Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pintu Keluar Sebelah Sana!

14 Februari 2018   02:26 Diperbarui: 14 Februari 2018   03:09 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saudara San yang baik, pintu keluar sebelah sana! Kepala saya bukan gurun yang menyesatkan atau rumah yang  nyaman buat Saudara tinggal. Kepala saya toilet umum, siapa saja bisa masuk, dan tolong, bersihkan semua kekacuan yang telah Saudara timbulkan setelah singgah sepuluh menit di dalamya.

Bukan mengusir atau bersikap kasar pada tamu terhormat seperti Saudara yang datang jauh-jauh entah dari mana. Kepala saya, selalu menerima yang dari mana saja. Kemungkinan-kemungkinan, hari sial, dan pengikutnya sering masuk dan ingin tinggal lebih lama.

Saudara San yang baik. Tinggallah. Saya ijinkan. Tak perlu bayar. Tapi jangan lama-lama. Sebab kepala saya tidak cukup besar untuk menampung segalanya jika Saudara tinggal terus seperti pertapa. Saya ingatkan, kepala saya jamban, bukan gua, atau rumah ibadah atau seperti tempat harapan Saudara. Lagi pula, apa yang Saudara inginkan dari kepala saya? Sudah tidak ada. Sudah tidak ada.

Toilet ini memang dulunya adalah bangunan megah. Persisnya sebuah rumah. Semua kebahagiaan tercipta di sana. Seseorang menepatinya, bagus sekali cara dia merawat. Lantai yang selalu disapu, halaman depan yang dipenuhi bunga-bunga, pagar bambu, kicau burung pipit pagi hari yang ceria, dan senyum. Saya pikir tempat itulah surga; surga yang itu, yang di ayat-ayat kitab suci, tempat banyak sekali orang ingin kunjungi.

Akan tetapi bagai halnya cerita dalam kitab suci, iblis datang, bisikannya betul-betul lembut seperti bisikan hati nurani. Seperti terdengar kepakan kupu-kupu yang manis dan menggiurkan. Dan hari itu pun tiba. Seseorang yang saat itu sedang menyiram bunga, terpesona dengan kupu-kupu itu. Lantas ia mengikuti terbangnya si kupu-kupu. Seseorang itu berjalan kecil melewati pagar bambu lalu ia lenyap seperti nyaris tak dapat dipercaya. Dan ia tak pernah kembali lagi.

Lama setelah itu, bangunan itu kosong. Sepi. Lapuk dan tak terawat dan kondisinya menyedihkan. Ketika malam tiba hanya terdengar suara angin, gemerisik daun dan gonggongan anjing. Apa boleh buat. Orang-orang mulai takut melintasi bangunan itu, malam maupun siang hari. Orang-orang mulai menyebut bangunan itu sebagai kuburan, ada juga yamg menamainya museum. Meski salah, namun bukan berarti tak benar. Sebab bagaimana pum bangunan itu memang dulunya tempat segala hal pernah dimakamkan, setidaknya pernah ada sebagai benda yang hadir dan menjadi sejarah.

Bangunan itu kosong. Lama sekali. Anak-anak muda sialan yang belum akil baliq tanpa rasa takut justru memanfaatkannya untuk lokasi pacaran, memamerkan kemesraan mereka, dan bangunab itu mendengar sendiri pertanyaan kapan menikah? Yang diucapkan berulang-ulang kali seolah itu adalah pertanyaan iseng, atau vokal lidah kepeleset saat kaki tersandung. Lainnya, orang-orang tersesat datang, memarkir kendaraannya, dan tanpa rasa bersalah sebagai manusia mereka kencing di gedung itu seperti binatang ternak, kadang mereka malah datang beramai-ramai hanya untuk menunjukkan diri kedudukan mereka.

Namun hingga kini tak ada kejadian yang benar-benar penting dan menarik. Cuma karena bau air kencing yang terlalu menyengat, gedung yang mulanya beroprasi sebagai tempat kencan remaja kini beralih fungsi menjadi toilet umum. Dan seperti itulah kisah kepala saya terbentuk. Selama bertahun-tahun.

Orang-orang bertanya pada saya: kapan menikah. Sehari bisa sampai lima kali. Persis seperti keinginan mereka ingin kencing. Di musim dingin, bisa ditambah jadi sebelah kali. Dan memang saat pertanyaan itu diajukan, rasanya, kepala saya mirip toilet umum yang enak buat dikencingi. Saya dikecingi sebanyak sebelas kali di musim dingin ini.

Tidak berlebihan. Kini tak ada orang yang benar-benar ingin tinggal lebih lama bersama saya karena saya bau dan sebagainya. Kecuali keajaiban itu muncul: seseorang yang dulu menepati rumah itu, kembali dan merawat rumah itu lagi. Namum saya pikir itu mustahil. Sebab kabar angin mengatakan, ia sudah tinggal bersama orang lain. Di suatu tempat. Di dalam kepala orang lain. Dan orang itu sudah tinggal di hatinya.

Rumah itu kosong, tak terurus, dan menghawatirkan. Namun Saudara San yang baik, tak perlu khawatir, karena saya sudah menunjukkan pintu keluarnya kepada Saudara. Pergilah. Jadilah kebanyakan orang yang ingin pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun