Mohon tunggu...
Asron Da Finsie
Asron Da Finsie Mohon Tunggu... Local Civil Government -

Mengisi waktu luang dengan menulis sepulang kerja aplikasi penglihatan mata, hati dan telinga terhadap lingkungan sekitar untuk perubahan kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Muhammadiyah, FDS Kenapa Beda?

20 Juni 2017   02:19 Diperbarui: 20 Juni 2017   15:13 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengungkapakan ketidak setujuan atas pembatalan program full day school (FDS). Fikiran jadi berkecamuk karena sementara itu Presiden Jokowi telah membatalkan Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter tersebut. Kompas.com, 19/06/2017.

Ada apa dibalik pernyataan Ketua PP Muhammdiyah itu, salah satunya disebutkan bahwa Pak Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy merupakan kader Muhammadiyah dan pak Haedar yakin betul bahwa Pak Menteri Pendidikan berpijak pada dasar-dasar yang benar dalam tujuan mewujudkan pendidikan pembentukan karakter generasi penerus bangsa. Kompas.com

Beberapa elemen masyarakat yang salah satunya NU tidak setuju dengan program full day school ini, tapi yang ini malah berbalik dengan opini publik yang notabenenya kurang setuju dengan kebijakan ini. Fikir punya fikir saya sendiri (maksudnya opini saya), sepertinya alasan selain sebagai kader Muhammadiyah tadi, organisasi Muhammadiyah memang juga bergerak dibidang pendidikan, mulai dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. 

Sejauh ini, Tasman Hamami Wakil Ketua PWM DIY Bidang Dikdasmen memaparkan, sekolah Muhammadiyah sudah menerapkan full day school tapi belum semua sekolah. Sebagian lain justru mendirikan boarding school, pondok pesantren Muhammadiyah. “Tapi secara umum kami sudah memberlakukan penambahan jam pelajaran Keislaman dan Kemuhammadiyahan (Ismuba) menjadi 12 jam per minggu,” jelasnya.

Kebijakan penambahan jam pelajaran Ismuba ini, sambungnya, setidaknya menambah durasi siswa beraktivitas di dalam sekolah. Tujuannya untuk mengalihkan dunia remaja kepada hal yang bersifat positif serta bagian dari sarana pembentukan akhlakul karimah, karakter. “Dengan catatan penambahan tersebut disajikan dengan lebih menarik. Jika tidak, mungkin justru akan membebani siswa dalam belajar. Karena itu peran guru dan sekolah sangat menentukan sukses tidaknya kebijakan ini,”. Akun facebook Ari Widodo.

Dari dua pandangan publik yang berbeda ini dan seperti uraian diatas, sepertinya Muhammadiyah memang menyetujui atau setuju dengan kebijakan full day school ini. Tidak tahu apakah salah satu alasannya juga karena sekolah-sekolah Muhammadiyah memang banyak tersebar di Bumi Pertiwi ini, sehingga secara tidak langsung membuat mereka menjadi bersemangat karena minimal "cost" si anak sekolah menjadi bertambah untuk sekolah dari pagi sampe sore dan ini menjadikan pundi-pundi semakin padat. 

Opini ini mungkin terlalu ekstrim, tapi untuk saat ini tidak ada yang bisa dilihat selain yang seperti itu. Opini publik kan mengatakan, jika full day school diterapkan, maka kesempatan si anak sekolah untuk berkumpul dengan keluarga mereka di rumah menjadi semakin sedikit, dalam artian banyaklah waktu mereka berada di sekolah ketimbang dirumah. Kalau dihitung jam nya memang sama, tapi jam yang dirumah itu kan ketika malam harinya bukan siang hari. Tentu lebih banyak digunakan untuk tidur malam, jika begadang tentu ini bukan prilaku baik bagi anak usia sekolah. Kemudian kesempatan untuk melanjutkan pendidikan keagamaan juga menjadi berkurang.

Terhadap dua alasan tersebut sepertinya kurang pas untuk dikemukakan oleh Muhammadiyah. Kecuali mungkin ada solusi yang memang benar-benar tepat, semisal sekolah-sekolah Muhammadiyah akan siap menampung jam pelajaran di bagian sore hari untuk anak-anak usia sekolah belajar keagamaan, secara gratis tentunya bagi sekolah-sekolah negeri, kecuali sekolah swasta. Tapi kemungkinan ide ini akan bertabrakan dengan organisasi NU yang secara umum pandangan pendidikan keagamaan organisasi mereka berbeda.

Jadi. kiranya lontaran penyataan Ketua PP Muhammadiyah tersebut perlu pengkajian mendalam. Tidak hanya karena sekolah-sekolah Muhamadiyah banyak tersebar dan karena lebih mengarah kepada hubungan emosional dengan Menteri Pendidikan saja. Pak Menteri Pendidikan itu milik Bangsa Indonesia yang ber-bhineka tunggal ika, bukan milik komunitas organisasi masyarakat atau organisasi keagamaan manapun. Walaupun basis pergerakan awalnya yang menghantarkan beliau menjadi menteri adalah organisasi Muhammadiyah. Jangan pula lantas menjadi emosional bahwa pak Menteri adalah milik Muhammadiyah. Pelajaran berbangsa dan bernegara dalam satu bingkai NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika akhirnya menjadi dikesampingkan. 

Pengkajian haruslah menyeluruh dengan tidak menyinggung atau mengesampingkan organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan manapun. Maksud tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan Muhammadiyah, karena secara emosional saya juga pernah bersekolah di Muhammadiyah. Ini hanya sekedar mengingatkan agar kiranya lontaran oleh seorang tokoh publik benar-benar harus dipertimbangkan demi Persatuan dan Kesatuan NKRI. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun