Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mengunjungi Ibu

20 Agustus 2017   23:14 Diperbarui: 29 Agustus 2017   15:33 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: instagram.com/lauvdahl/

Kita akan pergi. Mengunjungi ibu. Sudah lama sekali kita tak mengunjungi ibu. Kau bahkan tak ingat apa kata terakhir beliau ketika menelponmu. Jaga dirimu baik-baik di situ. Jangan lupa makan. Jaga kesehatanmu ya, Kak.

Barangkali itulah kalimat yang sering diucapkannya. Barangkali tiga kalimat itulah yang terus kau ingat kepadanya. Persis tiga kalimat yang jika digabung akan berbunyi seperti nasehat: Jangan sampai sakit.

Kau mengemasi barang-barangmu. Dua hari lalu kau sakit. Tapi hari ini kau sudah sembuh. Kau merasa bersalah karena tidak memenuhi nasehatnya. Maka untuk menebus rasa bersalahmu, kau pikir, sebaiknya kau pulang dan minta maaf pada ibumu.

Kau kerap kali bilang pada ibumu kau kesepian. Bukan karena kau tak punya pacar. Atau setidaknya empat tahun lalu kau punya pacar, dan ibumu tahu karena kau sempat mengenalkan padanya. Bukan. Sama sekali bukan. Melainkan akhir-akhir ini kau merindukan seorang ayah.

Dulu saat-saat kesepian dan mengungkapkan isi pikiranmu padanya, ibumu justru berkata, "Aku ini juga ayahmu," katanya melalui saluran telepon.

Kau jawab, "Iya. Aku tahu, Bu. Tapi maksudku seorang Ayah. Ayah yang benar-benar Ayah."

"Berhenti pakai kata-kata yang rumit, Kak. Ayahmu sudah tak ada. Tapi kau tak perlu khawatir. Aku di sini. Aku bersamamu sebagai ibu dan seorang ayah. Dan bukankah kita sudah sepakat tidak akan membahasnya lagi? Apalagi yang kau mau?"

Kau menutup telepon. Kau tidak berkata apa-apa lagi. Kau merasa tidak nyaman jika harus melakukan komunikasi searah. Kau mau ayahmu sendiri yang menimpali. "Aku di sini bersamamu," kira-kira begitulah kata-kata yang kau harapkan. Tapi ibumu tak akan mengerti seberapa keras dia berusaha menyerupai sosok lelaki dia tetaplah seorang perempuan. Tak pernah tidak.

Biasanya tak lama setelah kau mematikan saluran telepon, Ibumu akan kembali menelponmu lagi. Berkata, "Maafkan aku."

Tapi hari itu entah kenapa dia absen menelponmu. Kau juga tak ingin tahu alasannya. Mungkin dia sedang sibuk. Lebih mudah memahami alasan yang kita pikirkan dari pada tidak memiliki alasan sama sekali.

Sampai kemudian kau mendapat kabar bahwa dia sakit. Kau tak pernah membayangkan dia akan sakit. Sejak ayahmu meninggal dia sudah memutuskan menjadi dua orang sekaligus. Seorang laki-laki dan perempuan dan itu semua tak pernah membuatnya menyerahkan diri ke rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun