Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Daerah Berbatu

29 Oktober 2019   04:25 Diperbarui: 29 Oktober 2019   04:45 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu waktu sampailah saya di suatu daerah yang terdapat penambangan batu. Daerah pinggiran Jakarta, dan kebetulan saya sedang berada di sana.

Saya, bahkan mungkin banyak orang lainnya, tidaklah asing dengan benda yang dinamakan batu, apalagi batu sudah dikenal sejak zaman batu (Stones Age) dengan zaman Batu Tua (Old Stone Age; Palaeolithikum), Zaman Batu Tengah (The Middle Stone; Mesolithikum), Zaman Batu Muda/Madya (New Stone Age; Neolithikum), dan Zaman Batu Besar (The Time of Large Stone; Megalithikum).

Karena latar pendidikan bukan Geologi, saya mengenal batu yang mudah saja. Ada batu gunung, batu kali, batu karang, batu mulia, dan lain-lain. Tidak ada kaitannya dengan batu ginjal, kencing batu, dan kepala batu.

Dari sebagian petualangan saya di beberapa daerah dan berkaitan dengan batu sebagai bagian dari struktur bangunan, khususnya fondasi, saya baru mengenal tiga jenis batu. Batu gunung (granit, batolit) ketika di Bangka, tepatnya Sungailiat. Batu kali ketika di Jawa, tepatnya Karanganyar. Batu karang ketika di Timor, tepatnya Kupang.

Di kampung halaman, tepatnya Sri Pemandang Atas, yang berdekatan dengan Kampung Batu, setiap hari saya melihat batu gunung (batolit), baik berukuran bongkahan maupun memanjang (lebih sepuluh meter). Kebetulan rumah orangtua angkat dan kakak kandung saya berada di sana.

Kegiatan pengolahan batu di sana biasa disebut dengan "mentong batu" atau memukul batu (setelah dibakar). Batu-batu raksasa diolah dengan ukuran yang sesuai dengan peruntukan. Ada batu untuk fondasi. Ada pula untuk batu struktur lainnya (cor, split).

Di kampung halaman ibu, tepatnya Dusun Clepor di sebelah timur Karanganyar dan Surakarta, setiap hari saya melihat batu kali di dua sungai yang berada di utara dan selatan dusun. Ada juga di lereng-lereng atau petak sawah dan di sebuah jalan dengan ukuran lumayan besar.

Di Kupang batu karang biasa saya lihat sampai muncul ke permukaan tanah, baik dari pesisir hingga dataran tingginya. Penggalian tanah, baik untuk apa pun itu, tidak terlepas dari keberadaan batu karang.

Nah, belum lama ini saya melihat lagi keberadaan batu kali di pinggiran Jakarta, bahkan masuk ranah penambangan. Sebagian area persawahan bisa beralih fungsi, yaitu tambang batu, yang dilakukan dengan alat berat.

Kondisi yang sangat mendukung pengalihan fungsi tersebut adalah pengadaan air. Tentu saja kondisi tersebut berbeda dengan persawahan di daerah kampung halaman ibu saya.

Sebagian sawah di daerah yang berdekatan dengan sebuah sungai yang lebarnya sekitar 20-30 meter dengan permukaan air yang dangkal itu mengharapkan air dari hujan, karena ketiadaan infrastruktur untuk pengairan. Musim kemarau yang panjang semakin mendukung pengalihan fungsi itu menjadi penambangan batu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun