Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mindful Driving: Keep Your Distance

7 Mei 2024   10:52 Diperbarui: 8 Mei 2024   10:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Saya yakin, saat Anda sedang mengendarai kendaraan Anda dan kemudian harus berhenti disebabkan lampu lalu lintas berwarna merah, Anda akan berhenti pada jarak yang cukup antara kendaraan Anda dengan kendaraan lain di sisi depan, belakang, kiri, dan kanan Anda. Karena Anda tahu persis, jika terlalu dekat, apalagi menempel, bukan hanya kendaraan orang lain yang akan tergores, kendaraan Anda juga. Pun jika terlalu jauh, kendaraan di belakang Anda tentu akan membunyikan klakson berkali-kali sebagai simbol perintah bahwa Anda perlu berhenti lebih maju.

Sampai di sini mari sama-sama bersepakat bahwa kita sudah terlatih untuk menjaga jarak, tidak hanya menjaga jarak kendaraan kita dengan kendaraan lainnya, tetapi juga dalam arti luas menjaga jarak kendaraan kita dengan setiap objek yang saat itu berdekatan dengan kendaraan kita; seorang nenek yang hendak menyeberang, seekor kucing yang sedang melintas, sebatang pohon yang tegak menjulang, sebongkah batu besar yang bersandar, atau malah sekerumunan massa yang tengah berunjuk rasa. Pertanyaan saya, dengan analogi yang sama, benarkah kita juga telah terlatih, alih-alih piawai untuk menjaga jarak dengan setiap keadaan, menyedihkan maupun menyenangkan yang ada dalam keseharian kehidupan kita? 

Ada satu film menarik yang patut saya acungi ibu jari dari sisi kekuatan pesan yang disampaikan; Acts of Vengeance. Dalam film ini dikisahkan Frank Valera yang diperankan oleh Antonio Banderas tampil sebagai sosok pengacara kondang yang tinggal di sebuah hunian mewah bersama istri dan anak semata wayangnya. Meski demikian, kehidupan Frank yang cukup tenang ini mendadak berubah setelah di suatu malam, istri dan putrinya ditemukan tewas. Mayat keduanya dibuang di sebuah selokan sementara kendaraan yang digunakan ada di dekat rel kereta api.       

Diselimuti rasa bersalah karena Frank terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara sehingga menjadikan istrinya harus mengendarai sendiri kendaraannya di malam terjadinya pembunuhan, Frank semakin kecewa karena pihak kepolisian malah membekukan kasus tersebut dengan dalih ketiadaan bukti dan saksi-saksi. Bukan tanpa tujuan jika kemudian sang sutradara menampilkan sosok Frank sebagai pengacara. Ini semacam legitimasi bahwa naluri seorang pengacara menjadi mendapatkan ruang atas kasus yang dialami sang pengacara itu sendiri. Sehingga mudah bagi seorang Frank untuk melatih intuisinya sebagai pengacara untuk mengungkap kasus dan menemukan sang pembunuh keluarganya.

Yang menarik adalah sisi filosofis yang dihadirkan. Frank menjadikan kitab klasik Meditations karya Kaisar Romawi Marcus Aurelius sebagai pemandu dalam setiap langkah yang hendak ia lakukan. Salah satu prinsip yang ada di dalam kitab ini berbunyi, "The best revenge is not to be like your enemy (optimum vindictam non esse sicut inimicum)." Prinsip ini kemudian Frank terapkan ketika ia berhasil memenangi pertarungan satu lawan satu dengan sang pembunuh, dan Frank memiliki kesempatan untuk membunuhnya, yang jika Frank mau membunuh dengan cara yang lebih sadis. Meskipun begitu, Frank pada akhirnya memilih untuk hanya membuat sang pembunuh terkapar dan tidak berdaya. 

Meski hanya sebuah film, pesan yang disampaikan begitu berharga, tentang kepiawaian seorang Frank untuk menjaga jarak antara kuasa akal atau pikiran dengan kuasa emosi atau perasaan yang mendominasi kuat di dalam dirinya. Sedendam bagaimanapun, Frank justru memilih untuk membalas dengan cara yang elegan dan tidak menuruti keinginan hawa nafsunya untuk melampiaskan dengan cara yang brutal. Dalam carut-marut emosi, Frank masih mampu meninggikan akal di atas perasaannya.

Baik sekarang mari kita masuk ke bahasan yang kontradiktif. Pertama, kisah di atas diambil dari sebuah film, yang kita tahu sebuah film adalah bagian dari sebuah karya sastra yang identik dengan imajinasi atau rekayasa. Kedua, kejadian yang dialami oleh Frank adalah sebuah kesedihan, rasa kehilangan, pun juga rasa amarah yang membuncah. Sekarang pertama, kita akan bahas ke kisah yang lebih nyata. Kemudian kita akan bahas ke kejadian yang sebaliknya yakni kesenangan dan kebahagiaan.                 

Anda tentu mengenal istilah-istilah seperti crazy rich, flexing, corruption, money laundry, tax evasion. Meski secara semantis arti dari istilah-istilah ini identik dengan perilaku tidak normatif, akar atau sumber yang menjadi penyebab adanya kasus-kasus ini adalah semakna, yakni kesenangan, kekayaan, dan keberlimpahan. Tidak hanya kebelimpahan harta tetapi juga kekuasaan. Dan dalil pamungkas yang dapat dijadikan acuan tentu saja adalah analogi dari ilustrasi tentang kendaraan di paragraf sebelumnya, yakni ketidakpiawaian dalam menjaga jarak, dalam hal ini menjaga jarak dengan keberlimpahan. Bukannya menjadi pemimpin atas harta dan kekuasaan, justru menjadi budak atas harta dan kekuasaan.    

Kita tidak akan bahas tentang kasusnya, tidak karena kasus-kasus ini sudah menjadi semacam sarapan sehari-hari, dari budak kelas amatir hingga budak kelas master. Tetapi semakin sering kita membahas, semakin larut kita dengan hal-hal buruk padahal ada banyak hal baik di luar sana yang patut menjadi pusat pembicaraan dan pada akhirnya panduan bagi keteladanan.  

Barangkali Oprah Winfrey adalah contoh sosok sempurna tentang kisah kepiawaian dalam menjaga jarak; tidak hanya saat dalam keterbatasan tetapi juga saat bergelimang keberlimpahan. Ia melalui masa-masa kecil dalam penderitaan dan keterbatasan. Namun akhirnya tidak hanya mampu meraih kesuksesan tetapi juga piawai dalam mengelola kesuksesannya. Oprah memiliki banyak peran, meraih banyak penghargaan global, dan namanya juga masuk dalam Forbes World's Billionaires List.

Sosok bernama lengkap Oprah Gail Winfrey ini lahir pada 29 Januari 1954, di kota pedesaan Kosciusko, Mississippi, Amerika Serikat. Bibinya yang bernama Ida memberi nama sesuai dengan nama tokoh dalam Alkitab, Orpah. Namun tidak lama kemudian, keluarganya mulai mengejanya Oprah karena lebih mudah diucapkan. Masa remajanya cukup bermasalah ketika ia mengalami pelecehan seksual oleh sejumlah kerabat laki-laki dan teman ibunya. Oprah pun pindah ke Nashville dan tinggal bersama ayahnya yang merupakan seorang tukang cukur dan pengusaha. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun