Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ontologi Sampah, Identitas, dan Konsekuensinya

18 Januari 2020   15:43 Diperbarui: 18 Januari 2020   20:56 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ujung jembatan gantung Lok Baintan, Sungai Tabuk, Banjarmasin (dokpri)Tempat pembuangan sampah di ujung Jembatan Lok Baintan, Sungai Tabuk, Banjar| Sumber: Dokumentasi pribadi

Lingkungan tersebut bukan tempat saya, karena tempat merupakan konstruksi mental berdasarkan pengalaman keruangan dan temporal yang muncul sebagai hasil dari pemaknaan terhadap tatanan tertentu.

Kita kemudian dapat memahami kenapa ada orang atau kelompok orang yang bisa menempati lingkungan yang bagi sekelompok lain dikategorikan kotor, bau, kumuh dan menjijikkan. Sulit sekali memberi mereka kesadaran bahwa lingkungannya tidak sehat.

Belum lagi kalau kontek lingkungan tersebut memberi gambaran berbeda dalam musim atau waktu yang berbeda. 

Kalau mengingat kembali tahapan dalam komunikasi di bagian awal tulisan ini, maka tampak nyata letak distorsi dan sumber gangguan penyampaian "pesan pembangunan" tersebut.

Cara berpikir ini kemudian dapat digunakan untuk melihat kenapa ada yang sangat terganggu dengan timbunan sampah, tapi ada kelompok orang (baca pemulung) yang menunggu atau mencari timbunan tersebut.

Manajemen pengolahan limbah mencoba menguraikan apa yang kita sebut sampah berdasarkan siklus masa pakainya. 


Sesuatu yang sudah habis nilai ekonomisnya atau lewat masa pakainya maka mulailah disebut barang sisa, lalu barang tak terpakai, kemudian sampah lalu akhirnya limbah. Tapi kemudian kalau dihubungkan dengan individu dan identitas maka semua tahapan itu dapat dimaknai berbeda.

Kardus pembungkus kulkas misalnya akan dikelompokkan berbeda oleh orang berbeda, tergantung persepsi dan identitasnya.

Sebagian dapat menilainya sebagai bahan untuk membuat dinding rumah, sebagian melihatnya sebagai bahan untuk membuat kemasan, sebagian lagi mungkin akan membuatnya menjadi bubur kertas dan seterusnya. 

Semakin tinggi persepsi status sosial individu maka akan semakin ketat juga seseorang memberikan nilai ekonomi terhadap kardus tersebut.

Gelas atau botol plastik, bongkaran bangunan, komputer rusak merupakan beberapa contoh benda yang dapat dipersepsikan berbeda-beda sebelum pada akhirnya semua sampai pada serpihan terakhir yang kemudian disepakati sebagai sampah sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai "benda atau barang yang dibuang karena tidak terpakai lagi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun