Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tiga Hari dalam Dekapan Maut Gunung Merbabu

17 Mei 2017   17:08 Diperbarui: 17 Mei 2017   19:43 32273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angga bersama ayah ibunya di RSUD Salatiga (foto: dok pri)

Prima Angga Wahyu Setiawan (16) alias Angga dan Inggil Pangestu, keduanya remaja asal Ngentak Mulyo, Kutowinangun Lor, Tingkir, Kota Salatiga yang  Selasa (16/5) sore berhasil diselamatkan oleh tim Search and Rescue (SAR) gabungan bersama relawan. Memiliki pengalaman mencekam selama tiga hari berada dalam dekapan maut Gunung Merbabu, seperti apa perjalanannya, berikut catatannya.

Kendati Rabu (17/5) sore kondisi Angga yang tengah menjalani perawatan di RSUD Kota Salatiga sudah dalam kondisi sehat, namun, dengan pertimbangan untuk memulihkan kesehatannya, ia tetap belum diijinkan pulang. Sementara teman senasipnya, yakni Inggil masih berada di ruang ICU karena mengalami cedera di beberapa bagian tubuhnya. “ Inggil belum dipindah ke ruang perawatan,” kata Angga saat saya temui.

Putra pasangan  Wiwik Wahyu Widodo dan Sarwinah yang tercatat sebagai pelajar kelas 10 SMK Negeri III Kota Salatiga ini, sepertinya telah sehat. Meski begitu, ia masih sangat ingat atas kejadian yang dialaminya. Bahkan, mungkin seumur hidupnya tak bakal terhapus dari ingatannya. Dua malam berada di ketinggian ribuan mdpl, yakni di tebing Jurang Grawah, Gunung Merbabu, sangat mustahil dilupakan begitu saja.

Seperti diketahui, Angga dan Inggil dalam satu kelompok pendaki berjumlah 12 orang (versi lain menyebut 10 orang). Sabtu (13/5) sore, mereka berangkat menuju base camp Cuntel. Selepas Maghrib, para pendaki yang mayoritas masih berusia muda memulai pendakian dengan rute jalur Pos III menuju Pos IV. Namun, karena waktu telah menginjak tengah malam, akhirnya diputuskan beristirahat menunggu esok hari.

Di sinilah Angga & Inggil lenyap (foto: dok Dhanang)
Di sinilah Angga & Inggil lenyap (foto: dok Dhanang)
Hingga esoknya, sekitar pukul 10.00 para pendaki yang sudah merasa bugar kembali meneruskan perjalanan menuju Pos IV yang lumayan menguras tenaga hingga memaksa kembali beristirahat sebelum melakukan pendakian ke Pos V. Mungkin karena medannya cukup berat, begitu tiba di lokasi, mereka membutuhkan waktu untuk beristirahat sejenak sembari mencari sumber air.

“ Yang benar, kami dari Pos IV akan turun ke Pos III. Ketika teman- teman beristirahat, tiba – tiba Inggil meninggalkan rombongan untuk turun lebih dulu. Karena khawatir , saya menyusulnya,” jelas Angga meluruskan berita yang menyebutkan bahwa keduanya hilang karena akan naik ke Pos IV.

Solidaritas tanpa Batas

Ketika Angga dan Inggil berjalan menuruni gunung, sekitar 12.00, keduanya tersesat. Karena harusnya melalui route lurus, mereka mengambil jalan ke kanan. Saat itu, sebenarnya teman- temannya sudah berupaya mencarinya, namun hasilnya nihil. “ Kami mendengar teriakan teman- teman dan kami sudah menjawab, tetapi mereka tetap tak bisa menemukan kami,” tutur Angga sembari menambahkan waktu itu terdapat kabut tebal hingga menutupi pandangan siapa pun.

Hingga sore hari, saat teman- temannya melapor ke  base camp Cuntel karena putus asa menunggu kedatangan Angga mau pun Inggil, keduanya tetap dalam posisi stagnan di tebing yang kedalaman jurangnya  mencapai 300 an meter. Celakanya, tiba- tiba Inggil terjatuh akibat terpeleset. Ya sudah, lengkap sudah penderitaan mereka.

Melewati malam berdua, sementara Inggil dalam kondisi cedera, ditambah tanpa perbekalan logistik yang memadai, dua remaja tersebut hanya mampu berdoa. Pasalnya, kendati di atas tebing warga Dusun Cuntel tengah melakukan penyigian, namun teriakan Angga tak bakal didengar. “ Posisi kami, berada di bawah, jaraknya sekitar 150 meter,” ungkapnya.

Hingga malam berlalu, keberuntungan masih berpihak pada diri keduanya. Cuaca cukup cerah, sehingga mereka tidak direpotkan oleh guyuran hujan. Senin (15/5) pagi, ketika perutnya mulai melilit, Angga mencari sumber air. Kebetulan, di tempat kejadian perkara (TKP) terdapat mata air kecil. Ia pun meminumnya menggunakan dua telapak tangan. “ Demikian pula ketika memberi minum Inggil, saya menggunakan telapak tangan yang saya rekatkan membentuk wadah,” jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun