Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Majalah Stupika dan Sanggar Poerbatjaraka Bertransformasi

24 September 2017   17:03 Diperbarui: 24 September 2017   17:27 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatihan Jurnalistik Majalah Stupika

Akhir pekan ini saya ingin bercerita tentang sejumlah transformasi yang sedang digulirkan oleh kaum muda. Transformasi adalah kata lain lain dari sebuah proses perubahan. Di tengah kondisi lingkungan yang lumayan gaduh mereka mencoba tetap fokus dan konsisten dengan apa yang diyakininya benar. Hasilnya roda organisasi mulai berjalan kembali dan menampakkan rutinitas membanggakan.

Kaum muda cenderung memiliki kelincahan gerak dan pemikiran yang lebih terbuka dari para tetua. Mindset  mereka ada untuk menjadi problem solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya.

Transformasi pertama yang saya saksikan terjadi dalam redaksi majalah "Stupika". Sebuah media yang menginduk pada Warga Mahasiswa Arkeologi Universitas Udayana atau disingkat "WARMA". Pasca kepengurusan Komang Ayu Suwindiatrini yang kala itu mampu menerbitkan satu edisi dan berlanjut ke kepengurusan saya, aktivitas penerbitan sempat terhenti.

Estsfet kepengurusan pun terus bergulir dan geliat literasi mulai terbaca kembali. Ketika tampuk kepemimpinan dipegang oleh Heri Purwanto, usaha untuk menerbitkan majalah kembali dijerang. Ia bersama tim redaksi mengumpulkan sejumlah bahan tulisan, namun karena singkatnya masa kepengurusan akhirnya upaya itu belum terwujud.

Filosofi Non-Finito

Menuntaskan hasil kerja memang menjadi tekanan tersendiri. Itulah legacy  yang seakan-akan harus ditinggalkan oleh setiap pemimpin. Lebih lagi para pemimpin perubahan. Benarkah? Anda mungkin pernah mendengar nama sebuah kota yang menjadi awal renaisans dengan karya-karya besar. 

Ya, kota itu adalah Firenze. Di sana sampai sekarang masih terpasang dengan jelas karya-karya yang belum atau bahkan tidak berhasil diselesaikan oleh penciptanya dengan beragam alasan. Di antaranya, empat buah patung karya Michelangelo yang dikenal dengan nama The Naked Slave. Dalam manajemen perubahan, karya seni itu dikenal dengan Filosofi Non-Finito, atau karya yang tidak selesai.

Apakah para ahli mengkritik Michelangelo? Sama sekali tidak. Bahkan mereka dengan bangga memasang karya-karya tersebut di museum. Belajar dari peristiwa ini kaum muda memahami benar bahwa seorang pemimpin selalu akan berhadapan dengan ketidakpastian. Sesuatu yang belum selesai bukanlah kegagalan atau sesuatu hal yang memalukan. Sebab, melakukan perubahan dan transformasi kepemimpinan itu tidak mudah. Bahkan sulit, namun bukan berarti tidak bisa.Majalah Stupika baru benar-benar terbit dan dapat dinikmati oleh pembaca di masa kepemimpinan Bella Fresti Widiyanti, yaitu edisi bulan Mei 2017. Tidak sampai pada penerbitan saja, Bella bersama tim redaksi juga mengadakan workshop jurnalistik bertema "Mengenal Stupika: Saatnya Bangkit dan Berkarya Melalui Tulisan. Acara yang digelar pada tanggal 8 September 2017 ini bertujuan untuk mengenalkan kembali Stupika bersama dinamika yang mewarnai selama ini. Dalam kesempatan itu, hadir dua orang narasumber yaitu Hary Pangalihan Sinaga (alumni Arkeologi UNUD 2001/mantan pemimpin umum Stupika) dan Yudha Bantono (Ketua Redaksi Majalah Laras).

Membangun Meaning

Transformasi yang kedua terjadi dalam tubuh Poerbatjaraka. Sanggar ini dibidani oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana angkatan 1994 dan 1995, di antaranya Wayan Sunarta (Jengki), Abang Sabarudin, Frans Djatmiko, Pasek Suyasa, Sri Jayantini, Sri Lestari, Bowo, Joko, Nuraini, Okti, Slamet Afifudin, Katalina, dan Ayu.

Pada awal kelahirannya yang ketika itu diketuai Wayan Sunarta, Sanggar Poeebatjaraka adalah menggelar Lomba Cipta Puisi se-Indonesia dan Lomba Baca Puisi se-Bali tahun 1996. Tujuannya adalah ingin  memperkenalkan Sanggar Purbacaraka di tingkat lokal dan nasional. SPC begitu sebutan akrabnya telah melalui berbagai macam dinamika yang terkadang jatuh bangun.

Sejak tahun 2007 sejumlah kegiatan mulai digagas untuk "melahirkan kembali" Sanggar Poerbatjaraka. SPC Reborn Project: PARTI (Parade Teater Independen) dipilih sebagai nama acara yang diawaki oleh Raditya Pandet (antropologi), Meliana (Sastra Inggris), Novi Dwi Jayanti (Sastra Inggris), Pebriyani (Sastra Jawa Kuna), Didi, Ula, Ayu, dan dibantu kawan-kawan lain yang solid.

Generasi baru Sanggar Poerbatjaraka bersama Wayan Sunarta (Ketua pertama SPC), Rochtri Agung Bawono (pembina), dan Hendra Utay (pelatih).
Generasi baru Sanggar Poerbatjaraka bersama Wayan Sunarta (Ketua pertama SPC), Rochtri Agung Bawono (pembina), dan Hendra Utay (pelatih).
Kemudian, tahun 2012 diadakan Festival Monolog Caraka Sastra (MOCSA) se-Bali 2012. Festival ini digagas oleh Jingga Kelana (Ketua SPC 2012-2013) bersama Sri Lestari (Antropologi), Anak Agung Dian Anastasia Pradnya Mayuni (Sastra Indonesia), dan Ni Ketut Nugrahaning Ari (Antropologi).

Ya, Sanggar Poerbatjaraka sedang membangun meaning, dan proses itu pun sampai sekarang sedang berlangsung. Sebab, baru-baru ini gelora untuk "melahirkan kembali" SPC muncul ketika organisasi ini digawangi oleh Cempaka. Namun, kali ini Cempaka bersama kawan-kawan memilih cara yang lebih fresh  yaitu menggelar pentas dari panggung ke panggung. Seperti yang sudah mereka lakukan kemarin dalam acara pementasan teater tubuh "Leviathan Lamalera" di Bentara Budaya Bali dan pentas pantomim di FIB UNUD.

Mereka generasi rajawali yang berhak terbang tinggi. Menentukan jalan mana yang harus ditempuh dan pintu sebelah mana yang perlu dimasuki agar SPC tidak redup lagi. Semua kegiatan yang diadakan dan diikuti oleh Stupika dan Sanggar Poerbatjaraka memiliki tujuan yang sama. Ingin membangun meaning.

Meaning itu adalah cerita yang melekat pada diri seseorang msupun organisasi, yang menciptakan kepercayaan dan reputasi. Dibangun dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh oleh generasi sebelumnya, dan dari terobosan-terobosan baru. Kadang, dari bimbingan orang-orang besar yang memberikan contoh dan permainan baru. Ya, contoh dan mainan itulah yang perlu dicari dan terobosan-terobosan yang kita lakukan kelak memberikan jalan terbuka bagi generasi selanjutnya. Selamat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun