Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPU dan Bawaslu Berseteru, Bacaleg Mantan Napi Korupsi Menanti Putusan MA

5 September 2018   14:03 Diperbarui: 5 September 2018   16:00 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koordinator Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu Republik Indonesia, Mochammad Afifuddin (tengah). Nur Azizah Rizki (detikcom)

Polemik antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia terus bergulir, bahkan polemik tersebut mulai menjurus kepada konflik.

Pertentangan kedua badan pelaksana pemilu di Indonesia itu lebih fokus pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri menjadi bakal calon DPD, DPR, dan DPRD pada pemilu legislatif 2019 mendatang.

Menurut Bawaslu PKPU Nomor 20/2018 tidak sejalan dengan UU Pemilu bahkan dituding bertentangan dengan konstitusi. Mereka berpendapat bahwa UU Dasar 1945 tidak terdapat satupun pasal yang melarang setiap warga negara Indonesia untuk menggunakan hak politiknya, baik memilih dan ataupun dipilih, kecuali ada Undang-undang yang melarangnya

Termasuk para mantan napi koruptor sekalipun, mereka berhak untuk mencalonkan dirinya pada pemilu mendatang. Karena konstitusi menjamin hak dasar tersebut, yang melekat pada setiap warga negara Indonesia. Sehingga Bawaslu berpandangan, KPU telah melakukan sesuatu yang melanggar konstitusi nasional.

Dalam PKPU itu pula, sebenarnya selain kasus korupsi, napi bekas terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual anak juga dilarang menjadi caleg. 

Dan bahkan rancangan PKPU ini sebelum diteken resmi oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana pada 3 Juli 2018 menjadi PKPU, sempat menjadi perdebatan. Walaupun pada akhirnya aturan tersebut menjadi peraturan resmi yang mengikat bagi seluruh peserta pemilu.

Namun tidak demikian halnya bagi Bawaslu, pihaknya tetap berpegang pada Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg. Atas dasar itulah Bawaslu pun meloloskan 12 bacaleg mantan napi koruptor sebagai bacaleg DPRD yang kemudian memunculkan polemik.

Keputusan Bawaslu mengabaikan PKPU nomor 20/2018 menjadi harapan besar bagi mereka yang berstatus mantan napi koruptor, yang tadinya tidak memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai bacaleg. 

Sehingga kebijakan Bawaslu yang meloloskan para eks 'pencuri' uang negara telah menjadi bola salju yang terus menggelinding ke berbagai daerah lain di Indonesia. Akibatnya semua napi eks koruptor meminta hak yang sama atau perlakuan yang adil dari KPU.

Namun KPU sendiri sejauh ini masih memegang teguh PKPU nomor 20/2018 yang telah disahkan tersebut sebagai landasan hukum untuk aturan pendaftaran bacaleg oleh partai politik peserta pemilu. Artinya KPU tetap akan tidak meloloskan bacaleg yang tidak memenuhi syarat.

Kondisi bertolak belakang dan berbeda pendapat yang sangat tajam antara dua lembaga penyelenggara pemilu itu telah menyebabkan 'kekacauan' bagi para peserta pemilu. Dan mereka membuat masyarakat kebingungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun