Mohon tunggu...
Belly Partomuan
Belly Partomuan Mohon Tunggu... Insinyur - Paragraf di Minggu Sore, Sola Gratia

The right direction leads not only to peace but to knowladge. -CS Lewis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nadiem-Netflix: Film, Cerita, dan Makna

2 Februari 2020   17:28 Diperbarui: 2 Februari 2020   18:01 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini saya awali dengan sebuah berita yang mungkin tidak terlalu seksi jika dibandingkan banyaknya notifikasi berita di smartphone anda di awal tahun 2020 ini. Ya, kita disuguhi dengan berita-berita yang cukup menarik perhatian semua kalangan masyarakat. Mulai dari banjir Jakarta, USA-Iran sampai kepada virus Corona. 

Nadiem Makarim yang resmi menggandeng Netflix. Berita ini mungkin kalah seksi dengan banyaknya berita di atas. Oleh sebab itu, saya tidak akan membahas banyak tentang latar belakang, regulasi dan hal-hal praktis pada berita ini. Saya lebih tertarik membahas argumentasi dan alasan fundamental Nadiem menggandeng Netflix.

"Nadiem mengatakan film merupakan hal yang unik karena bisa dikonsumsi secara digital dan jadi kanal dan distribusi budaya dan telenta Indonesia yang paling cepat".

Setiap film adalah usaha menyampaikan sebuah pesan dengan cerita visual kepada penonton. Pesan ini pasti mempunyai makna, karena makna ini timbul dari sistem pikirian, filsafat, dan budaya sang pembuat film. Ya sejatinya seorang pembuat film adalah seorang pemikir, filsuf dan budayawan. 

Ketiga hal ini (setidaknya sistem pikirian, filsafat dan kebudayaan) berasal dari sebuah konfiksi/keyakinan terdalam sang pembuat film. Seperti kita menyampaikan pesan kepada orang yang berada di luar eksistensi kita, seperti itu pulalah esensi film terbentuk. Apa yang menjadi pembeda dengan penyampaian pesan yang kita lakukan lewat komunikasi langsung adalah cerita visualnya.

Beberapa kali mungkin kita tidak menyadari hal ini dalam menonton sebuah film bahwa film adalah sebuah transfer filsafat yang bisa mempengaruhi kita sebagai penonton. Kebanyakan kita mungkin menonton dengan hanya sekedar menonton saja, tetapi mungkin jarang berpikir apa sistem pemikirian dan konfiksi yang disuguhkan di dalam film tersebut. 

Opini saya, setidaknya di luar keenggananan kita untuk berpikir lebih sebagai penonton, hal yang membuat kita tidak terlalu berpikir tentang hal-hal ini pada saat menonton film adalah tumbuh kembang perfilman saat ini.

Perkembangan perfilman zaman sekarang lebih kuat pada visualisasi grafis dan efek suara dibandingkan tekanan pesan dan cerita. Saat ini kita sangat dijamu oleh CGI (Computer-generated imagery) yang begitu menarik perhatian seolah-olah kita masuk di dalam film tersebut. 

Saya coba mengerti kritik yang cukup tajam dari Martin L. Scorsese terhadap film-film MCU (Marvel Cinematic Universe). Ia menilai bahwa film-film MCU bukan film sesungguhnya. Ia menyebut film pahlawan super dengan biaya tinggi dan sederet aktor kenamaan itu seperti taman hiburan. 

Asumsi yang bisa saya pikirkan tentang argumentasi beliau, bahwa arah perfilman MCU hanya mengandalkan dua hal yaitu satu arus cerita yaitu hanya tentang pahlawan super dan visual graphic yang menjadi "wow efek" utama bagi para penonton. 

Bagi saya ini adalah hal berbeda dengan esensi utama sebuah film yang mestinya adalah cerita. Cerita yang seharusnya menjadi hal utama untuk membawa masuk penonton ke dalam film, bukan visual grafis maupun efek suara. Komentar dan kritik kebanyakan kita setalah keluar dari ruang bioskop adalah tentang visual grafis dan efek suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun