Mohon tunggu...
Billy Antoro
Billy Antoro Mohon Tunggu... -

Senang pada hal-hal baru dan menuliskannya di media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bandit

17 April 2013   06:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Si Sapii nyaleg, Met! Sudah tahu?”

Memet melipat dahinya. “Ciyus? Miyapa?”

Mendengar ucapan alay Memet, Cepi menjulurkan tangannya ke perut Memet.

“Aw!” Memet menggelinjang. Cubitan Cepi terasa panas (hot).

“Sekali lagi kamu nyubit saya kayak gitu, kubanting kamu, Cep!”

“Ciyus? Miyapa?”

“Kukepret kau!”

Cepi buru-buru mundur. Sepertinya Memet sedang tak bisa diajak bercanda.

“Aku juga sudah menduga tahun 2014 ini dia akan nyaleg. Pundi-pundi duitnya sudah menggunung rupanya.” Pandangan Memet hampa, menembus jeruji penjara, tertumbuk pada dinding yang biasa jadi tempat mangkal muda-mudi cicak.

“Untuk bisa berpolitik di negeri ini, buat sebagian orang, gampang amat ya, Met. Asal punya banyak duit, semua partai berebut jadi kendaraannya.”

“Itu karena sistem perpolitikan di negeri ini sengaja dikondisikan demikian. Hanya orang-orang berduit saja yang bisa main.”

“Kayak main judi saja ya...”

Ucapan enteng Cepi ternyata membangunkan kesadaran Memet. “Kamu benar, Met. Politik jadi ajang taruhan. Siapa yang paling kuat dan lama bertahan, dialah yang menang.”

“Banyak orang yang bertumbangan. Kalah sebagai pecundang. Yang tidak kuat bunuh diri atau jadi gila.” Cepi menghela napas perlahan. Ada kegetiran yang tiba-tiba menusuk-nusuk benaknya.

Memet menatap Cepi sebentar. Ia tahu, teman satu selnya itu telah habis-habisan agar bisa naik panggung politik. Namun kegagapannya dalam berpolitik malah mengantarkannya menghirup udara penjara. Dasar pecundang.

“Aku sangat yakin, orang berlomba-lomba jadi politikus atau pejabat agar bisa menduduki posisi-posisi strategis di eksekutif maupun legislatif bukan untuk melayani rakyat. Tapi untuk mengeruk duit rakyat. Begitu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk sekadar dapat posisi pinggiran di partai atau eksekutif. Maka, ketika menjabat, yang ada di otaknya adalah bagaimana mengembalikan duit yang sudah habis dan memperbesar pundi-pundinya.”

Hati Cepi makin sakit. Kendati ucapan Memet benar, namun rasanya seperti sembilu yang menyayat-nyayat jantungnya. Dulu ia pun berpikir, ia mau jadi politisi karena dengan begitulah ia cepat bisa punya mobil dan rumah mewah, dihormati masyarakat, dan, kemungkinan besar, bisa tambah bini. Sekarang, boro-boro tambah bini, rumah saja masih ngontrak. Apes.

“Mestinya partai-partai itu selektif merekrut masyarakat sebagai calon kadernya di parlemen. Jangan asal comot. Mereka dikader, dididik, supaya menjadi pejabat yang benar-benar melayani rakyat. Bukan dibiarkan lolos asal nyetor duit banyak tapi akhirnya cuma jadi pemeras dan koruptor ulung.”

Memet melirik Cepi. Melirik kasihan. Namun entah kenapa ia merasa nikmat berkata-kata sementara Cepi diam seribu bahasa seakan hati terluka.

Memet meneruskan kalimatnya. “Kupikir, semua partai di negeri ini tak ada yang terang-terangan memerangi korupsi, bahkan terkesan membela pelaku korupsi. Ketika kadernya korupsi, mengonsumsi narkoba, mencuri, dan melakukan pelecehan seksual, pimpinan partai tutup mata dan cuci tangan dengan mengatakan bahwa itu kesalahan individu. Tak terkait partai. Kalau begitu, partai tak ubahnya wadah segerombolan manusia yang berkumpul karena ikatan kepentingan. Tak ada pengkaderan dan ideologisasi.

“Sebagian anggota DPR sekarang sukses mempertontonkan lembaga terhormat itu sebagai tempat berkumpulnya para maling. Koruptor, pengisap anggaran, pemeras, penerima suap, penonton film porno, tukang jalan-jalan, tukang cuap-cuap, tukang bolos, penipu. Lengkap. Kebaikan sebagian lagi terkubur oleh pemberitaan negatif itu. Yang memalukan, salah satu anggota DPR, sekarang sudah mundur, bolos sidang tapi ketahuan mengisi daftar hadir adalah anak Pak Presiden.”

Cukup, Met.

“Setelah kader partai menjelma pejabat eksekutif macam gubenur, bupati, dan wali kota, atau anggota DPR dan DPRD, mereka beramai-ramai mencuri duit negara. Jadi bandit rakus. Menginjak-injak sumpah dan kitab suci yang mengiringi pelantikannya. Mereka, orang-orang bodoh yang pura-pura pintar.”

Cukup, Met. Tiap bilang kata ‘bodoh’, sepertinya kau menujukannya kepadaku.

Memet terus merepet, tak peduli tatapan Cepi yang seakan teriak, “Please, diam, atau kujahit mulutmu.”

“Aku sempat berpikir, kenapa Tuhan membiarkan bandit-bandit itu terus hidup di negeri kaya alam ini. Terus bereproduksi dalam jumlah tak terkira macam tikus kurap penghuni gorong-gorong. Apa Dia tidak bosan dan mengutuk saja orang-orang itu jadi semut?”

Air muka Cepi sejenak berubah heran mendengar perumpamaan Memet yang tak lazim. Kok semut?

Memet memahami kebingungan Cepi. “Jadi semut biar mudah diinjak-injak.”

Memet terus merepet, tak tahu tangan Cepi mengepal sejak tadi. Siap dihujamkan ke bagian strategis tubuh Memet. Dan betul saja, ketika kemarahan Cei sudah mencapai ubun-ubun, secepat kilat tangannya menyambar tubuh Memet.

“Aw!”

Memet sontak menggelinjang, menahan perih. Jemari Cepi meremas perutnya. Ia berusaha melepaskan cubitan Cepi, namun sulitnya minta ampun.

Cepi mendekatkan wajahnya ke Memet. “Cukup sudah kau mengolok-olokku, Met! Aku memang pecundang, orang bodoh yang lugu mudah ditipu.” Suara Cepi lama-lama samar tertelan sesenggukannya. “Namun itu masa lalu yang tak ingin kuingat terus. Aku juga punya hati, punya perasaan. Kalau kau sahabat baikku, bantulah aku melupakan segala keburukan itu.”

Memet trenyuh mendengar kata-kata Cepi. Ia tak sadar air matanya berlinangan membecekkan pipi. Perlahan ia memeluk Cepi. “Maafkan aku, Cep. Aku khilaf. Biarlah yang lalu berlalu dibawa angin.”

Saat itulah Asan datang. Ia terkejut melihat Memet dan Cepi berangkulan dan menangis bersama.

“Ehm, ehm!”

Mendengar ada yang ‘ehm-ehm’, Memet dan Cepi menolehkan pandangan. Memet merasa privasinya terganggu. “Apa kau ‘ehm-ehm’? Pergi sana!”

“Sebentar, Met. Aku...”

“Pergi sekarang! Kusambit sandal kau!”

Asan segera lari keluar. Sambil berlari-lari pikirannya bertanya-tanya, “Tadi si Inah bilang aku harus menemui Memet karena Memet mulai kelihatan linglung. Ternyata ucapannya benar. Mungkin Memet sudah kelamaan di dalam penjara.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun