Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sultan Syarif Kasim II, Sultan Kerajaan Siak

31 Oktober 2012   04:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendengar kata melayu, mungkin banyak dari kita kemudian mengidentikkan dengan Malaysia. Melayu memang sudah terlanjur melekat dengan negara tersebut, padahal sebenarnya, negara kita adalah cikal bakal tumbuhnya budaya melayu, terutama di wilayah Provinsi Riau dan kepulauan Riau.

Berkembangnya kerajaan melayu diawali dengan berdirinya Kerajaan Siak yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan Kerajaan Lingga, yang terletak di daerah Pulau Daik-Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Kedua kerajaan ini sangat disegani, bahkan pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satu sultan yang pernah memimpin Kerajaan Siak, yaitu Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau yang lebih dikenal dengan Sultan Syarif Kasim II. Sultan Syarif Kasim II lahir pada tanggal 1 Desember 1883 di Siak Sri Indrapura. Luar biasanya, beliau diangkat menjadi sultan pada usia yang masih sangat muda, yaitu pada usia 21 tahun. Beliau dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak ke-12 menggantikan ayahnya, Sultan Syarif Kasim.

Pada masa kepemimpinannya, beliau sangat aktif dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Bahkan beliau berani dengan tegas menolak mengakui Kesultanan Siak sebagai bagian dari Pemerintah Kolonial Belanda meskipun para sultan pendahulunya telah terikat dengan perjanjian dengan Belanda, termasuk Perjanjian London 1824.

Selain dalam hal memerangi penjajah, dengan harta yang beliau miliki, beliau menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Siak, terutama dalam bidang pendidikan. Banyak sekolah yang didirikan di Siak dengan bahasa pengantar Melayu dan Belanda. Bahkan untuk anak-anak Siak yang cerda, beliau juga memberikan beasiswa dengan mengirim mereka ke Batavia atau tempat lain guna menuntut ilmu.

Puncaknya, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, beliau menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah Republik Indonesia (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta Euro di tahun 2011).

Di usia 74 tahun, beliau tutup usia di Rumbai, Pekanbaru pada tanggal 23 April 1968, dan dimakamkan di dekat lokasi Kerajaan Siak. Atas dedikasi beliau dalam perjuangan kemerdekaan dan atas semakin berkembangnya wilayah Siak khususnya dan Riau pada umumnya, namanya digunakan sebagai nama bandara udara di Kota Pekanbaru. Saat ini, Kerajaan Siak masih kokoh berdiri dan digunakan sebagai objek wisata bagi para wisatawan yang ingin mengetahui secara langsung Kerajaan Siak di Kota Siak Sri Indrapura.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun