Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar Perdamaian di Medsos dari Sejarah Maluku

2 Agustus 2017   07:27 Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:51 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Damai - kompasiana.com

Kita tidak lupa bahwa kenangan yang membuat perpecahan atas nama agama itu meruyak justru di wilyah timur Indonesia: Maluku. Terjadi pada tahun-tahun setelah reformasi 1998. Belum terlalu lama benar, tetapi akan sangat disayangkan jika kisah itu kita tinggalkan begitu saja. Ada terlalu banyak versi dalam tragedi yang konon menewaskan 15 ribu jiwa di Maluku itu. Dan, secara otomatis, media massa mengkategorikan dua kelompok agama dalam jumlah itu. Sekian ribu jiwa adalah umat Islam dan sekian ribu jiwa adalah umat Kristen.

Penceritaan sejarah dengan cara seperti ini harus kita lawan dengan menghancurkan cara berpikir yang menempatkan Islam dan Kristen secara konfrontatif. Islam dan Kristen tidak berhubungan sebagai seteru.  Perseteruan, justru muncul pada tahun 1999. Karena Islam dan Muslim ada di Maluku sejak abad-abad lalu. Jauh sebelum Indonesia merdeka sebagai bangsa.

Bagi orang-orang di Maluku, pengalaman kelam itu tidak lagi membuat mereka secemas dulu. Mereka percaya bahwa kerusuhan pada masa itu bukanlah perang sipil, melainkan kericuhan yang dipelihara oleh sejumlah tokoh militer dan elit politik di Jakarta untuk melindungi kepentingan mereka. Terutama ketika perselisihan atas nama agama itu mulai mencuat lagi di sela kampanye Pemilihan Pilkada DKI Jakarta 2017 pada November tahun lalu. Ketika media sosial menjadi alat dalam hitam dan putih kontestasi politik itu, sejumlah orang di Maluku mengambil jalan yang brilian.

Mereka menamakan diri sebagai Provokator Perdamaian. Penamaan ini cukup kuat karena pada dasarnya mereka menyadari bahwa kerusuhan yang membawa-bawa nama agama di masa lalu mereka adalah akibat provokasi. Kini, mereka membalasnya dengan melakukan provokasi pula, namun untuk perdamaian.

Dan akal sehat tampak pada kesadaran mereka terhadap perkembangan teknologi. Yakni menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan provokasi perdamaian. "Jika para provokator bisa menggunakan teknologi baru untuk menghasut kekerasan, kita bisa menggunakan (tekologi baru) itu untuk menghancurkan hasutan mereka," kata salah satu penggagas Provokasi Perdamaian, Pendeta Jacky Manuputty.

Sahabat Jacky yang juga penggagas Provokasi Perdamaian ini, Ketua Majelis Ulama Maluku, Abidin Wakano, menyadari pentingnya kesadaran ini karena mereka tahu betapa sulitnya menerima keadaan dalam sejarah kelam pasca reformasi. "Ini tidak mudah. Kami melewati tantangan yang luar biasa," kata Abidin. Pendeta Jacky dan Ustadz Abidin telah memberikan cara untuk bertindak di era media sosial ini. Kita semua tahu bahwa media sosial adalah alat yang ampuh untuk menyebarkan ide. Namun, untuk mengambil langkah tersebut sebagai sebuah aksi nyata, itu soal lain.

Sebagian dari kita mungkin tidak mengalami apa yang terjadi di Ambon dan Maluku pada 1999-2002. Tetapi, Pendeta Jacky dan Ustadz Abidin adalah bagian dari masyarakat dalam sejarah itu. Apalagi yang harus kita ragukan tentang ide perdamaian dan menyebarluaskannya melalui media sosial ketika orang yang mengalami langsung sejarah perpecahan telah memulainya. Jadi, tunggu apa lagi? Jangan ragu untuk menggunakan media sosial sebagai alat untuk memprovokasi perdamaian. Karena kita tahu betapa pahit-kelamnya ketika perdamaian itu porak-poranda.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun