pimpinan pengadilan tertinggi Mesir sebagai pemimpin sementara. Polemik politik di dalam negeri yang berujung pada campur tangan militer tersebut akhirnya memaksa Morsi untuk turun dari kursi kepresidenannya. Peristiwa kudeta militer yang dilakukan oleh al-Sisi terhadap Morsi ditanggapi oleh pemerintah Amerika Serikat dengan sebuah sikap yang enggan menyebut bahwa tindakan yang dilakukan oleh militer tersebut sebagai sebuah proses kudeta. Namun, Amerika Serikat menyatakan bahwa tindakan tersebut memang merupakan sebuah fungsi yang dilakukan oleh Militer dalam rangka pengamanan terhadap negerinya. Sikap yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat tersebut seakan-akan menunjukkan sebuah double standard yang diterapkan oleh Amerika Serikat dalam kasus Mesir. Hal ini bisa kita pahami bahwa sikap akomodasionis lebih cenderung dominan bagi Amerika Serikat, dimana unsur pertahanan dan keamanan menjadi referensi yang dipergunakan dalam menyikapi konflik Mesir, Amerika Serikat terkesan ragu-ragu untuk secara terbuka memberikan dukungan terhadap Mesir, karena bagaimanapun Amerika akan merasa lebih terjaga ketika yang berkuasa bukan dari kalangan Islamis.

Negara yang cukup meraih perhatian dari masyarakat internasional dalam kasus Arab Spring adalah Suriah. Konflik yang terjadi di Suriah telah menginjak tahun yang ketiga, namun pergolakan rakyat masih terus terjadi dalam rangka upaya untuk menumbangkan Bashar al-Assad. Karakter Islam yang kuat dalam konflik yang terjadi di Suriah memang menyulitkan Amerika Serikat, mengingat kalangan ekstremis yang mewujud dalam kelompok milisi-milisi jihad di Suriah memiliki sebuah keinginan untuk menegakkan negara Islam.

Obama memiliki kekhawatiran terhadap prospek kelompok jihadis Islam yang mampu beroperasi secara bebas di Suriah. Obama menyatakan bahwa kelompok ekstrimis di Suriah tidak memiliki banyak yang ditawarkan dalam hal membangun sesuatu, namun mereka sangat baik memanfaatkan situasi yang tidak lagi berfungsi. Para analis kebijakan luar negeri di Washington memperingatkan Suriah bisa berubah menjadi sebuah negara gagal, dimana sekitar setengah perekonomian negara telah runtuh sejak pertempuran dimulai. Mereka berpendapat bahwa jika kaum Islam mengisi kevakuman kekuasaan hal ini bisa menimbulkan ancaman tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi negara-negara tetangga seperti Yordania dan Libanon. Termasuk pula akan mengancam kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Dalam kasus konflik Suriah ini nampaknya Amerika Serikat sangat berhati-hati karena banyak kepentingan yang bermain disana termasuk juga Rusia dan China. Oleh sebab itu, intervensi kemanusiaan tidak bisa dilancarkan karena resolusi tidak dapat tercapai karena adanya veto dari pihak Rusia yang menginginkan perimbangan kekuatan di Suriah. Dalam konteks ini ancaman Islam menjadi sesuatu perkara yang ditakutkan oleh Amerika Serikat, karena jika kalangan ekstrimisme Islam berhasil mengambil alih kekuasaan, maka akan muncul sebuah negara yang akan mengganggu kepentingan utama Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Mengingat para kelompok jihadis telah sepakat untuk mengusung agenda penegakan kembali negara Islam. Dalam kasus Suriah sepertinya pendekatan yang dipergunakan bersifat akomodasionis, karena Amerika ingin menyisihkan kelompok-kelompok militan.

Terdapat juga semacam ketakutan Amerika akan potensi penguasaan dan perebutan senjata kimia oleh para militan. Mengingat Bashar al-Assad memang mengembangkan senjata kimia di Suriah yang dalam beberapa kesempatan digunakan untuk menghadapi para milisi jihad Islam. Oleh sebab itu, Amerika Serikat dan Rusia mengusulkan agar pengawasan senjata kimia Suriah di serahkan kepada Dewan Keamanan PBB. Di sisi lain para kelompok pejuang di Suriah secara jelas bersikap tegas terhadap Amerika bahwa mereka tidak akan menerapkan demokrasi pasca Assad, melainkan mereka akan menjadi pemerintahan Khilafah Islamiyah sebagai sebuah perkara yang mereka perjuangkan. Fakta-fakta tersebut dengan sangat jelas berpotensi ancaman bagi Amerika Serikat. Dalam kasus Suriah pandangan konfrontasionalis juga terkadang digunakan oleh Amerika Serikat, yakni ketika Obama melabeli milisi jihad Islam yang ada di Suriah sebagai kelompok teroris, radikal, dan fundamentalis.

Adapun terkait dengan kebangkitan Islam di Timur Tengah pasca Arab Spring memang menjadi wacana yang tidak terbantahkan, terlebih lagi dalam kasus Suriah mengingat para milisi jihad Islam hanya butuh selangkah lagi yakni menjatuhkan Assad dan menyatukan seluruh kelompok oposisi untuk berjuang menegakkan Khilafah. Prospek kebangkitan Islam pasca Arab Spring menjadi semakin cerah melalui kasus konflik Suriah tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan pada pemaparan sebelumnya mengenai kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah pasca Arab Spring, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam proses penyusunan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terdapat sebuah keragaman dan kecairan dalam peta intelektual Amerika Serikat. Hal tersebut disebabkan karena kebijakan luar negeri AS berada pada posisi dimana terjadi sebuah ketegangan dialektik antara dua buah pola yang berlawanan, yakni : pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Ketegangan dialektik tersebut pada akhirnya melahirkan dua buah kubu dalam panggung intelektualitas AS berkaitan dengan pengaruhnya dalam proses penyusunan kebijakan, yakni kubu konfrontasionalis dan akomodasionis. Pihak konfrontasionalis lebih menekankan pada sebuah pemahaman yang melihat Islam sebagai sebuah ancaman monolitik, dalam pandangan ini Islam disebut sebagai sang “Musuh Baru” dengan lebih menekankan pada peran budaya dan sejarah. Sementara pihak akomodasionis agak sedikit berbeda, yakni walaupun mereka menaruh kekhawatiran terhadap Islam tetapi mereka lebih melihat Islam itu sebagai “Tantangan Baru”, dimana dunia Islam itu terkotak dan terpilah, masih ada kemungkinan mereka dapat bersikap lebih moderat dan mau bekerjasama dengan Amerika Serikat.

Terkait dengan kondisi Timur Tengah pasca Arab Spring, maka nampaknya masalah-masalah politik riil yang menjadi alasan kecemasan Amerika terhadap Islam Politik di kawasan Timur Tengah. Peran politik dan pertahanan-keamanan nampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan isu-isu seputar budaya, propaganda dan sejarah. Hal itu bisa kita lihat dari negara-negara yang mengalami pergolakan pada saat Arab Spring, yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut justru lebih bersikap moderat terhadap Barat dan tetap menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mereka emban. Terkecuali Suriah yang memang dalam proses revolusinya karakter Islam sangatlah kuat mewarnai keinginan dari para milisi-milisi jihad Islam yang ingin menjadikan Suriah pasca Assad sebagai sebuah negara Islam dan mereka pun mengawal tujuan itu. Adapun prospek kebangkitan Islam, maka dapat kita katakan bahwa wilayah Timur Tengah memang sangat berprospek bagi kebangkitan Islam, karena akar peradaban Islam memang disana, hanya saja dominasi dan kekuasaan asing yang masih bertahan di Timur Tengah menjadi faktor penghambat terealisasinya perkara tersebut, mengingat salah satu kepentingan politik AS di kawasan Timur Tengah adalah menghalau laju kebangkitan Islam.

Rekomendasi

Penjelasan terkait kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah pasca Arab Spring sebagaimana yang digambarkan sebelumnya, menunjukkan bahwa eksistensi intelektual sebagai bagian dari epistemic community dan juga pandangan masyarakat Amerika Serikat terhadap Islam politik sangat berperan dalam proses penyusunan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Oleh karena itu, intelektual Muslim harus mampu memberikan counter terhadap berbagai macam isu yang sedang berkembang dalam bentuk debat-debat publik yang mampu memberikan penggambaran secara terperinci atas keunggulan Islam dibandingkan dengan konsepsi kehidupan yang lainnya, dalam rangka membentuk opini umum yang mampu melahirkan kesadaran umum.

Intelektual Muslim diharapkan berperan dalam rangka membangun sebuah pencitraan yang positif terhadap Islam, agar dukungan umat dapat terus mengalir ke arah penegakan Islam secara menyeluruh dalam wadah Khilafah. Dalam konteks internasional pencitraan positif terhadap Islam sangat diperlukan agar berbagai macam persepsi-persepsi negatif terhadap Islam dapat dihilangkan. Intelektual Muslim juga diharapkan mampu memberikan penjelasan secara terperinci mengenai sistem Islam. Dalam konteks hubungan antara Islam dengan Barat, maka peran intelektual Muslim sangat diharapakan dalam rangka menunjukkan eksistensi Islam sebagai sebuah peradaban yang agung, tanpa harus bersikap moderat.

Dalam kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat, maka intelektual Muslim harus mampu mengungkap berbagai macam agenda yang dicanangkan oleh mereka terhadap kaum Muslim dalam rangka upaya untuk melakukan penjernihan terhadap pemikiran Islam ditengah-tengah umat Islam. Karena, dengan dasar adanya kejernihan pemikiran Islam ditengah-tengah kaum Muslim, maka akan dapat mengantarkan kepada kebangkitan. Sementara kebangkitan itu sendiri hanya dapat diraih melalui peningkatan taraf berfikir umat. Untuk skala yang lebih besar para intelektual Muslim harus mampu menjadi sebuah Epistemic Community yang mampu membuat suatu jaringan orang-orang profesional yang memiliki keahlian dan kompetensi dalam suatu wilayah science tertentu dan memiliki otoritas untuk mengusulkan dan membuat kebijakan berdasarkan ilmunya. Sekaligus eksistensi mereka untuk melakukan counter berbagai macam kebijakan yang dicanangkan oleh kalangan intelektual Barat, dengan memberi dukungan kepada Islam dan menjelaskan kelemahan konsepsi Barat.***

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal :

Al-Wa’ie, Iran-AS : “Kemesraan di Balik Layar”, No. 159 Tahun XIV, 1-30 November 2013.

Fuller, Graham E dan Lesser, Ian O. A Sense of Siege : The Geopolitics of Islam and the West, Boulder, CO : Westview Press, 1995.

Gergez, Fawaz A. America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest ? (Edisi Indonesia : Amerika dan Politik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?), Jakarta : AlvaBet, Cet.1, September 2012

Hastedt, Glenn H, ed.,  American Foreign Policy : Past, Present, Future. Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall, 1997

Hoffmann, Stanley. Dead Ends : American Foreign Policy in the New Cold War. Cambridge : Ballinger, 1983

Huntington, Samuel P. The Clash Civilizations and The Remaking of World Order (Edisi Indonesia : Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia), Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2003.

Hunt, Michael H. Ideology and U.S. Foreign Policy, New Haven, CT : Yale University Press, 1987

Irdayanti. Kebijakan Penolakan Rusia terhadap Strategi Barat di Suriah. Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1,  Juli 2012

Kepel, “The Revenge of God : The Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in theModern World, terj. Alan Braley, University Park : Pennsylvania State University Press, 1994.

Paris, Jonathan S. “When to Worry in the Middle East”, Orbis, Fall : 1993

Rodman, Peter W. “Policy Brief : Co-opt or Confront Fundamentalist Islam ?”,Middle East Quarterly, Desember, 1994.

Tamburaka, Apriadi. Revolusi Timur Tengah Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-Negara Timur Tengah. Yogyakarta : Penerbit Narasi, 2011.

Sumber dari Internet :

______http://www.bimbie.com/kekuatan-baru-di-dunia.htm, diakses pada tanggal 12 November 2013

______http://muzainiyeh---fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-59281-MBP%20Timur%20Tengah-Kepentingan%20Barat%20di%20Timur%20Tengah.html, diakses pada tanggal 13 November 2013

Footnotes :

Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah, Yogyakarta : Penerbit Narasi, 2011, Hal. 9

Irdayanti, Kebijakan Penolakan Rusia terhadap Strategi Barat di Suriah, Jurnal Transnasional, Vol . 4, No. 1, Juli 2012, Hal. 2

http://www.bimbie.com/kekuatan-baru-di-dunia.htm, diakses pada tanggal 12 November 2013

Stanley Hoffmann,  Dead Ends : American  Foreign Policy in the New Cold War (Cambridge : Ballinger, 1983), Hal. 11-12, 275.

Glenn H. Hastedt, ed., American Foreign Policy : Past, Present, Future (Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall, 1997), hal. 28-34; Hunt, Ideology and U.S. Foreign Policy, hal. 1-18

Fawaz A. Gergez, America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest ? (Edisi Indonesia : Amerika dan Politik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?), Jakarta : AlvaBet, Cet.1, September 2012, Hal. 5-6.

Al-Waie, No. 159 Tahun XIV, 1-30 November 2013, hal. 22

http://muzainiyeh---fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-59281-MBP%20Timur%20Tengah-Kepentingan%20Barat%20di%20Timur%20Tengah.html, diakses pada tanggal 13 November 2013

Ibid

Ibid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun