Mohon tunggu...
Ardiansyah Jasman
Ardiansyah Jasman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dewan Pembina Lembaga Kemahasiswaan Di Universitas Negeri Makassar....

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Win-win Solution untuk TNI-POLRI

7 Maret 2013   18:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:09 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov


Peristiwa penyerangan Markas Kepolisian Resort, Batu Raja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yang diduga dilakoni oleh puluhan oknum TNI begitu sangat disayangkan terjadi. Mengapa tidak, bagaimana mungkin dua institusi negara yang diharapkan juga diandalkan ini menciptakan suasana aman dan damai justru menciptakan suasana yang sebaliknya. Padahal ketika menoleh sejarah ke belakang, tentunya masyarakat Indonesia begitu sangat mengenal TNI-Polri sebagai patriot gagah yang selalu berdiri digarda terdepan dalam menghadirkan suasana aman dan damai di negara ini.

Di era orde baru misalnya, dua institusi ini merupakan kesatuan negara yang tidak dapat dipisahkan dalam mengawal segala tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh setiap warga negara. Masih segar diingatan, ketika peristiwa heroik 98, bagaimana kekuatan TNI-Polri berhasil membubarkan barikade mahasiswa yang telah melumpuhkan ibukota, lalu ketika terjadi bencana alam TNI-Polri bersatu melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana serta berbagai aktivitas kenegaraan lainnya yang menuntut hadirnya dua institusi ini. Namun sayangnya, di era reformasi, tepatnya 1 April 1999 kedua institusi ini malah kemudian dipisahkan karena perubahan situasi politik ketika itu.

Sejak itu TNI dan Polri menjadi institusi yang berdiri sendiri yang berkoordinasi langsung kepada presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya. TNI bertugas sebagai pertahanan nasional dan Polri bertugas menjaga situasi keamanan nasional agar kondusif. Herannya, sejak dipisahkan pada tahun 1999, malah kerap terdengar kabar terjadi konflik antar kedua institusi ini. Beberapa sumber yang menyebutkan konflik pertama antara TNI-POLRI pasca 1999 terjadi pada September 2001 di Madiun Jawa Timur, kemudian pada tahun 2002 terjadi di Binjai Sumatera Utara dan terakhir baru-baru ini di Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (7/3/13).

Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan bahwa sejak tahun 2005 hingga April 2012 terdapat 27 kasus yang melibatkan aparat TNI-Polri. Dari catatan tersebut, disebutkan tujuh personel polisi tewas sementara 32 lainnya terluka akibat perseteruan dengan TNI. Sementara dari TNI, 3 meninggal dunia dan 15 orang terluka. Data yang disajikan oleh Kontras ini tentunya akan bertambah ditahun-tahun berikutnya jika para stakeholder yang memiliki kapasitas tidak bergerak segera dalam menemukan win-win solution serta bagaimana merumuskan formula dalam mengantisipasi peristiwa serupa terjadi kembali.

Menemukan Win-win Solution

Penyelesaian konflik ini dapat dicapai ketika sebuah keputusan yang diambil mampu memuaskan kedua belah pihak. Dalam istilah psikologinya disebut win-win solution. Pihak ketiga harus cerdas mendalami masalah, menyadari posisi/kedudukan masing-masing pihak dan mendiskusikan permasalahan hingga berusaha menghindari terjadinya win-lose solution dimana hanya satu pihak yang merasa puas, atau yang paling buruk yaitu lose-lose solution yang berarti kedua belah pihak tidak menemukan kepuasan dalam keputusan yang diambil.

Sebelum mengambil keputusan, hal yang perlu dilakukan adalah menelusuri kausalitas masalah dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya. Jelas, dalam kasus konflik TNI-Polri di Baturaja, Oku, Sumsel ini motifnya adalah melakukan balas dendam setelah petugas dari Satlantas (Polri) melakukan penembakan kepada salah satu anggota TNI Yon Armed. Hal ini tidak mengherankan karena Kapuspen TNI, Laksamana Muda TNI, Iskandar Sitompul, S.E mengakui bahwa anggota TNI memiliki kesolidan yang cukup kuat seperti yang digambarkannya bahwa ketika ada salah satu anggota TNI yang dilanda kesusahan, maka anggota lainnya juga akan merasakan. Selain itu, faktor egoisitas kedua anggota institusi yang mengklaim institusinya paling “hebat” juga dianggap sebagai pemicu dalam konflik ini.

Seperti yang diungkapkan oleh Hamidah Abdurrahman, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bahwa  terdapat persaingan kekuatan  antara TNI dan Polri (Tribun Timur, 7/03/13). Bahkan bisa jadi pemicu lainnya karena adanya kecemburuan sosial yang terjadi antara kedua belah pihak hingga menciptakan prasangka negatif, misalnya anggota TNI merasa cemburu karena gajinya lebih rendah daripada Polri sementara tugas dan tanggungjawabnya begitu berat, sedangkan, Polri merasa cemburu karena pelabelan persepsi masyarakat yang menganggap TNI lebih baik (bersih) daripada polri. Prasangka inilah yang bisa jadi menjadi salah satu faktor yang memengaruhi terpicunya konflik ini.

Langkah penyelesaian Konflik

Kapuspen TNI dan Kadiv Humas Polri dalam setiap perbincangan yang disiarkan beberapa TV nasional mengatakan bahwa tim investigasi dari masing-masing institusi, baik dari TNI maupun dari Polri telah diterjunkan di lapangan untuk mengembangkan penyelidikan. Langkah ini pada dasarnya sudah tepat, hanya saja hal tersebut tidak efektif dan kemungkinan hanya menghasilkan dualisme persepsi. Seperti yang diutarakan oleh Mahfudz Siddiq, Anggota Komisi I DPR RI fraksi PKS ini dalam sebuah perbincangan di salah satu TV Swasta mengatakan bahwa seharusnya tim investigasi tidak dilakukan oleh masing-masing institusi (TNI-Polri), melainkan membentuk tim investigasi gabungan yang diharapkan dapat menyatukan persepsi kedua belah pihak terhadap masalah yang terjadi.

Selain itu, dalam teori psikologi kelompok yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Bimo Walgito, campur tangan pihak ketiga dalam penyelesain konflik merupakan langkah yang tepat, misalnya melibatkan mediator independen yang bertugas mengumpulkan informasi dan fakta di lapangan untuk mengambil keputusan yang bersifat independen. Seperti yang pernah dilakukan oleh Jusuf Kalla dalam penyelesaian konflik SARA di Poso dan Ambon. Pihak ketiga yang cocok dalam kasus ini menurut penulis setidak-tidaknya adalah Menkopolhukam, Djoko Suyanto sebagai kementerian yang mewadahi TNI-Polri, apalagi ia juga pernah menjabat sebagai Panglima TNI, paling tidak hal tersebut dapat berpengaruh. Dan kalaupun tidak, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus turun tangan langsung mengatasi masalah krusial yang terjadi di negara yang ia pimpin.

Sebagai langkah pencegahan dini meluasnya konflik ini di daerah-daerah lain, maka diharapkan masing-masing pimpinan institusi (Panglima TNI-Kapolri), mampu meredam segala tindakan-tindakan dekonstruktif masing-masing anggota pasca kejadian tersebut seperti serangan balasan, yang justru hanya menghasilkan pertikaian dan konflik yang berkepanjangan. Selanjutnya mengubah persepsi anggota tentang eksistensi dan kapasistas institusi masing-masing, karena hal tersebut dapat menciptakan egoisitas yang sifatnya merusak bagi kedua belah pihak. Justru yang perlu ditekankan adalah bagaimana menyatukan kekuatan yang ada dalam mengamankan negara dari segala upaya-upaya yang berpotensi memecah belah NKRI dengan gerakan-gerakan separatis dan terorisme yang saat ini menjadi fokus kedua institusi. Jayalah TNI-Polri!

*Penulis Adalah Alumni Fakultas Psikologi

Universitas Negeri Makassar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun