Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... wiraswasta -

orang biasa sedang belajar menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

SAD, Proyek Pribadi Berbaju Timnas?

4 April 2012   17:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:02 4034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Semenjak tahun 2008 lalu, banyak media yang memberitakan tentang tim nasional muda Indonesia yang dikirim untuk berlatih dan berkompetisi di Uruguay. Meskipun banyak pihak yang kurang sepakat dengan upaya ini dengan berkaca pada kegagalan proyek PSSI Primavera dan Baretti yang dikirim ke Italia, namun tim yang dinamai 'Sociedad Anonima Deportiva' (SAD) itu tetap berangkat juga ke Uruguay.

Namun apa yang menjadi kekhawatiran banyak orang itu terbukti nyata. Generasi awal SAD ternyata gagal lolos ke putaran final Piala Asia U-19 yang digelar di Bandung pada bulan November 2009 lalu. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah untuk kembali mengirim timnas ke Uruguay, apalagi tim itu sendiri kabarnya dibiayai dengan dana pribadi oleh Nirwan Bakrie yang saat itu masih menjadi pengurus PSSI.

Banyak pecinta sepak bola nasional yang kemudian bertanya-tanya ketika kepengurusan PSSI baru era Djohar Arifin Husin tidak melanjutkan program ini. Padahal faktanya tim SAD itu masih berlaga di Uruguay, bahkan tim terakhir baru saja diberangkatkan ke Uruguay pada bulan Januari 2011 yang lalu dan masih dalam hitungan bulan ketika PSSI mengumumkan kebijakannya soal kelanjutan nasib tim SAD tersebut.

Namun hal itu terjawab sudah ketika situs berita inilah.com menyebut bahwa SAD dimiliki oleh Jaya Cronus (ada juga yang menyebutnya Pelita Jaya Cronus). Selain memiliki SAD, Cronus ini adalah pemilik Pelita Jaya FC, Brisbane Roar (Australia) dan CS Vise (Belgia). Maka rasanya tidak tepat jika menganggap tim yang ada di Uruguay itu adalah tim nasional Indonesia seperti yang selama ini beredar di masyarakat kita.

Di satu sisi memang terlihat betapa cintanya pemilik Cronus kepada sepak bola hingga begitu banyak uang yang dikeluarkannya untuk memiliki klub-klub itu. Tetapi di sisi yang lain, rasanya agak kurang pas jika proyek pribadi dilabeli dengan nama timnas. Karena keberadaan timnas sendiri seharusnya mewakili dan ada di bawah pengelolaan federasi, bahkan menjadi wakil negara tempat federasi itu berada. Dan PSSI sendiri seharusnya bersikap tegas dengan menyebut SAD bukan proyeknya sehingga para pecinta sepak bola kita tidak mendapat informasi yang salah.

Tetapi karena pada masa awal pembentukannya tim SAD didominasi oleh anggota timnas U-16, sepertinya agak sulit juga untuk tidak mengkaitkan keberadaan SAD dengan timnas. Mungkin juga di masa kepengurusan Nurdin Halid dulu SAD adalah program PSSI namun tidak dilanjutkan lagi oleh Djohar Arifin. Apalagi Nirwan Bakrie sebagai pendukung program SAD saat ini tidak lagi dalam kubu yang sama dengan para pengurus PSSI sekarang.

Terangnya soal kepemilikan SAD ini sekaligus bisa menjadi jawaban mengapa kemudian muncul masalah ketika salah seorang eks peserta program SAD 'dihalang-halangi' ketika hendak direkrut oleh Persebaya IPL. Begitu juga, menjadi jelas juga polemik pemecatan Alfred Riedl oleh PSSI Djohar Arifin karena alasan ketiadaan kontrak dengan PSSI. Memang dulu sempat ramai dikabarkan bahwa Riedl memegang kontrak pribadi dengan Nirwan Bakrie, dan jika timnas-pun bisa dijadikan proyek pribadi maka sangat mungkin jika kontrak Riedl adalah kontrak pribadi meski PSSI yang memanfaatkan jasanya.

Maka menjadi sangat logis jika PSSI di masa Nurdin Halid dulu disebut sebagai masa kelam persepak-bolaan nasional kita. Jika untuk urusan timnas dan kontrak pelatih timnas organisasi sebesar PSSI tidak mampu melakukannya menurut aturan yang seharusnya, maka pengelolaan sepak bola yang profesional dan berprestasi hanya menjadi impian semata. Dan menjadi sangat wajar jika Djohar Arifin memperbaiki tata organisasi PSSI meski harus dengan memecat Riedl, walaupun banyak ditentang para pecinta sepak bola nasional sendiri.

Dan rasanya menjadi kewajiban bagi Djohar Arifin jika dalam upaya rekonsiliasi sepak bola kita harus menemui Nirwan Bakrie. Namun bukan untuk mengemis belas kasihan tetapi menyelamatkan pesepak bola-pesepak bola muda Indonesia yang kini terjerat di tim SAD yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari pembentukan tim nasional Indonesia, meskipun ditawarkan sebagai tim nasional. Jika tidak rasanya akan banyak bakat muda yang tersia-sia hanya karena dijadikan alat bagi kelompok tertentu saja.

Melihat cara mereka mengelola PSSI di masa lalu itu, menjadikan kita tahu mengapa mereka sangat ngotot ingin kembali berkuasa di PSSI dengan menggunakan KPSI sebagai kendaraannya. Bagi mereka PSSI dan sepak bola nasional Indonesia hanyalah sekedar mainan saja dan seperti anak kecil, mereka akan menangis dan marah saat merasa mainannya hendak direbut. Lalu, apakah kita rela mereka yang mempermainkan sepak bola nasional kita berkuasa kembali?

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun