Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Salah Sangka terhadap JK

16 Oktober 2019   07:52 Diperbarui: 17 Oktober 2019   09:17 4571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla saat meninjau lokasi gedung usai meresmikan Menara Kompas, gedung baru Kompas Gramedia, di Palmerah, Jakarta Pusat, Kamis (26/4/2018). (KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Tidak ada yang meragukan reputasi Jusuf Kalla (JK) di negeri ini. Dua periode dengan Presiden yang berbeda, peranan JK sebagai Wakil Presiden bukan cuma sebagai pajangan semata.

Ketika menjadi wakil Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada periode pertama Pemerintahan SBY, peranan JK sangat begitu penting. Kepercayaan publik terhadap Pemerintahan SBY-JK begitu tinggi.

Pemerintahan SBY-JK, berhasil melakukan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini tidak terlepas dari kemampuan Diplomasi JK, yang melakukan pendekatan persuasif dengan para petinggi GAM di Helsinki, Finlandia.

Perjanjian yang dikenal dengan "Perjanjian Helsinki" ini merupakan tonggak sejarah penting, atas Konflik GAM dan Republik Indonesia. Peristiwa penting yang terjadi pada 14 tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005.

Tiga Pemerintahan pascareformasi, Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati, belum sempat melakukan ini. Sementara SBY-JK, menjadikan perjanjian damai antara GAM dan RI, sebagai debut awal pemerintahannya.

Namun sayangnya, pada Periode kedua SBY tidak lagi menjadikan JK sebagai pasangannya, dan JK pun menjadi rivalnya pada Pemilu Presiden tahun 2009 berpasangan dengan Wiranto. SBY memilih Boediono sebagai wakilnya, ketika ia kembali terpilih sebagai Presiden RI.

Hebatnya lagi, JK tetap menempatkan dirinya sebagai tokoh bangsa, meski tidak berkiprah di pemerintahan. Tidak jarang dia menjadi teman diskusi SBY, di saat sumbangsih pemikirannya dibutuhkan.

Menjelang Pemilu Presiden 2014, saat Jokowi digadang-gadang menjadi Calon Presiden, JK sempat melontarkan sebuah pernyataan yang sangat keras, "Kalau Jokowi jadi Presiden, bisa hancur negeri ini".

Pernyataan JK ini bagi pendukung Jokowi sangatlah menyakitkan. Namun pada kenyataannya, Tuhan membalikkan kenyataan tersebut. Entah dasar kalkulasi politik siapa, akhirnya JK terpilih sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2014.

Begitulah, kadang Tuhan menguji manusia dengan ucapannya sendiri, Tuhan berkuasa membolak-balikkan hati manusia sesuai dengan rencana-Nya. 

Tidak ada yang bisa menyangka, seorang yang begitu meragukan kemampuan Jokowi, akhirnya harus mendampinginya. Banyak yang meragukan JK, bahkan banyak yang salah sangka terhadap JK. 

Sebagai seorang politisi kawakan, dari sebuah Partai Golkar, mengundang berbagai kecurigaan dan salah paham terhadap JK.

Selama proses pemerintahan berlangsung, banyak manuver-manuver JK yang dianggap seperti "menggunting dalam lipatan". JK sering melakukan otokritik, yang dianggap tidak pantas, dan berseberangan dengan visi Jokowi.

Begitulah cara JK menjaga keseimbangan dan menjaga citra dirinya. Ia tidak ingin dianggap sebagai Wakil Presiden yang cuma bisa membeo. Dia harus berani mengoreksi Presiden, meskipun itu pahit.

Selama lima tahun mendampingi Jokowi, tentunya JK melihat dan tahu dengan persis kelebihan dan kekurangan Jokowi. 

JK merasakan pahit dan manisnya menjadi pendamping Jokowi, dan dia bisa membandingkan antara kepemimpinan Jokowi dengan SBY.

Salah sangka saya terhadap JK baru bisa saya hapus setelah melewati tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK, di mana JK mulai merasakan kelebihan-kelebihan Jokowi di atas kelemahannya.

Meskipun tidak jarang beliau mengkritisi Jokowi, namun beliau juga kerap memuji kebijakan-kebijakan yang diputuskan Jokowi. Posisi penting JK sebagai Wakil Presiden adalah selalu mewakili Jokowi di Sidang PBB.

Makanya JK berpesan, sebaiknya di lain waktu Jokowi harus bisa hadir pada sidang PBB, karena tidak elok kalau Presiden RI tidak pernah hadir pada sidang PBB. 

Itulah akhirnya yang menyebabkan keluar aturan, Presiden RI wajib menggunakan Bahasa Indonesia, saat berpidato di forum Internasional.

Oh ya, JK juga punya peranan penting dalam penyelesaian konflik di Ambon dan Poso. Memang JK seorang negosiator yang ulung, kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai konflik sangat diperhitungkan. 

Terakhir beliau mampu meluluhkan hati Prabowo, pasca kerusuhan 22 Mei 2019 pecah.

Terima kasih Pak JK, bapak sangat bermanfaat bagi bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun