Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Sate & Pecel Keong Mendongkrak Stamina?

11 November 2015   04:16 Diperbarui: 11 November 2015   10:42 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Warung makan Mbak Toen yang selalu penuh (foto: dok pribadi)"][/caption]

Keong yang jumlahnya tak terhitung di Rawa Pening, Banyubiru, Kabupaten Semarang, ternyata mampu memberikan kehidupan bagi warga di sekitarnya. Selain diolah menjadi pecel, belakangan juga dibuat sate. Senikmat apa dua lauk tersebut, berikut catatannya.

Sate keong merupakan lauk yang bisa menemani nasi. Bagi yang tidak mengharamkan, ternyata keong diyakini mampu menyembuhkan asma, rhematik, asam urat dan menurunkan tekanan darah. Harganya yang hanya Rp 1.000,00/ tusuk, maka menjadikan sate keong sebagai santapan masyarakat dari semua golongan.

Sate keong yang murah meriah, bukan berarti gampang ditemukan di sembarang tempat. Pasalnya, habitat keong yang meluber hanya ditemui di perairan Rawa Pening. Otomatis, lauk tersebut juga disediakan di warung-warung makan yang ada di sekitar waduk alam itu. Salah satu produsennya adalah Nur Kholis warga Dusun Gondang Sari RT 01 RW 05, Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang.

Pria berumur 48 tahun ini, saban hari membuat 1.000 tusuk sate yang dijual ke berbagai warung makan, termasuk warung sego kucing. Untuk penyediaan bahan baku, Nur Kholis turun tangan sendiri. Tiap pagi, ia menyusuri pinggiran Rawa Pening untuk mencari keong-keong yang tinggal dipunguti. Setelah memilah keong berukuran agak besar, dirinya langsung mengolahnya.

Tahap awal dalam pengolahan, keong direbus sampai benar-benar matang. Setelah dagingnya dikeluarkan, kemudian diberi bumbu dan selanjutnya ditusuk menggunakan lidi atau tusuk sate. “Untuk bumbunya, yang menguasai istri saya. Yang jelas, bumbunya tak bakal bisa ditemui di tempat lain,” jelasnya.

Rasa sate keong mirip-mirip sate rempela ayam, di mulut serasa kenyal tapi tidak alot. Yang menjadi persoalan, karena faktor tenaga, omzet dagangan Nur Kholis sejak dulu tak pernah ditambah. Kendati banyak permintaan, namun ia tetap konsisten membuat sate sebanyak 1.000 tusuk dan selalu habis karena diambil sendiri oleh pelanggannya. “Sate ini sangat bermanfaat untuk stamina,” tukasnya tanpa nada bercanda.

Pecel Keong

Bila untuk menikmati sate keong agak susah, karena produksinya yang terbatas. Maka, bagi yang ingin menikmatinya bisa mencoba menu lain, yakni pecel keong yang tersedia di warung makan Mbak Toen. Terletak di depan kolam renang Muncul atau sekitar 2 kilo meter dari Rawa Pening, stock keong yang ada di warung ini relatif berlimpah alias setiap saat bisa dinikmati.

Racikan pecel keong ala warung makan Mbak Toen yang berdiri sejak tahun 1980-an ini, sebenarnya tak jauh beda dengan pecel lainnya. Di mana, selain sayuran yang direbus, ikut dicampurkan keong yang sudah dimasak oseng- oseng. Setelah tersaji di atas piring, selanjutnya diguyur sambal kacang.

Warung makan Mbak Toen, mulai buka pukul 08.00-17.00. Selain menu pecel keong, tersedia berbagai lauk khas Rawa Pening seperti ikan mujair goreng, wader goreng, belut goreng, hingga rempeyek udang. Tak ketinggalan kolak pisang campur ketan yang bila dicampuri es batu, wow, nikmat. Untuk menikmati makanan khas tersebut, per orang cukup membayar Rp 15 ribu/ porsi (nasi pecel keong plus kolak).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun