Sudikah engkau mampir kerumahku malam ini? Aku tahu sejak kemarin malam kau tiba di kota ini, menghabiskan malammu dengan berdiam diri menatap keindahan kota dibalik jendela sebuah restoran yang terletak di lantai dua. Lengan kemeja biru tua yang sengaja kau lipat membuat aku mematung sedetik. Kau memang terindah.
Sudikah kau berkunjung ke rumahku? Bukankah rumahku adalah tempat berkunjung favoritmu, menjadi daftar utama saat waktu pulang ke kota tiba? Datanglah. Bahkan aku berencana menyiapkan menu kesukaanmu. Belum datang saja, senyumku terkembang berfantasi dengan bayanganmu.
Baiklah, pasti jatah pulangmu lama. Bagaimana tidak? Hampir sepuluh bulan kakimu tidak menjejak di tanah kota ini. mungkin besok atau lusa kau akan mampir ke rumahku, bukan?
Restoran ini lengang. Maklum, malam ini bukan malam minggu -hari kesukaan para pasangan sejoli untuk meet and greet. Aku ragu melangkah masuk, aku yakin sekali kau berada di tempat ini. Tempat favoritmu setelah rumahku. Jika kau tidak berkenan, aku akan datang menyapamu. Sungguh, aku rindu.
Aku tersenyum senang. Dugaanku benar, kau datang ke restoran ini duduk di tempat yang sama selama ini. Meja paling sudut dekat jendela.
"Hai." aku memberanikan diri. Eh, kau menoleh dan aishh senyum itu. Jantungku berhenti sekejap.
"Duduklah." belum sempat sadar karena senyummu, kau kembali tebarkan racun yang melemaskan tulang kakiku.
"Lihatlah keluar jendela,, Gadis!" tanganmu menunjuk sebuah kerlip-kerlip lampu dari pemukiman lembah. "Indah, bukan?" aku mengangguk. Meski kehidupanmu di kota sana jauh lebih menjanjikan, kau masih menyenangi hal sepele dari kota ini.
"Kenapa kau tak berkunjung ke rumah?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari pendar lampu pemukiman lembah.
"Aku baru saja sampai kemarin malam, Gadis. sepuluh bulan aku tidak menatap kerlip itu membuatku rindu. Kunang-kunang buatan." kau tertawa pelan.
Cukup. Menatap kerlip itu di sampingku sudah membuatku bahagia, seperi ada kupu-kupu yang terbang di dalam tubuhku.