Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Ngaji Tak Berbayar

2 Mei 2013   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:16 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di gemuruh pembelajaran-pembelajaran Iqra, dan di antara pendidikan baca tulis Al Qur'an dengan metode super cepat. Dan kian langkanya belajar membaca Al-Qur'an ala klasik, terkesimalah saya ketika melintas di sebuah jalan setapak di kampung saya. Sebuah persembahan belajar membaca Al-Qur'an yang masih tradisional. Memory saya pun, tertoleh 30-40 tahun ke masa silam. Pulalah, saya terkenang-kenang memuliakan guru ngaji yang memang pantas dihormati atas tabiat-tabiat Islaminya, akhlaknya yang tinggi, perangainya yang memang sebenar-benar guru ngaji.

Dedikasi-Edukatif: Tempayan kosong

Usia yang setua saya ini, barulah tersadar ketika merenung-renung saat mengaji ala ndeso dulu, memasuki halaman rumah Sang Guru, saya dan teman memberi salam sempurna: "Assalamu Alaikum Waramatullahi Wa Barakatuh". Ucapan bernuansa asa keselamatan ini, dilafzkan sembari membungkuk ringan, selanjutnya mencium punggung tangan mulia Sang Guru.

1367456219366780026
1367456219366780026

Berwudhu sebelum mengaji -kala itu- adalah hukumnya 'wajib', sedang ketika saya saksikan anak-anak saya mengaji di TPA (saat ini), wajah anak saya tak terbasuh air wudhu. Ini salah satu pembeda (mungkin?) antara proses pembelajaran anak zaman digital ini ketimbang anak-anak dulu yang kampungan itu.

Usai mengaji, tiada kamus langsung pulang, dan secara otomatis, mengecek tempayan Sang Guru, tiada pernah dibiarkan kosong. Peci dan sarungpun dilepas, siap-siap ke sumur, menimba, kemudian memikulnya ke rumah guru. Zaman ini, tiada lagi pemandangan senatural itu, ia telah diganti sempurna oleh kran-kran air yang tinggal diputar 180 derajat, air telah mengalir.

Sebuah proses alamiah, mengaji tak berbayar, angkat air tak berupah, semua atas nama edukasi, dedikasi bersahaja dan ada makna filosofis dibalik isi-mengisi tempayan bahwa hidup ini adalah kosong, yang dapat mengisi kekosongan itu adalah ikhtiar, usaha seulet-uletnya, sekeras-kerasnya dan sedisiplin-disiplinnya sebab kata orang bijak: Disiplin adalah jalan pintas untuk berhasil.

Relasi Emosional

Sungguh berubahlah jaman ini, guru-guru ngaji di TPA kerap menanyakan jenis pekerjaan ayah-ibu sang murid, variasi formulirpun diisi, orangtuapun mengisi dengan sedikit bangga atas profesi mereka dan berharap sang guru memperlakukan istimewa anak-anaknya, bahkanpun mengesankan agar guru hati-hati dalam mengajari anak-anak mereka. Salah-salah bisa jadi boomerang buat sang guru.

Anak-anakpun sekarang pandai melapor ke orangtuanya atas perlakuan yang diterimanya, uniknya karena orangtua mengdukung laporan anak-anaknya. Ini salah satu -lagi- pembeda antara anak-anak dulu dengan sekarang, anak-anak dulu tak pandai melapor, kalaupun melapor maka orangtua tak mendukungnya. Sang guru Ngaji -dulu- diberi otoritas seluas-luasnya untuk mendidik muridnya, bukan hanya belajar ngaji tapi belajar sopan-santun dan murid-muridpun menyaksikan contoh-contoh perilaku yang baik dari sang guru. Relasi emosional antara Sang Guru dan Sang Murid begitu rapatnya hingga saling merindukan, bak keluarga, laksana ibu dan anak, ayah dan putranya, atau bapak dengan putrinya.

Tertegunlah saya, sebab tak kujumpai lagi pendidikan serupa itu lagi, saat ini^^^.

Selamat Hardiknas, 2 Mei 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun