Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Hongi", Ciuman Hidung Jokowi di Selandia Baru

20 Maret 2018   16:20 Diperbarui: 21 Maret 2018   11:12 3152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hongi, adu hidung di Selandia Baru I Gambar: Facebook Presiden Jokowi

Ketika baru pertama kali bertemu dan melakukan cium hidung maka cium hidung dapat membuat rasa kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya sekejap muncul meski baru pertama kali bersua. Karena sudah menjadi tradisi, dalam berbagai kesempatan cium idung ini sering sekali dilakukan, terutama di acara dukacita ataupun nikahan.

Persoalannya banyak tamu atau orang luar NTT yang merasa "risih" dengan tradisi ini. Apalagi ketika melihat bahwa mencium hidung ini juga dilakukan oleh orang yang berbeda jenis kelamin. Namun sekali lagi ini adalaj tanda persaudaraan dan juga tanda penghormatan.

Suatu kali, seorang saudara yang lama tinggal di luar kota, pertama kali membawa istri yang bukan orang NTT ke rumah. "Ayo..cium.." kata suaminya, padahal istrinya hanya hendak bersalam tangan saja. Ketika akan memberi pipi kiri dan kanan, lalu diajar lagi oleh suaminya. "Cium hidung.." kata suaminya lagi.

Meski terlihat bingung, tapi akhirnya satu persatu dari kami dicium hidung. "Ah...sudah bisaaa.." teriak beberapa orang senang. Respons ini dikarenakan karena jika seseorang sudah bisa cium hidung, maka sudah "sah" menjadi bagian dari keluarga.

Lebih jauh kami menganggapnya sebagai tanda hormat. Di NTT, di zaman millenial, banyak anak-anak muda perlahan-lahan mulai melupakan tradisi ini. Sebenarnya ketakutan akan hilangnya rasa hormat, rasa kekeluargaan itu lebih besar daripada simbol-simbol seperti ini, namun apabila simbol-simbol ini membantu rasa hormat dan hal baik lainnya dapat terpelihara, maka harus dijaga.

Referensi: 1-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun