Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengulas Sindiran Tajam Johan Budi pada Komisioner KPU

14 Januari 2020   23:28 Diperbarui: 21 Januari 2020   11:59 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Kompas.com

"Ternyata modus operandinya ini baru nih Pak Arief. Kalau dulu komisionernya itu kan bermain di pengadaan barang dan jasa. Ternyata ada modus baru. Baru atau udah lama baru ketahuan sekarang saya tidak tahu," kata Johan Budi.

Di ruang sidang Komisi III DPR RI, mantan juru bicara KPK, Johan Budi nampak geram ketika membicarakan peristiwa suap atau korupsi yang menjerat Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.  

Seperti diketahui,  Wahyu terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dan diduga telah meminta uang sebesar Rp 900 juta kepada politisi PDIP dan mantan Caelg Harun Masiku  sebagai biaya operasional untuk memudahkan proses PAW Harun sebagai anggota DPR RI.

Johan  yang ketika menjadi juru bicara KPK, terkenal tenang dan lugas menjelaskan tentang kasus per kasus korupsi yang ditangani KPK, memang sudah berganti seragam. Johan sekarang menjadi anggota Komisi III DPR RI setelah terpilih pada Pileg 2019.

Ketika mendapat kesempatan berkomentar saat rapat komisi, tanpa tedeng aling-aling, Johan seperti biasa tampak dingin menguliti kasus yang sedang dialami KPU.  Wajar saja karena, Johan seperti mengenal isi perut KPU yang ternyata  pernah terjaring kasus sebelumnya.

Paling tidak ada dua hal yang dikomentari Johan.

Pertama, Johan menyindir para komisioner dengan mengatakan bahwa dirinya akan menunggu apakah Wahyu menjadi orang pertama dan terakhir yang ditangkap dari pihak komisioner KPU, atau adakah anggota komisioner KPU yang akan terjerat nantinya.

"Tetap semangat Pak Arief, jangan manggut-manggut saja. Semangat, jangan menunduk, tegak Pak! Nanti kan ketahuan nanti siapa yang bermain, apakah satu komisioner ataukah komisioner yang lain juga mencicipi," ujar Johan di ruang rapat Komisi II, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1/2020).

Rapat ini memang menghadirkan formasi lengkap KPU, minus Wahyu pastinya. Hadir Ketua KPU Arief Budiman,  bersama ketiga komisioner KPU lainnya, yaitu Ilham Saputra, Pramono Ubaid Tantowi, dan Evi Novida Ginting Manik.

Ketika Johan mengatakan seperti itu, para pembesar KPU ini nampak tertunduk.

Kasus suap Harun Masiku ini memang belum dibedah lebih dalam, karena Harun masih belum menyerahkan diri. Namun, kemungkinan-kemungkinan bahwa Wahyu tidak sendirian melakukan ini dari balik gedung KPU seperti yang disentil Johan amat mungkin terjadi.

Salah satu alasan yang dapat dikemukakan adalah KPU memiliki komisoner yang jumlahnya tak banyak dengan "kerjaan" yang sedikit, sesudah perhelatan pilkada dan pileg selesai. Sehingga relasi antara para komisioner seharusnya lebih intens dan lebih terbuka.

Di dalam situasi tersebut, kerja kelompok lebih menguntungkan daripada kerja sendirian apalagi menyalahi hukum, amat beresiko. Ini hanya asumsi, seperti yang dikatakan Johan, masih perlu ditunggu.

Kedua, soal modus operandi baru Korupsi yang dilakukan. Johan yang memang mengetahui kasus per kasus saat masih di KPK seperti "memuji" KPU karena mampu menemukan modus operandi baru dalam korupsi yang terjadi.

"Ternyata modus operandinya ini baru nih Pak Arief. Kalau dulu komisionernya itu kan bermain di pengadaan barang dan jasa. Ternyata ada modus baru. Baru atau udah lama baru ketahuan sekarang saya tidak tahu," kata Johan.

Korupsi pengadaan barang dan jasa yang dimaksud oleh Johan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Komisioner KPU Mulyana Wira Kusumah yang ditangkap KPK pada April 2005.

Saat itu Mulyana, ditangkap dengan barang bukti uang Rp 150 juta, terlibat dalam kasus penyuapan terhadap pemeriksa BPK terkait pengadaan barang dan jasa di KPU.

Sebelum dan sesudah itu, korupsi KPU memang dominan di bidang itu. Komisioner KPU Rusadi Kantaprawira ditangkap KPK pada Juli 2005, karena terlibat dalam kasus pengadaan tinta Pemilu 2004.

Begitu juga Komisioner KPU Daan Dimara yang ditangkap KPK pada Februari 2006, karena terlibat dalam kasus pengadaan segel sampul surat suara Pemilu 2004.

Sedangkan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Ketua KPU 2001-2005 Nazaruddin Sjamsuddin yang ditangkap oleh KPK pada Mei 2005, karena terlibat kasus aliran dana taktis KPU senilai Rp 20 miliar.

***

Sindiran Johan Budi memang tanda kegeraman.  KPU yang seharusnya menjadi garda depan dalam pelaksanaan demokrasi kita, bahkan harus terjebak kepentingan politik praktis dan melakukan korupsi. Tak ada lagi integritas lalu apa yang harus diharapkan?

Kasus rasuah yang dialami  Wahyu, membuat kita memang perlu mencari sosok yang benar-benar bersih ketika mendapat tanggung jawab mulia. Tidak gampang terpancing oleh godaan harta dan lain sebagainya.

Johan Budi dapat menjadi contoh. Teringat ketika mantan staf komunikasi Presiden ini melamar menjadi Komisioner KPK pada 2015, dia mengeluarkan pernyataan yang inspiratif.

"Kalau ukuran orang selesai (dengan keinginan duniawi) itu soal tidak kemaruk harta, tidak bernafsu kekuasaan, tidak berpose dengan wanita, dan keinginan-keinginan lain, maka menurut saya, saya sudah selesai dengan itu," ujar Johan saat itu.

Sayang sekali, masih banyak pejabat publik yang selesai dengan itu Pak Johan.

Terakhir, kita tinggal perlu menunggu, bagaimana kasus suap ini akan berjalan dan berakhir. Dugaan-dugaan Johan akan terjawab. Wahyu sendiri atau berkelompok? Lalu mengapa modus operandi baru yagn melibatkan partai ini dapat dimainkan?

Referensi : 1 -2 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun