Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Daun Kawa, Minuman yang Melegenda

19 Agustus 2013   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:06 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Daun Kawa, Minuman yang Melegenda

Oleh: Azwar Sutan Malaka

Ketika membaca sebuah pengumuman di media warga Kompasiana, tentang lomba manulis warisan kuliner daerah yang diadakan www.indonesia.travel, saya langsung teringat tradisi Minum Kawa di tanah kelahiran saya. Kampung halaman saya di Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kamang yang letaknya sekitar 10 KM dari pusat kota Bukittinggi, terkenal dengan perlawanannya atas penjajah Belanda yang mengenakan blasting ataupajak terhadap tanaman kopi masyarakat ketika itu. Penolakan itu puncaknya adalah Perang Kamang 1908 atau yang juga dikenal dengan perang Blasting, yang menginspirasi daerah-daerah lain untuk memberontak terhadap upaya Belanda memonopoli perdagangan kopi di Minangkabau.

Secara historis, perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap monopoli kopi oleh Belanda itu tidak hanya dilakukan secara frontal atau perang. Akan tetapi juga dilakukan dengan siasat dan strategi yang bisa dibaca oleh generasi saat sekarang ini. Salah satu cerita yang tersisa adalah apa yang kemudian memunculkan istilah Minum Kawa di Ranah Minang, khususnya daerah Kamang. Minum Kawa saat ini adalah istilah yang dikenal masyarakat untuk kegiatan makan ringan sebelum makan siang atau snack saat jeda sebuah acara istilah sekarang. Makan ringan ini bisa memuat menu secangkir kopi dengan hidangan singkong rebus atau pisang goreng, biasa juga teh hangat dengan nasi ketan atau kolak pisang.

Bagi kami generasi muda, Minum Kawa yang dikenal hanya itu, yaitu istilah untuk makan ringan sebelum makan siang. Tapi menurut cerita-cerita orang tua dahulu, Minum Kawa memiliki akar sejarah yang panjang. Dahulu ketika Belanda memonopoli perdagangan kopi di Minangkabau, masyarakat Kamang melakukan perlawanan dengan menjual kopi kepada pedagang-pedagang Ingris di Selat Malaka. Hal itu karena selain tidak mau tunduk kepada Belanda, masyarakat Kamang juga memilih mengirim kopi-kopi mereka ke Selat Sunda dengan pedati-pedati karena pedagang Ingris di Selat Sunda membeli dengan harga yang lebih mahal daripada harga kopi yang dibeli oleh Belanda.

Saking menguntungkannya berbisnis dengan orang Ingris, masyarakat Kamang sampai tidak mau mengonsumsi kopi, karena bagi mereka Ingris akan menghargai kopi itu dengan sangat mahal. Untuk ganti minum kopi, masyarakat mengonsumsi daun kopi yang di daerah Kamang dikenal dengan daun kawa. Kegiatan minum daun kopi itu hingga saat ini dikenal dengan Minum Kawa yang bermetamorfosis menjadi kegiatan makan ringan.

Saya kira Minum Kawa seperti sejarahnya itu hanya tinggal sejarah, karena seumur hidup saya tidak pernah menjumpai minuman yang benar-benar terbuat dari daun kopi itu. Tapi suatu waktu pada tahun 2006, ketika itu saya menjadi asisten peneliti yang melakukan penelitian Asal Usul Nama Nagari di di Sumatera Barat (minus Mentawai). Saya dengan beberapa tim peneliti mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah Nagari mereka. Layaknya sebagai peneliti, kami melakukan wawancara di rumah, di warung kopi atau bahkan di sawah-sawah informan.

Ketika kami meneliti asal usul nama Nagari Pasie di Kabupaten Tanah Datar, kami harus mewawancara seorang informan di sebuah warung kopi. Seperti biasa tokoh masyarakat itu menawari kami Minum Kawa, kami sudah tidak heran akan tawaran itu. Biasanya kami akan dihidangkan kue-kue khas setempat dan segelas kopi atau teh. Tapi saat itu pemilik warung mengatakan bahwa saat ini kami benar-benar akan disuguhkan minuman yang terbuat dari daun kawa (kopi). Saya sangat tertarik dengan tawaran itu dan langsung minta izin untuk melihat proses pembuatan minuman yang disebut kawa itu. Singkat cerita si pemilik warung mengizinkan saya melihat proses pembuatan minuman yang terbuat dari daun kawa itu.

Memasuki dapur pemilik warung aroma minuman khas itu merasuki penciuman saya. Ada campuran wangi kopi dan sedikit seperti wangi teh hangat yang diseduh. Saat itu kebetulan cuaca mendung pemilik warung bercanda bahwa dingin-dingin seperti itu paling tepat menikmati seduhan daun kawa itu. Ketika pemilik warung mengaduk-aduk dandang yang berisi air dan daun-daun kopi, saya tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Ketika saya tanya apakah minuman itu benar dari daun kopi si pemilik warung meyakinkan bahwa daun-daun yang direbus itu benar-benar daun kopi.

Untuk meyakinkan saya, si pemilik warung memperlihatkan daun-daun kopi kering yang belum direbus. Ketika saya lihat dan saya cium, saya baru yakin bahwa daun-daun separuh kering itu benar-benar daun kopi. “Inilah yang disebut daun kawa itu,” jelas pemilik warung. Tanpa saya tanya, cerita bahwa asal usul Minum Kawa itu berasal dari minuman itu mengalir dari mulut si pemilik warung.

Ketika air rebusan daun kopi itu mendidih, si pemilik warung menuangkan ke empat gelas yang telah diisi gula, sebelum semua gelas diisi si pemilik warung bertanya, “apakah akan pakai gula pasir atau gula merah?” saya belum memilih salah satunya, tetapi malah kembali bertanya, “Boleh pakai gula merah Bu?” tanya saya. “Ya daun kawa ini dulunya memang diseduh dengan gula merah, sekarang saja yang ditambah gula pasir,” jawabnya. Saya punmemilih untuk menikmati seduhan daun kawa itu dengan gula merah. Saya membawa langsung minuman itu ke depan, sembari menikmati baunya yang khas.

Sembari mewawancarai informan kami, tak lupa saya bumbui pertanyaan dengan bagaimana cara membuat daun kopi bisa menjadi minuman. Informan kami, tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan bahwa pembuatan minuman dari daun kopi itu sederhana saja. Petani-petani biasanya memilih daun kopi yang baik, tidak dimakan ulat atau tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda. Kemudian dikeringkan di atas pagu (istilah untuk tempat memasak di Minang) tidak dengan panas matahari yang terik. Proses itu cukup untuk membuat daun kopi tidak basah dan kering seperti teh, tapi tidak dihaluskan atau dibiarkan dalam bentuk lembaran besar saja. Setelah itu, daun kopi siap direbus dengan air sampai mendidih. Dalam proses merebus itu, akan keluar sari-sari daun kopi. Itulah yang membuat warna air berubah dan juga rasanya yang khas.Apalagi ketika ditambahkan gula merah.

Penelitian pada tahun 2006 di daerah Tanah Datar itu telah mempertemukan saya dengan minuman yang melegenda di Ranah Minang, yaitu daun kawa. Bertahun-tahun kemudian saya tidak pernah lagi menemukan minuman itu, walau acapkali mendengar cerita-cerita tentang Minum Kawa dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya seperti Melayu Kopi Daun dan cerita perlawanan masyarakat Kamang atas monopoli kopi oleh Belanda.

Saya masih berharap bisa mengunjungi warung di kaki gunung Marapi itu, sembari Minum Kawa. Barangkali minuman tradisional ini cukup untuk membuka memori masyarakat Kamang khususnya, masyarakat Minangkabau umumnya tentang Minum Kawa. Kalau dihubungkan dengan kegiatan ekonomi kreatif, daun kawa barangkali bisa diproses menjadi minuman modern yang dijual di warung kopi modern atau menjadi minuman dalam kemasan. Hal ini tentu saja tidak mustahil, sama halnya dengan membuat teh dalam kemasan, yang dulu dianggap mustahil, tapi kini teh dalam kemasan sudah banyak kita temukan. Suatu saat, mudah-mudahan saya masih bisa minum kawa dalam kemasan yang disediakan supermarket atau minum kawa hangat di café modern di kota-kota besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun