Nyata sudah bahwa timnas Inggris merupakan suatu kesatuan dari berbagai aspek yang saling mengenal, bekerja pada bidangnya masing-masing dan saling percaya.
Namun, bukan berarti aspek individual dilupakan begitu saja oleh Grange dan tim. Ambil contoh adalah ketika Raheem Sterling terus menerus mendapatkan kritikan akibat seringnya membawa bola dan membuang peluang.
Alih-alih memberikan evaluasi negatif terhadap pemain Manchester City tersebut, Grange lewat Southgate malah memberikan apresiasi terhadap apa yang telah Sterling lakukan.
"Saya rasa dia (Sterling) bermaind engan sangat baik dan menciptakan beberapa kekacauan untuk pertahanan lawan", begitu komentar Southgate saat menanggapi penampilan Sterling melawan Swedia.
Kepercayaan yang dibangun Southgate pada ofisial dan timnya menunjukkan lahirnya era baru manajerial dalam sepakbola.
Psikolog Michael Caulfield menyatakan bahwa era diktator dan tirani manajerial telah berakhir.
Caulfield yang juga co-director konsultan olahraga Sporting Edge menyatakan bahwa manajer generasi baru telah merubah alur komunikasi internal tim. Jika manajerial era lama adalah mereka yang memberikan instruksi dan perintah, serta hukuman, maka manajer era baru akan memilih mendengarkan dan berbicara secara intim dengan pemain.
Tindakan empatik adalah kata kunci lahirnya era baru ini. Southgate dengan dukungan ofisialnya telah melakukan itu dalam menghargai kualitas individu Sterling.
Kapan kita menyusul?
Pertanyaan seriusnya, kapan pejabat sepakbola di Indonesia serius menggarap aspek-aspek tidak terlihat dalam sepakbola seperti ini?