Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bife Meto, Perempuan Timor yang Setara dengan Alam

2 Agustus 2017   11:35 Diperbarui: 2 Agustus 2017   11:46 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: simonseffi.blogspot.com

Setiap perempuan Timor NTT yang mendiami wilayah pulau Timor bagian  barat terkhusus di wilayah Amfoang, Fatuleu, Molo, Miomafo, dan beberapa  wilayah bekas swapraja yang dulu tunduk pada pengaruh raja Sonbai akan  mengidentifikasi diri mereka sebagai bife meto. Sebutan bife meto yang  menyingkat bife pah meto bermaksud menjelaskan keberadaan mereka sebagai  perempuan di wilayah yang kering. Bife berarti perempuan, pah meto  merujuk pada wilayah yang kering. Para lelaki mengindetifikasi diri atau  disebut oleh pihak luar sebagai atoin meto, yang juga menyingkat atoin  pah meto.

Siapa sangka, beberapa abad lalu, bife meto yang tidak sedikit generasi  penerusnya saat ini rentan dieksploitasi karena cenderung distigmakan  sebagai perempuan bodoh dan lemah ternyata memiliki posisi yang agung  dalam kehidupan masyarakat. Posisi terhormat bife meto saat itu masih  bisa diikuti jejaknya dalam kebiasaan budaya beberapa suku. Yang  mengagumkan, segala keagungan bife meto berakar dari keberadaan dirinya  yang dipandang, dipercaya, dan diakui setara dengan lingkungan  ekologis  pemberi kehidupan.

Hingga hari ini, masih banyak marga dalam nonot (gabungan beberapa suku  kecil) Timaubas di Amfoang dan nonot Pit'ais di Fatuleu menempatkan  setiap perempuan dalam keluarga sebagai bife asae fatu kanaf yang secara  harafiah berarti 'perempuan yang memikul batu nama/marga. Bife asae  fatu kanaf maknanya lebih dekat kepada perempuan sebagai figur yang  melekat dan sekaligus bertanggung jawab terhadap fatu kanaf sebagai  sentrum kepemilikan wilayah kekuasaan marga atau keluarga. Fatu kanaf  yang berarti batu nama/marga juga menjadi tempat yang sakral bagi tiap  marga karena segala ritual untuk berhubungan dengan kekuatan (Le'u) yang  mengatur relasi manusia dan ekologis di lakukan di sana.

Marga atau keluarga yang menempatkan perempuan sebagai asae fatu kanaf  biasanya akan menyapa istri dan anak perempuan dalam tiap keluarga  dengan menyebut nama fatu kanaf marga tersebut. Misalnya, semua  perempuan dalam marga Nebnoni, Kake, dan beberapa marga lainnya dalam  nonot Pitais di wilayah Fatuleu Barat saat ini masih sering di sapa  'Mutis' karena diakui sebagai yang bertanggung jawab terhadap ekologi  yang sentrumnya adalah gunung Mutis. Marga Seffi dalam nonot Timaubas di  wilayah Amfoang Tengah menyapa perempuan dalam marganya sebagai  'Kasliug' karena diakui bertanggung jawab terhadap alam di sekitar  gunung Kasliug yang terletak di desa Kasliug wilayah Mollo kabupaten  TTS. Jika mereka dibicarakan dalam kapasitas sebagai orang ketiga  tunggal, akan disebut 'Bi Mutis' atau 'Bi Kasliug'. Bi adalah orang  ketiga tunggal berjenis kelamin perempuan.

Kebetulan juga, kata ganti 'Bi' biasanya dilekatkan dengan nama suatu  tempat atau wilayah dalam syair adat suku tertentu. Misalnya 'Bi Bane'  untuk menyebut kampung Hubane di wilayah Fatuleu Barat oleh suku adat  Elan, Boy, tuname Nenomana dalam syair adatnya, atau 'Bi Nonij' untuk  mengiaskan wilayah Amfoang dalam syair adat milik nonot Timaubas dan 'Bi  Timo' yang merujuk pada wilayah Ambenu. Artinya, perempuan dan alam  pemberi kehidupan dianggap setara dalam paradigma masyarakat.

Makanya,  dalam ritual perkawinan adat suku Elan, Boy, tuname Nenomana dalam nonot  Pitais di wilayah Fatuleu Barat misalnya, juga ada tahapan yang disebut  dalam syair adat sebagai tasanut fatu kanaf // tasae fatu kanaf atau  disingkat saja tasanut fatu // tasae fatu yang secara harafiah berarti  menurunkan fatu kanaf // menaikkan fatu kanaf. Dalam tahapan ini,  keluarga asal dari perempuan yang menikah akan menurunkan sebuah batu  ceper yang sebelumnya telah diletakkan di atas kepalanya lalu calon  suaminya akan mengganti menempatkan sebuah batu ceper di atas kepala  calon istrinya. Prosedur ini juga dulunya ada dalam tata cara perkawinan  nonot Timaubas tetapi sudah ditinggalkan saat ini. Secara simbolis, ini  berarti perempuan melepaskan tanggung jawabnya terhadap fatu kanaf  marga asal dan beralih mengurus fatu kanaf baru.

Cara pandang yang menempatkan perempuan setara dengan alam pemberi hidup  juga bisa kita rujuk dalam berbagai tutur adat yang masih terus  diwariskan turun - temurun hingga hari ini dalam syair adat beberapa  suku. Dalam tutur adat nonot Timaubas maupun nonot Pitais yang masih  terus hidup hingga kini, diketahui bahwa figur Sonbai sebagai pengelana  dari arah neon saet (matahari naik) mendapat hak atas alam pemberi  kehidupan yang berpusat di Mutis am Babnain hingga berkuasa atas wilayah  Paenenom Oenam yang sangat disegani kolonial, karena mengawini Bi Lile  Kune, putri Nai Ke Kune, penguasa gunung Mutis yang sudah ada  sebelumnya. Suku Elan, Boy, tuname Nenomana yang mengawal raja Baob  Sonbai ke Kupang sekitar akhir abad 15 untuk menggugat Kolonial yang  merusak hutan cendana dan Gaharu juga kemudian berhak atas wilayah  kecamatan Fatuleu Barat saat ini karena wilayah tersebut dihitung  sebagai mahar atas kedua anak gadis mereka yang dikawini pihak Amfoang.

Bife meto yang setara dengan alam pemberi kehidupan dalam paradigma  lokal kemudian menjadi kabur ketika Kolonial mulai berkuasa. Jauh  sebelum kedatangan kolonialis, bife meto punya posisi dan peran sendiri  dalam kehidupan sosial dan adat. Kondisi alam yang keras saat itu juga  mendidik mereka menjadi tangguh sehingga diperhitungkan selain sebagai  yang setara dengan alam pemberi hidup. Pengelolaan hasil produksi  sepenuhnya hanya boleh diatur oleh perempuan. Gudang makanan yang ada di  loteng ume bubu (rumah bulat) hanya boleh diakses oleh istri atau  perempuan. Pemali sekali untuk lelaki bahkan sekedar masuk dan melihat -  lihat. Bahkan, rumah adat yang disebut ume le'u atau rumah yang  ada/berisi atribut - atribut untuk ritual adat juga dirawat dan dijaga  oleh perempuan. Tidak sembarang dimasuki jika tidak diijinkan oleh  mereka. Bife meto juga menaikkan kehormatan keluarga melalui banyaknya  selimut yang diproduksi untuk kebutuhan dalam keluarga.

Mengawini bife meto dalam paradigma demikian dimaknai sebagai mengawini  kehidupan, mengawini alam yang memang saat itu benar - benar dilindungi  secara bertanggungjawab menggunakan ritual - ritual adat yang mengikat  dan dipatuhi sepenuh hati. Segala proses perkawinan saat itu benar -  benar dimaknai sebagai suatu proses adat budaya yang sakral karena  keagungan perempuan.

Situasi berubah ketika kolonial mulai masuk. Peran ekonomi perempuan  dihancurkan. Laki - laki juga harus ikut - ikutan mengurus pengelolaan  hasil produksi, menyentuh dan mengangkut untuk disembunyikan ke dalam  gua atau lubang - lubang di tengah belantara agar tidak diambil paksa  untuk kepentingan kolonial. Posisi perempuan sebagai penghasil selimut  mulai digusur keberadaan pakaian industri eropa. Elit - elit dalam  kehidupan sosial dan adat juga ikut menggusur peran adat perempuannya.  Bukan hanya selimut, sarung, dan selendang yang menjadi atribut adat,  tetapi destar yang biasa disebut pilug juga mulai diterima sebagai salah  satu atribut penting. Saat itulah mahar yang kini disebut belis juga  mulai bergeser orientasi. Pemilik tanah ulayat yang luas mulai  menjadikan tanah sebagai belis karena keinginan menghindari pajak tanah  yang ditetapkan kolonial saat itu. Uang kolonial yang disebut noni teme  mahenu, lapeog, dan koal juga diterima dan digunakan sebagai belis  karena kolonial mengharuskan pembayaran pajak menggunakan uang mereka  juga.

Lebih dari itu, perempuan kemudian hanya dianggap sekedar sebagai teman  tidur. Perempuan mulai dieksploitasi secara seksual. Kebiasaan pembesar  kolonial yang meminta disiapkan perempuan untuk melayani kebutuhan  seksnya saat berkunjung ke Amfoang juga ditiru oleh oknum elit lokal.  Kebiasaan elit lokal ini masih dipelihara hingga menjelang masa awal  kemerdekaan. Ada oknum usif (raja) maupun tamukung (sama dengan kepala  desa saat ini) yang ikut - ikutan meminta pelayanan seks perempuan muda  di tiap titik yang mereka kunjungi. Kebiasaan ini disebut tabena nahe  yang secara harafiah berarti 'membentangkan tikar'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun