Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Harus Menulis?

6 Januari 2018   09:00 Diperbarui: 6 Januari 2018   09:38 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (inspirasi.co)

Seringkali pertanyaan seperti itu mucul di benakku.

Ya, mengapa harus menulis? Bukankah dengan tidak menulis pun aku masih bisa hidup, sebagaimana layaknya orang lain yang selama hidupnya sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan hal yang terkait tulis-menulis. Bahkan tanpa menulis saja sebenarnya aku bisa mendapatkan materi yang lebih banyak, daripada sekarang aku mesti repot-repot menggeluti dunia yang satu ini.

Suatu ketika aku pernah  menjadi seorang wirausaha. Tepatnya menjadi juragan kredit, sebagaimana kebanyakan usaha yang dijalani orang dari tempat asalku. Berbagai jenis keperluan rumah tangga, mulai dari sembako, alat-alat dan bahan yang biasa digunakan ibu-ibu di dapur, hingga barang elektronik, dengan omset yang lumayan banyak, sampai-sampai melibatkan beberapa puluh orang pembantu tentunya, saat itu betapa segala kebutuhan hidup sekeluarga selalu dapat terpenuhi dengan mudahnya.

Pernah juga kujalani kehidupan sebagai seorang petani. Karena tempat tinggal keluarga kami selama ini bukanlah di kota besar, melainkan di sebuah kampung yang masih memungkinkan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang petani, sebagaimana kebanyakan warga kampung kami juga. Terlebih lagi tanah peninggalan orang tua kami cukup luas, untuk ukuran di kampung kami sendiri tentunya. Berbagai komoditi pertanian yang dianggap laku di pasaran  aku usahakan. Seperti mengelola tanaman padi di sawah, bercocok tanam palawija, beternak kambing, dan memelihara ikan di kolam. Hasilnya pun tak kupungkiri lagi, lebih dari cukup untuk kehidupan kami sekeluarga memang.

Demikian juga pekerjaan sebagai orang kantoran, dengan jabatan yang lumayan bisa dibanggakan, meski levelnya bukan orang nomor satu sekalipun, dan hanya sampai menjadi seorang kepala cabang, pernah juga kurasakan. Pekerjaan itu pun selain pernah membuat  kehidupanku bergelimang harta, juga secara prestisius telah melambungkan namaku di tengah masyarakat sekitar -- tentu saja.

Akan tetapi meskipun demikian, setiap menjani berbagai kehidupan tadi, aku merasa ada sesuatu yang belum lengkap dari kehidupan ini. Bahkan kalau boleh disebutkan, aku selalu saja merasa belum sempurna sebagai seorang manusia. Bagaimana pun terasa ada sesuatu yang hilang. Sehingga semua itu pun akhirnya harus kutinggalkan.

Hanya saja yang jelas, manakala aku menekuni kembali kegiatan tulis-menulis, kebahagiaan sekaligus kepuasan batin itu secara tiba-tiba muncul kembali. Sekalipun selama melakoninya tidak banyak mendatangkan materi.

Bisa jadi hal itu terjadi, karena sejak awal aku cenderung telah mencintai berbagai hal terkait dunia literasi. Sejak mulai mengenal alifbata, maksudnya ketika mulai memasuki usia sekolah, keseharianku lebih banyak dihabiskan dengan membuka-buka buku, majalah, koran, maupun komik yang memang banyak tersedia di dalam rumah. Bahkan saat aku terpilih sebagai peserta lomba mengarang tingkat kabupaten, kemungkinan besar atas dasar pertimbangan para guru ketika itu karena aku merupakan satu-satunya murid paling jago mengarang di sekolah dasar tempatku belajar.

Demikian juga halnya saat memasuki bangku SMP, guru bahasa Indonesia selalu saja memberi nilai paling tinggi dalam pelajaran kesusasteraan dan mengarang. Bahkan saat itu pula, atas dorongan guru bahasa Indonesia, aku mulai berani mengirimkan karanganku pada berbagai media yang menyediakan rubrik khusus anak-anak dan remaja.

Sehingga pada akhirnya, salahkah aku kalau pada saat itu bercita-cita menjadi seorang pengarang sebagaimana Eddy D. Iskandar, Yudhistira ANM Massardi, Noorca M. Massardi, Emha Ainun Najib, dan seabreg penulis lain yang hasil karyanya banyak kubaca lewat majalah, maupun novel yang menjadi pelengkap perpustakaan pribadiku?

Entahlah. Yang jelas meskipun orang tuaku mengharapkanku untuk menjadi seorang  birokrat, tetapi setamat SMA aku justru lebih memilih untuk mengikuti kata hati sendiri. Ketika itu aku mengambil jurusan Publisistik di salah satu perguruan tinggi. Malahan saat sedang kuliah aku telah magang, dan selanjutnya menjadi seorang wartawan pada sebuah majalah di salah satu grup media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun