Mohon tunggu...
Nurhaidah Saragih
Nurhaidah Saragih Mohon Tunggu... Guru - Learning by Doing and Traveling

Seorang perempuan Indonesia yang sekarang menetap di Jerman bersama suami, senang membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Rasis yang Terjadi pada Saya Saat Tinggal di Jerman

8 Februari 2020   04:15 Diperbarui: 11 Februari 2020   04:18 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar dua tahunan yang lalu sebelum saya pindah ke Jerman, seorang teman berkewarganegaraan Belanda wanti-wanti kepada saya, "hati-hati ya nanti setelah tinggal Jerman! Di sana masih banyak orang yang rasis! Lebih sedikit orang rasis di Belanda." 

Saya hanya diam dan berjanji dalam hati bahwa saya akan lihat sendiri nanti. Teman saya ini mungkin masih teringat dengan peristiwa kelam pembantaian orang-orang Yahudi oleh tentara NAZI Jerman. 

Sesampainya saya di Jerman menyusul suami, kami tinggal di sebuah desa kecil di Jerman dengan jumlah penduduk sekitar limaratusan orang. Kebanyakan mereka adalah orang-orang berusia lanjut yang sudah memasuki masa pensiun setelah dulu mereka bekerja di instansi pemerintah, swasta atau dulu bekerja sebagai petani. 

Dari lima ratusan penduduk, tidak semuanya merupakan penduduk asli Jerman. Ada juga pendatang-pendatang dari negeri lain seperti dari Polandia, Kroasia, Bulgaria, Rumania, Italia, Lithuania, Turki. 

Saya sepertinya satu-satunya orang Asia yang tinggal di desa ini. Ada sebagian tetangga saya awalnya menyangka saya berasal dari Thailand. Tentu saja perkiraan mereka tidak terlalu melesat jauh, penampakan fisik orang Thailand, Indonesia, Malaysia, Philipina atau Vietnam sepertinya hampir sama. 

Mungkin karena cuma saya sendiri yang berasal dari Asia, sedangkan yang lainnya dari Eropa dan Turki, ada beberapa orang  yang bersikap kurang ramah pada saya. Tapi saya tidak bisa memastikan bahwa sikap ketidakramahan segelintir orang ini merupakan perlakuan rasis terhadap saya sebagai orang Asia diantara mayoritas orang berkulit putih.

Kebanyakan tetangga yang pernah bertatap muka, berbincang, serta bertemu di halte bus desa, bersikap ramah dan bersahabat. Terkadang kami menunggu bis bersama di halte tersebut. Biasanya orang-orang yang berusia tua atau paruhbaya bertegur sapa ramah. Meski ada juga orang-orang muda yang ramah bertegur sapa pada saya. 

Di kota terdekat tempat saya mengambil kursus bahasa Jerman setiap hari, lebih beragam bangsa orang-orang di sana. Kebanyakan mereka berasal dari Suriah. Yang lainnya ada yang berasal dari Polandia, Kroasia, Spanyol, Ukraina, Kazakhstan, Hungaria, Bulgaria, Albania, Yunani, Venezuela, Brasil, Kolombia, China, Afghanistan, Irak, Iran, Palestina dan Turki. Guru-guru bahasa Jerman saya kebanyakan juga berasal dari luar Jerman seperti Polandia, Rusia, Kazakhtan, Ukraina dan Bolivia. Bahasa Jerman mereka tentu saja sudah bagus dan lancar, karena mereka pernah kuliah di Jerman dan tinggal lebih dari limabelas tahun di sini. 

Di tempat saya mengambil kursus ini, hampir tidak pernah mendapatkan perlakuan rasis. Namun tentu saja pernah terjadi juga sedikit 'gesekan' antara saya dan mereka, karena mungkin perbedaan kultur kami. Juga bisa jadi saya dan teman-teman yang baru belajar bahasa Jerman kurang tepat dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam bahasa Jerman. 

Sebenarnya perlakuan rasis yang pernah saya dapatkan terjadi pada sekitar tahun 2016. Ketika itu saya dan suami berwisata ke kita Heidelberg yang cantik. Ketika saya sedang berjalan bersama suami, saya melihat ada seorang wanita kulit putih paruh baya menatap sinis pada saya. Kemudian dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jerman mungkin, bukan bahasa Inggris, yang kedengarannya seperti ujaran kebencian pada saya. 

Saya ingat saat itu saya masih menggunakan jilbab sebagai pelengkap pakaian sehari-hari dulu. Sekarang sejak menetap di Jerman saya sudah tidak menggunakan jilbab lagi. Hanya sesekali saja jika ada keperluan. Peristiwa yang saya alami pada saat itu sepenuhnya juga tidak bisa saya buktikan secara mutlak bahwa itu perlakuan rasis atau cuma perlakuan sinis saja, sebab ketika beliau berceloteh dalam bahasa Jerman pada saya, saya sama sekali tidak paham, karena saat itu saya belum belajar bahasa Jerman. Cuma memang perasaan saya sebagai manusia, mengatakan bahwa itu semacam perilaku rasis pada saya, karena mungkin dia tidak suka dengan orang-orang berjilbab. 

Ada lagi pengalaman lainnya ketika saya dalam perjalanan sendirian tanpa suami mengendarai kereta api dari Hannover menuju Stuttgart. Kala itu saya baru saja selesai mengunjungi seorang teman Indonesia di Hannover selama tiga hari. 

Teman saya ini menikah dengan warga negara Jerman keturunan Turki yang tentu saja beragama Islam. Selama mengunjungi mereka saya memakai jilbab untuk menghormati keluarga tersebut. Sampai pulang menuju Stuttgart, saya tetap menggunakan jilbab. 

Di kereta saya mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan ada kursi kosong di depan pasangan suami isteri  yang mungkin berusia sekitar tujuh puluhan. Saya menyapa mereka dan meminta izin untuk duduk di kursi yang letaknya berhadapan dengan mereka. Mereka kelihatan enggan menjawab sapaan saya dan agak melengos tak mau menatap saya. Pertama saya agak bingung dengan sikap mereka, kemudian baru saya menyadari, mungkin mereka bersikap tidak ramah karena melihat saya memakai jilbab. 

Sepanjang perjalanan Hannover - Stuttgart selama kurang lebih empat jam, saya lihat kedua orang tersebut, beberapa kali melengos setiap kali kami berpapasan pandangan. Terkadang mereka membaca koran atau majalah dengan menutupi wajah mereka di hadapan saya. 

Sesekali mereka berbincang dengan tetap mengarahkan pandangan di antara mereka saja dan menatap keluar jendela di sela-sela perbincangan. Sepertinya ada rasa sedikit takut mungkin melihat penampilan saya yang berjilbab. Saya bersikap santai saja dengan kekakuan dan ketidakramahan mereka pada saya. 

Tiba di stasiun kereta api Stuttgart, saya harus berganti kereta menuju Rottenburg. Tak disangka kami bertemu lagi dalam kereta yang bertujuan sama. Kali ini mereka sudah mengambil posisi duduk jauh dari posisi kursi tempat saya duduk. Saya berpikir itu lebih baik daripada mereka nanti tidak nyaman kembali duduk di dekat saya. 

Dari pengalaman kali inipun saya tidak bisa memastikan secara jelas apakah itu salah satu bentuk perlakuan rasis kepada saya atau tidak. Bisa jadi tabiat mereka berdua memang kurang bisa ramah dengan orang lain, terutama orang asing seoerti saya, bisa jadi juga mereka berhati-hati dalam bersikap terhadap pendatang seperti saya. Apakah yang memakai jilbab di sini lebih rentan terhadap perlakuan rasis? Saya belum bisa memastikan juga, pasalnya teman-teman kursus saya yang berasal dari Suriah, Afghanistan, Irak dan lainnya, banyak yang masih menggunakan jilbab, tapi saya lihat mereka nyaman-nyaman saja. 

Lebih dua tahun lamanya menetap di Jerman, dapat saya katakan bahwa lebih sering saya menjumpai orang yang ramah dan bersahabat daripada orang yang sebaliknya. Dua kali pengalaman di atas yang mungkin bisa dikategorikan sikap rasis penduduk setempat, masih lebih sedikit dibanding pengalaman baik yang saya dapatkan di sini. 

Saya kira orang-orang rasis itu ada di mana-mana, bukan saja di Jerman, di Indonesiapun ada. Tapi pengalaman yang saya dapatkan, lebih banyak orang yang tidak rasis dibanding orang yang rasis. Sayapun sampai saat ini berusaha untuk tidak cepat tersinggung ketika orang tidak bersikap ramah pada saya. 

Apakah ada di antara pembaca yang mengalami perlakuan rasis? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun