Kutu loncat adalah istilah yang telah sangat populer diberikan kepada para politisi yang mudah pindah partai politik karena alasan-alasan yang sangat pragmatis, bukan ideologis. Cap politisi kutu loncat ini kembali mencuat setelah banyak politisi yang kini beramai-rami pindah partai politik dengan alasan untuk kepentingan merebut serta  melanggengkan kekuasaannya.
Realitas ini setidaknya terjadi kepada Dede Jusuf (Wagub Jabar) yang pindh dari PAN ke Partai Demokrat dengan alasan ingin maju sebagai Gubernur mendatang. Langkah pindah partai ini  juga dilakukan para politisi senior seperti Mendagri Gamawang Fauzi yang dulunya kader utama PDIP kini menjadi fungsionaris Partai Demokrat, Ketua DPD Golkar dan sekaligus Gubernur Jambi Hasan Basri Agus yang pindah partai Golkar dan kini menjadi Ketua DPD partai Demokrat Jambi, Ilham Arif Shirojuddin yang sebelumnya Ketua DPD Golkar Sulsel kini menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Sulsel, Sinyo Sarundajang yang sebelumnya kader potensial PDIP  dan Gubernur Sulut kini juga telah pindah pindah ke Partai Demokrat.
Realitas seperti itu  sebenarnya telah  terjadi sejak  lima tahun yang lalu, dimana Partai Demokrat banyak membajak kader-kader partai lain yang sedang menjadi pejabat. Sebagai Contoh Walikota Semarang Sukawi Sutarip yang awalnya menjadi kader utama PDIP pada tahun 2006 tiba-tiba menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Semua itu menggambarkan bahwa proses perjuangan  politik masih berjalan secara pragmatis, instan,  elitis dan transaksional.
Belajar dari kasus tersebut kita sebagai warga negara pantas prihatin bahwa banyak elit politik yang menjadi pimpinan partai ternyata tidak memiliki ideologi partai tetapi lebih mengedepankan kepentingan sangat pragmatis, temporal, sektoral dan instan untuk kekuasaan. Yang lebih memalukan adalah ketika perpindahan partai yang dilakukan para elit politik itu lebih karena faktor untuk mendekat kepada pusat kekuasaan agar kepentigan pribadinya untuk berkuasa dapat lestari dan terproteksi.
Realitas itu membuktikan bahwa rekruitmen didalam partai politik dijalankan secara "instan" dan lebih bersifat transaksional, baik demi kepentingan materi maupun politik. Merebaknya politisi kutu luncat saat ini juga menegaskan bahwa proses pengkaderan dalam parpol sama sekali tidak berjalan dan tidak dianggap penting seperti halnya tergambar dalam internal Partai Demokrat.
Dalam konteks inilah rasa malu dan fatsun politik sudah tidak berlaku dalam percaturan politik di negeri ini. Para pelaku kutu loncat terlihat sangat bangga dan merasa tidak berdosa berpindah partai yang berkuasa,  sementara Partai Demokrat terlihat sangat wellcome menerima      para kutu loncat tersebut ke rumah politiknya yang sesungguhnya tidak memiliki loyalitas politik dan deolologi, tetapi hanya memiliki loyalitas kekuasaan.
Sungguh sangat disayangkan jika publik kini menganggap bahwa partai demokrat telah menjadi perahu para kutu loncat. Sebagai perahu kutu loncat maka partai demokrat sebenarnya hanya menampung para politisi petualang yang tidak memiliki loyalitas sedikitpun kepada partai. Partai Demokrat mestinya menyadari bahwa para politisi kutu loncat seperti ini akan segera lari ketika SBY sudah tidak berkuasa lagi, terutama pasca 2014.
Bentuk pengkhianatan seperti itulah yang tampaknya kurang dihitung partai Demokrat dan SBY setelah kekuasaan tidak lagi digenggamnya. Partai Demokrat dalam konteks ini tidak mau bersusah-susah melakukan pengkaderan secara progresif, serius dan bersungguh-sungguh tetapi lebih menempuh cara-cara instan, pragmatis, transaksional  dan tidak berkeringat yang sesungguhnya sangat kontraproduktif terhadap kebesaran dan kekokohan  partai ini di masa depan.
Dengan menjadi kapal para politisi kutu loncat maka keberadaan partai demokrat  tidak disiapkan menjadi partai kader yang berideologi kuat dan memiliki militansi perjuangan sangat tinggi. Partai Demokrat yang usianya masih muda ternyata tidak memiliki idelisme politik yang cukup dibanggakan karena dirinya lebih mengedepankan kepentingan-lekepentingan pragmatis, elitis, instan dan transaksioanal.
Para politisi kutu loncat yang terbukti tidak memiliki kesetiaan ideologi dan perjuangan politik pasti selalu menjadi  "penghamba" kekuasaan secara membabi buta. Politisi seperti ini jika menjadi pejabat pasti berjiwa  elitis dan mudah mengingkari kepentingan rakyatnya demi mencari muka dan lebih menyenangkan sang pemilik kekuasaan tertinggi di negeri ini semata.
Maraknya    politisi kutu loncat yang banyak di tampung di Kapal Partai Demokrat pasti atas sepengetahuan dan restu SBY sebagai Ketua Dewan Pembinanya.  Realitas tersebut sekaligus menggambarkan strategi       politik yang  dikembangkan ternyata telah keluar dari fatsun dengan menghalalkan 'pembajakan' kader-kader politik potensial secara instan, meskipun  sangat menyakitkan bagi partai politik lain yang dirompak.