Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbuat Baik kok Malu, Jadi weh... (Refleksi Indonesia Raya Ke-71 Tahun)

2 September 2016   16:05 Diperbarui: 2 September 2016   17:45 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merah Putih berkibar di rumah

Assalaamu’alaikum wr. wb.,

Berbuat baik kok malu, jadi weh … jadi mu’adzin mendayu; jadi khatib kelu; jadi imam kikuk; … jadi malu-maluin dech!

Mengapa alm. Ust. Zainuddin MZ, alm. UJ, Ust. Jujun Junaedi, atau Emha Ainun Nadjib, Iwan Fals, dan Sudjiwo Tedjo, sukses? Karena mereka ekspresif-impresif; total. Mereka lantangkan ‘Allaahu Akbar’ tak ragu. Mereka teriakkan kritik tanpa risi. Mereka explore-exploit potensi dan aset diri, sehingga karisma mereka menyeruak, membius, serta maksud tersampaikan … Luapkan hasratmu, bebaskan jiwamu seperti lagu: Bukalah mulut kamu/ Lantangkan saja suaramu/ Bebaskan jiwa kamu/ Tidak apa-apa dianggap gila/ Daripada tak bisa …/ Tertawa itu sehat/ Menipu itu jahat(“Hua Ha Ha”, Iwan Fals & Dalbo).

Mereka punya ‘jam terbang’, ‘kristalisasi keringat’, menurut komedian Tukul Arwana. Ya, kabisa (skill) karena pembiasaan; kemampuan yang diperoleh karena disiplin diri untuk mewujudkannya. Tak ada yang langsung jago; tak ada keahlian yang diwariskan.

Sebagai penonton, pendengar, atau pembaca, kita tak bisa seperti mereka dan memang jangan jadi mereka. Karena bumi berputar; karena zaman kan menuntut yang berbeda, meski esensi bisa jadi sama.

Jika alm. WS Rendra bilang, “Hari kemarin dan esok adalah hari ini,” maka beliau masih ‘hidup’ oleh karena karyanya, karena hasil menanamnya, karena ‘kebaikan’-nya. Ini mungkin tafsiran lomba kebajikan (fastabiqul khairaat, QS 2: 148 dan 5: 58); output lomba tanpa pemenang-pecundang; output lomba yang win win solution. Memang menjadi kewajiban sosial (kifayah, bukan ‘ain), yakni kewajiban representatif, kewajiban yang gugur jika telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah komunitas pada satu bangsa.


Di momen Indonesia Raya yang berkibar 71 tahun vis a vis tren negeri tren yang mengerikan seperti perkosaan-pembunuhan ini, apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi penerus; sebagai penikmat kemerdekaan Republik ini?

Beberapa orang bestari  bilang, “Wujud syukur kemerdekaan RI itu mengisi dengan pembangunan.” Mungkin, eloknya jangan sekadar cita-cita negara yang entah kapan diwujudkan; juga bukan sekadar nyanyian kebangsaan di hari Senin dan Tujuh Belasan, kita merindu konkretisasi Bangunlah jiwanya/ Bangunlah badannya/ … untuk Indonesia Raya.

Kentara jelas: jiwanya dulu, baru badannya; manusianya dulu, baru infrastruktur bla bla bla.

Hebatnya, rakyat negeri ini, rakyat santun nan setia; tahu setahu-tahunya, sadar sesadar-sadarnya seperti kasus Gaji Ke-13 dan Gaji Ke-14; rakyat tahu bahwa jumlah bulan hanya 12. Berarti ketahuan siapa yang tidak tahu jumlah bulan dalam setahun.

Berhadap-hadapan (vis a vis) dengan trending topic negeri yang ngeri-mengerikan, ada beberapa sikap yang harus dilakukan, yakni kita ubah dengan (1)  tangan, (2) bila tak mampu, dengan lidah, dan (3) bila tak mampu juga, dengan hati; ini selemah-lemahnya ‘iman’ (HR Muslim dari Abu Said al-Khudri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun