Mohon tunggu...
Alexander Philiph
Alexander Philiph Mohon Tunggu... Auditor - Buruh Pemerintah RI di BPKP || Founder PeopleTalkPeople || Pengamen & Tukang Potret di Jalanan || Gamer || Penulis Lepas

“Agama bukanlah candu bagi masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi bisa saja terjadi yang acapkali kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. (Alexander Philiph Sitinjak)” -LIA, Lux In Adulescens!! (Cahaya Dalam Anak Muda)-

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kekerasan Atas Nama Agama??

27 Juni 2012   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 6547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13407882302112868096

Kekerasan Atas Nama Agama??

Oleh : Alexander Philip

(Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Bogor, Aktivis Mahasiswa Penggiat Keberagaman)

Indonesia adalah negara yang multikultural yang beragam budaya, bahasa, adat istiadat dan agama. Perbedaan inilah yang seharusnya dihormati dan dihargai sebagai bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenaran akan keyakinannya sendiri ditambah dengan tindakan kekerasan kepada yang berbeda selama ini menimbulkan keresahan serta perpecahan antar kelompok dalam sebuah negara yang beragam. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mayoritas untuk menyerang minoritas akan membuat dampak yang negative secara perlahan-lahan. Mayoritas akan selalu merasa tersaingi akan hadirnya kaum minoritas pun sebaliknya minoritas akan merasa selalu terancam keberadaan mereka yang jauh dari rasa aman (wawancara dengan salah seorang jemaat dari sebuah gereja di Bogor). Kekerasan ini bukan saja kekerasan fisik saja misalnya, merusak bangunan tempat ibadah dan aksi main hakim sendiri yang bisa menimbulkan korban jiwaseperti aksi bom yang kerap terjadi di tempat-tempat Ibadah. Dalam bentuk serangan psikologis kekerasan atas nama agama terjadi lewat agitasi propaganda dengan memberikan stigma sesat yang akhirnya menjadi pembenaran dalam melakukan penyerangan. Seperti yang terjadi pada aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, Gereja GKI Yasmin di Kota Bogor dan, HKBP Filadelfia, Bekasi.

Pada beberapa kasus kekerasan atas nama agama, kejadian ini dipicu oleh peraturan yang membawa ajaran agama tertentu. Peraturan-peraturan daerah yang mengatasnamakan agama yang terjadi di beberapadaerah dimana peraturan tersebut akhirnya memaksakan kaum minoritas untuk mau tidak mau untuk mematuhi peraturan tersebut. Salahsatu contohnya SKB3 menteri yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat tanpa ada hak bicara dari kaum Ahmadiyah, SK Walikota Bogor No.645.45-137 Tahun 2011 tentang pencabutan IMB GKI Yasmin , SK Bupati Bekasi No : 300/675/Kesbangponlinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009, perihal : Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang perizinan tempat ibadah, Perda Syariah di Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dsb (Misalnya Peraturan Daerah Wajib Baca-Tulis Al Quran, Wajib berbusana muslim, Perda Ketertiban umum dan penyakit masyarakat-serta yang ada di beberapa daerah seperti Aceh, Tangerang, Depok, dsb), Peraturan Walikota Bogor terkait relokasi tempat Ibadah. Peraturan-peraturan inilah yang memberikan legitimasi adanya beberapa Ormas seperti FPI, Laskar Hisbullah, Forkammi, ataupun Ormas keagamaan yang lain menyerang dengan dalil kekerasan adalah ketegasan yang terakhir yang harus dilakukan (wawancara dengan Sekretaris Umum Penerangan Laskar Pembela Islam, Supriadi).

Melihat fenomena kekerasan atas nama agama di Indonesia, muncul sebuah pertanyaan apa yang menjadi penyebab fenomena kekerasan ini bisa terjadi? Dalam buku Ilusi Negara Islam, Gusdur mengatakan dalam kata pengantarnya hawa nafsulah yang menjadi penyebab utamanya dan "Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diserang atau diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya,berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kitaboleh melakukan pembelaan".

Apakah peristiwa kekerasan itu terjadi akibat dari radikalisme? Fundamentalis dan radikalisme bukanlah monopoli dari orang Islam saja(Andri Rosadi),  semua agama memiliki kaum fundamentalis danradikalisme. Radikalisasi dalam pemahaman penulis adalah nilai-nilai yang mengakar dalam semangat seseorang dan mengakar dalam dirinya sendiri.. Radikalisme jika di konsumsi pribadi juga tidak salah dan radikalisasi jika dipakai secara kolektif dalam suatu kelompok juga tidak masalah. Radikalisme dalam buku Hitam Putih FPI menyatakan bahwa tindakan radikalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas dandalam buku tersebut membandingkan dengan fenomena yang terjadi di negara Mesir, fenomena radikalisme yang dulu sempat menguap ditutup oleh kebebasan politik yang dihadapi oleh rezim milter yang represif.

Gerakan radikal merupakan bentuk perlawanan untuk mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Praktik radikalisme yang terjadi di Indonesia justru berkembang dengan aksi kekerasan atas nama agama sejak peristiwa reformasi dan demokratisasi yang sedang berlangsung. Banyak organisasi yang mengatas namakan agama terbentuk yang akhirnya secara perlahan-lahan membentuk sebuah gerakan yang akan menggolkan peraturan-peraturan pemerintah yang berdasarkan atas nama agama tertentu (Riset oleh LibForAll Foundation).Belum lagi permasalahan-permasalahan radikalisme itu mencuat, para aparat pemerintah menunjukkan ketidakseriusan nya dalam menghadapi tindakan kekerasan atas nama agama. Beberapa contoh ketidakseriusan Pemerintah Daerah dan Pusat dalam mengungkap kekerasan atas nama agama terlihat pada kasus GKI Yasmin, Bogor dan HKBP Filadelfia,Bekasi. Kenapa? Sudah sangat jelas dalam tingkatan hukumnya bahwa dalam permohanan Peninjauan Kembali MA pihak GKI Yasmin (No.127 PK/TUN/2009) dan rekomendasi tanggal 8 Juli 2011 Ombudsman Republik Indonesia menegaskan “… tindakan Walikota Bogor yang menerbitkan SK Nomor 645.45-137 adalah Maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta bertentangan dengan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor: 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 tapi Pemerintah Kota Bogor malah melakukan pembakangan akan keputusan yang berkekuatan hukumyang tetap dari Mahkamah Agung dengan menerbitkan SK Walikota Bogor No.645.45-137 Tahun 2011 tentang pencabutan IMB GKI Yasmin. Lain halnya dengan Gereja HKBP Filadelfia pada tanggal 28 Juni 2011, permohonan kasasi Bupati Bekasi ditolak Mahkamah Agung, dan menguatkan putusan PTUN Bandung. Bupati tidak mengadakan upaya hukum lagi yang berarti Bupati Bekasi menerima putusan PTUN Bandung, PT TUN Jakarta dan Mahkamah Agung. Putusan akhirnya sudah berkekuatan tetap dan harus dieksekusi Bupati Bekasi 90 hari kerja sejak dikeluarkan putusan dari Mahkamah Agung. Alhasil sampai sekarang belum dilakukan.

Akan tetapi semangat dari GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia tidaklah pernah surut. Kedua Gereja ini melakukan tindakan yang positif dengan tetap berjuang untuk menuntut haknya lewat Kebaktian bersama di depan Istana Negara dalam dua bulan belakangan setiap dua minggu sekali. Kebaktian bersama tertanggal 24 Juni 2012 pun dilaksanakan dengan sangat damai dan penuh harapan lewat musik tradisional Batak berharap Bapak Presiden RI selaku Pimpinan Negara untuk membuka segel Gereja mereka. Tidak hanya mengucapkan nada prihatin saja dan mengumbar janji untuk berkomitmen untuk menindak tindak kekerasan berbasis agama seperti bagaimana komitmen yang telah terucap saat Sidang UPR di Swiss pada 23 Mei 2012 yang lalu.

Lain halnya dengan kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu yang berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh pihak GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia dengan melakukan cara-cara emosional dan provokatif seperti unjuk rasa dengan teriakan yang bernuansa agama, hanyalah demi kepentingan politik saja dan sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah dan selalu saja bermuara pada kegagalan yang melelahkan . Tidak bisa disangkal lagi ujung-ujungnya Perda yang mengatasnamakan agama itu akanjadi bumerang dan bila keadaan ini telah berlaku, agama yang digunakan untuk Perda disalah satu sisi pastilah akan tercemar apabila Perda tersebut hanya sebatas alat politik bukan sebagaimana peraturan yang khusus. Malapetakapun akan datang, citra Agama pun semakin buruk dan ternyata produk Perda yang dilabeli Agama itu tidak membuahkan kenyamanan dan ketentraman bagi masyarakat .Inilah bukanlah masalah yang sederhana dan hendaknya kita menyadari bahwa otak-otak yang sederhana itu, seperti para Tokoh Agama yang mempunyai topeng dalam kemunafikan itu tidak menjalankan fungsinya sebagai tokoh yang seharusnya dipanuti dan diayomi oleh masyarakat. Kita harus melihatnya dari berbagai aspek kehidupan dan sudut pandang yang berbeda.

Ini bukan yang diharapkan dalam kehidupan kita sebagai warganegara.Yang diharapkan tentu saja hidup berdampingan dengan damai antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dan kita yang orang beragama ini secara tegas mengakui dan melindungi berbagai latar belakang keyakinan, budaya,dan tradisi bangsa Indonesia bukan membawa tradisi bangsa lain untuk hadir dan mengganti tradisi serta budaya lokal yang telah tumbuh dari awal.

Hendaklah disadari bahwaproyek Perda yang mengatas namakan agama adalah sesuatu yang sangat serius dan harus disikapi. Sejarah mencatat begitu banyak masalah jika Negara berdasarkan atas nama Agama, demokrasi tidak berjalan dengan baik malahan tindakan pembenaran keyakinan agar terus merugikan kaum minoritas. Dan alangkah lebih baik jika prioritas utama adalah mengurus masalah korupsi, rakyat yang masih miskin dan akan terus miskin, tingkat pengangguran, dan problem sosial lainnya dibandingkan dengan mengurusi agama yang dianut warganya.

“Agama bukanlah candu bagi masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi bisa saja terjadi yang acapkali kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Alexander Philip Sitinjak”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun