Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Idul Fitri dan Mimbar Politik

28 Juni 2017   07:15 Diperbarui: 28 Juni 2017   07:35 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik untuk didiskusikan terkait Idul Fitri pada tahun ini. Disamping soal hari lebaran yang jatuh pada hari yang sama (25/6) sesuai ketetapan pemerintah dan berbagai ormas Islam seperti Muhammadiya-NU, juga soal pesan Menteri Agama RI.  Lukman Hakim Saefuddin berharap agar para khatib menyampaikan kutbah tentang hakikat Idul Fitri, mengajak kembali ke jatidiri kemanusian, serta menahan hal-hal tercela. Juga mendorong umat Islam untuk selalu mendorong kemaslahatan bagi sesama dalam merawat alam semesta.

Pesan Menag RI di atas dilatarbelakangi oleh pengalaman bangsa ini sebelumnya dalam pesta demokrasi lima tahunan. Pelaksanaan Pilkada serentak 2017 lalu menjadi pengalaman pahit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gesekan, percikan perpecahan, dan polarisasi dalam masyarakat telah mengoyak keutuhan NKRI. Panasnya suhu politik di berbagai daerah dalam persaingan politik mendorong sebagian dari kita bertindak brutal, anarkis, dan menghalalkan segala cara. Terlebih Pilkada Jakarta yang diklaim bercitra rasa Pilres telah menguras energi bangsa ini dalam waktu cukup lama.

Nampaknya sang Menteri khawatir jika kutbah Idul Fitri dijadikan mimbar politik. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab. Sebelumnya, dalam praktek politik di Pilkada serentak, isu agama dijadikan konsumsi politik yang sudah melebihi batas. Nilai agama mengalami degredasi akibat politisasi agama. Agama digunakan untuk kepentingan politik. Masih segar dalam ingatan rentetan aksi massa bela Islam yang berjilid-jilid, politisasi jenazah, sepanduk propokatif berbau SARA dan lainnya. Masjid mendadi tempat berkampanye, mempromosikan calon menyudukan lawan. Surga-neraka dikaitkan dengan pilihan politik. Tuhan diajak berkampanye,  gema takbir digunakan untuk menyudutkan lawan politik. Sungguh, ironis memang.

Senada dengan Menteri Agama, Ketua MUI KH Ma'ruf Amin meminta para khatib shalat Idul Fitri menyampaikan pesan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, menebarkan pesan perdamaian baik kepada masyarakat yang di dalam negeri maupun dunia internasional. Selain itu, masyarakat diminta untuk tidak menyebarkan informasi yang berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis. MUI mengajak dan mengimbau umat Islam agar memperbanyak silaturrahim dan merajut ukhuwah untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan sesama warga bangsa, sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan yang memecah belah bangsa, (http://nasional.kompas.com)

Sayang, seruan Menteri Agama dan Ketua MUI tak sepenuhnya dijalankan oleh umat Islam. Di beberapa tempat, khotib tak mematuhinya. Mereka menyampaikan kutbah dengan bermuatan politis. Syukur, masyarakat sudah dewasa. Bisa membedakan mana kutbah yang menyampaikan pesan kesucian Idul Fitri dan yang beraroma politik. 

Seperti yang diberitakan secara viral di media sosial, seorang khatib di alun-alun Wonosari Kabupaten Gunungkiidul Yogyakarta ditinggal pergi oleh sebagian besar jamaah karena materi kutbah dinilai sangat politis, melenceng dari subtansi Idul Fitri.  Seperti ditulis Viva.co.id,jamaah membubarkan diri pada saat khatib Idul Fitri, Ikhsan Nuriansyah Bajuri menyampaikan khutbahnya. Dalam khutbahnya, Ikhsan sejak awal menyinggung kasus penistaan agama yang melibatkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Jemaah yang semula duduk mendengar khutbah serentak berdiri dan meninggalkan lapangan dan melipat peralatan salat.

Mimbar politik

Tak sepantasnya kutbah Idul Fitri dijadikan sebagai mimbar politik praktis. Kesucian Idul Fitri tak boleh dinodai dengan hasrat hawa nafsu duniawi seperti kepentingan politik. Beberapa hal berikut, menurut hemat saya menguatkan argumentasi di atas. Pertama, Idul Fitri sejatinya adalah momentum umat beriman menerima predikat muttaqin (orang yang bertaqwa). Tak sepatutnya kesuksesan menjadi orang bertaqwa tersebut diiringi dengan perbuatan tercela, memanfaatkan mimbar Idul Fitri untuk kepentingan politik yang mencermin ambisi, keserakahan dan hawa nafsu duniawi. Apa kita rela merusak kesucian Idul Fitri dengan hal-hal duniawi semisal  ambisi politik? Tidak. Hal itu tak boleh dilakukan. Terlalu naif jika memperalat agama guna kepentingan politik.

Kedua, Idul Fitri adalah kemenangan iman atas hawa nafsu. Berpuasa merupakan ujian keimanan seseorang. Dalam Al Quran juga disebutkan, kewajiban puasa itu bagi mereka yang beriman. Selama Ramadhan iman seseorang diupayakan menang atas hawa nafsu, segala keinginan duniawi. Menjadi tak elok ketika baru saja selesai berpuasa kita kembali memuaskan syahwat politik dengan menabur fitnah, permusuhan dan perpecahan di tengah umat. Kesucian Idul Fitri akan ternodai.

Ketiga, Idul fitri adalah hari saling memaafkan. Dalam tradisi bangsa Indonesia Idul fitri adalah hari silaturrahmi, saling memaafkan. Satu sama lain, masyarakat saling meminta  dan memberi maaf. Mereka saling mengunjungi rumah. Kutbah politis seperti itu akan merusak suasana kebatinan umat yang sedang merayakan lebaran. Sebab, dalam pilihan politik mereka pasti berbeda. Tak mungkin sama. Selama Ramdhan yang lalu, saya melihat kondisi tanah air sangat kondusif. Hiruk pikuk politik pasca Pilkada meredah. Ditambah stabilitas harga pangan  terjaga dengan baik. Mudik tahun ini pun relatif lancar, aman. Kenapa kondusi baik seperti ii harus dirusak dengan provokasi dari mimbar Idul Fitri? Saya, orang yang berakal sehat dan bijak tak akan melakukannya.

Keempat, mengoyak semangat kebersamaan dan persatuan. Sangat menggembirakan, beberapa tahun belakang terakhir lebaran di Indonesia dirayakan secara bersama oleh sebagian besar umat Islam. Kebersamaan dalam menetapkan Idul Fitri berpengaruh sangat besar merekatkan persatuan. Maka sangat prihatin, jika semangat kebersamaan tersebut dirusak oleh oknum khatib yang kembali memprovokasi umat dengan hal-hal yang bermuatan politik praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun