Â
Saya heran mengapa rokok tampak selalu akrab dengan kontroversi, mulai dari masalah pergaulan, kesehatan, keuangan hingga yang agak keluar jalur seperti rokok Ibu Mentri Khofifah yang penuh dengan kepulan politis.
Benarkah serumit itu tentang rokok? Sebuah pertanyaan yang seringkali menghasut saya untuk berfilosofi, apakah rokok yang terselip di jari mesti disulut kini, nanti atau justru tidak sama sekali?
Hingga akhirnya di suatu kopi di malam gerhana yang lalu saya mulai tercerahkan.
Malam yang amat biasa. Tak ada yang istimewa. Bahkan fenomena gerhana yang cukup banyak digembar-gemborkan beberapa waktu sebelumnya, tetap tak berhasil mengubah malam tersebut menjadi amat spesial. Yang agak berbeda barangkali cuma satu, yaitu ketika –tahu-tahu- datang seorang teman dari pulau yang dihuni oleh tiga Negara: Kalimantan.
Kami tak banyak membicarakan hal sepele seperti mengapa Jokowi tak segera menjadi Jokowow, dengan kegilaannya merekrut begitu banyak orang gila untuk menghantam mafia gila yang bercokol nyaris di seluruh lapisan yang ada di negeri ini, hanya demi rakyatnya –katanya- bisa tetap waras. Atau celoteh ringan lainnya tentang mimpi masa muda yang mendunia, misalnya, yang kemudian harus berakhir lalu terdampar di kenyataan yang begitu saja, yang kadang tak lebih nyata dari sebuah mimpi.
Yang kami bisingkan hanya betapa dunia yang amat menyebalkan ini, tetap saja bisa membuat kami tertawa, walau entah tawa bahagia atau cuma getir saja.
Sebuah pembicaraan yang amat sederhana, mengingatkan saya akan pengalaman yang tak kalah sederhananya saat merokok di banyak tempat di negeri samar-samar ini, yang entah mengapa ingin saya bagi melalui tulisan. Begini ceritanya…^_
Â
#1. Benarkah Merokok Mengganggu Pergaulan?
Sejak masa sekolah dulu, merokok tak pernah menjadi hambatan untuk bersosialisasi serta mengaktualisasikan diri, tak peduli di kalangan perokok maupun di grup anti asap tembakau. Tetap sama penerimaannya. Tetap sedap dan bergizi.