Mohon tunggu...
Rabbit Antonio
Rabbit Antonio Mohon Tunggu... Administrasi - Penghibur

Open Minded

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Fenomena "Bakar Uang" ala Startup dan Gelembung Ekonomi

10 Desember 2019   20:41 Diperbarui: 10 Desember 2019   20:41 3258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital seperti saat ini memang melahirkan banyak perusahaan rintisan (Startup), seiring berjalannya waktu perusahaan rintisan ini terus berkembang dan semakin banyak. Mengutip Startupranking.com, Indonesia menempati urutan keenam dunia dengan jumlah 2.167 startup, setelah AS, India, Inggris, dan Kanada.

Dari jumlah start up tersebut, beberapa sudah menjelma menjadi unicorn yaitu perusahaan dengan valuasi sebesar US$ 1 Miliyar. Saat ini di ASEAN ada tujuh unicorn, empat di antaranya berasal dari Indonesia, masing-masing Bukalapak, Tokopedia, Traveloka dan OVO. Bahkan sejak Juli 2019, GoJek telah menjelma menjadi decacorn.

Tanpa disadari keberadaan startup ini telah banyak membantu penggunanya lewat aplikasi yang diciptakan, dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan tetapi banyak fakta yang belum banyak diketahui oleh penggunanya salah satunya praktik 'bakar uang' yang dilakukan untuk menarik minat konsumen.

Istilah bakar uang ini memang lazim terdengar di dunia perusahaan rintisan, istilah ini diartikan sebagai sebuah kegiatan menghabiskan uang yang banyak untuk sebuah proses bisnis tertentu, umumnya lebih ditekankan kepada proses pengembangan bisnis seperti marketing dan akuisisi pasar. 

Kegiatan bakar uang ini umumnya dilakukan oleh perusahaan rintisan dengan memberikan diskon yang besar (marketing), tujuannya agar konsumen tertarik untuk menggunakan layanannya.  

Seperti yang dilakukan oleh Gojek lewat layanan pembayaran digitalnya yaitu gopay dan Grab lewat layanan pembayarannya yaitu OVO, tujuan kedua startup ini adalah untuk meningkatkan jumlah penggunanya dengan menawarkan berbagai promo, baik berupa diskon maupun cashback. 

Fenomena menarik dari kegiatan bakar uang mulai dirasakan pada penghujung tahun 2019. SoftBank perusahaan dari Jepang  yang terkenal karena sering menyuntikan dana fantastis ke perusahan rintisan. SoftBank pada tahun 2019 harus menelan pil pahit karena berinvestasi di startup unicorn. 

SoftBank mencatatkan kerugian untuk kali pertama dalam 14 tahun terakhir karena startup yang diinvestasinya bermasalah. Perusahaan investasinya, yang bernama Vision Fund mencatatkan kerugian hingga US$8,9 miliar atau setara Rp 124,6 triliun (asumsi US$1 = Rp 14.000) karena startup co-working space WeWork mengalami masalah, sehingga Vision Fund harus menggelontorkan dana talangan (bailout) US$10 miliar untuk menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan. 

Di Indonesia Grup Lippo juga melepas sebagian kepemilikan di startup dompet elektronik OVO karena Lippo sudah tidak kuat lagi bakar uang akibat praktik pemasaran yang jor-joran diskon (diskon terus menerus), pendiri dan Chairman Grup Lippo Mochtar Riady mengatakan bahwa Lippo sudah tidak kuat untuk mendanai OVO yang terus membakar uang demi promosi setiap bulan, OVO menghabiskan US$50 juta (Rp 700 miliar).

https://nickledanddimed.com
https://nickledanddimed.com
Startup yang terus melakukan kegiatan bakar uang  memiliki peluang kegagalan yang cukup besar dan berpotensi menimbulkan gelembung (bubble) ekonomi. Seperti dikutip dari Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyatakan pertumbuhan perusahaan rintisan alias startup harus diwaspadai. 

Karena jika tidak hati-hati melesatnya pertumbuhan startup dapat berdampak pada krisis ekonomi. "Perusahaan-perusahaan rintisan ini nilai valuasinya bisa mencapai triliunan, tapi keuangannya merah, Ia mencontohkan, startup ride sharing atau e-commerce yang nilai valuasinya besar, namun asetnya berasal dari mitra atau pihak ketiga, bukan milik perusahaan. 

"Krisis ekonomi berikutnya, bisa terjadi dari bubble startup. Nilainya tinggi, tapi tak punya aset. Apalagi kemudian jika masuk pasar modal, dibeli sahamnya mahal oleh publik, kemudian jatuh," ungkapnya.

Seperti gelembung sabun yang semakin besar, kemungkinan untuk pecahnya juga semakin besar.  gelembung (bubble) seringkali dibentuk oleh ekpektasi pasar yang secara berlebihan, yang membuat harga suatu barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai fundamentalnya. 

Oleh karena itu, gelembung ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang jauh di atas nilai fundamentalnya. Yang menarik dalam hal ini, ekspektasi seringkali membuat orang-orang bersikap irasional (diluar akal sehat). 

Ketika harga suatu aset menjadi semakin tinggi dan dengan persediaan yang terbatas, orang-orang justru akan semakin tergugah untuk membelinya. Mereka (asumsikan semua orang memiliki informasi yang sama) berharap bisa mendapatkan keuntungan dengan membeli aset atau barang tersebut dan menjualnya kembali ketika harganya lebih tinggi. Ekspektasi seperti ini disebut spekulasi. 

Menjadi perhatian khusus dimana pada saat ini banyak sekali startup yang sedang mempersiapkan untuk melakukan Initial Public Overing (IPO), hal ini dapat memperbesar kemungkinan gelembung ekonomi karena perusahaan yang dibeli sahamnya tidak memiliki aset yang berasal dari perusahaan itu sendiri melainkan aset mitra atau pihak ketiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun