Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Pertahanan dan Keamanan Kerajaan Sunda

24 Mei 2017   15:08 Diperbarui: 24 Mei 2017   16:26 2351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara maka panggung politik di Jawa Barat didominasi oleh Kerajaan Sunda. Meskipun ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu (setelah berakhirnya Tarumanegara) terdapat dua kekuatan politik yakni Kerajaan Sunda dan Galuh, tetapi sebagian besar ahli sejarah lebih memihak pada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu hanya ada satu kerajaan yakni Kerajaan Sunda dengan ibukota yang selalu berpindah antara Pakuan dan Galuh. Prasasti tertua yang menyebutkan nama Sunda adalah Prasasti Rakyan Juru Pangambat dengan angka tahun 854 C (932 M). Prasasti yang berbahasa Melayu kuna ini ditemukan di Desa Kebon Kopi, Kabupaten Bogor antara lain menyebutkan “...ba(r) pulihkan haji sunda...” artinya”...memulihkan raja sunda...” (Bambang S,1984:91).

Di sisi lain, menurut naskah Carita Parahyangan (CP), Kerajaan Sunda jatuh pada tahun 1579 M akibat serangan dari Kerajaan Cirebon dan Demak. Dengan demikian patut diduga bahwa Kerajaan Sunda telah mampu bertahan selama hampir enam abad (932-1579 M). Hal ini dapat terjadi karena ditunjang oleh berbagai faktor baik intern ataupun ekstern dari kerajaan. Akan tetapi yang jelas bahwa mekanisme dari sistem pemerintahan yang diterapkan setidaknya telah berjalan dengan baik dan tentunya ditopang oleh sistem pertahanan dan keamanan yang mendukung. Mengingat hal di atas menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji bagaimana pola pertahanan dan keamanan yang dikembangkan oleh Kerajaan Sunda sehingga kerajaan tersebut mampu mengeliminasi segala gangguan keamanan dan usaha-usaha untuk menghancurkannya .

Dalam sistim pemerintahan yang berdasarkan pada sistim kerajaan maka kedudukan seorang raja menjadi sangat sentral, yakni pusat kekuasaan tertinggi.  Kekuasaan yang mutlak di tangan seorang raja ini dilegitimasikan dengan dianutnya kepercayaan yang bersifat kosmologi.  Dalam konsep kosmologi ini terdapat satu keyakinan bahwa keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan sebagai gambaran jagat raya dalam bentuk kecil (Nurhadi.M, 1980:445). Hal ini membawa implikasi bahwa kekuasaan seorang raja didapatkan dari restu para dewa dan hyang. Posisi seorang raja merupakan representatif dari wakil dewa dan hyang di dunia yang tentu saja mendapat mandat untuk berkuasa di dunia. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) banyak memuat tentang hal di atas, di antaranya, naskah yang dibuat tahun 1440 C (1518 M) ini menjelaskan tentang kedudukan raja yang berada di bawah para dewa dan hyang. “...mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang...” artinya “...mangkubumi berbakti pada raja, raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang...” (Atja dan Saleh D,1981b:2).

Mengingat bahwa kekuasaan yang dimiliki didapatkan dari restu para dewa dan hyang maka semua potensi kekuasaan dan wewenang seorang raja harus mengikuti kehendak para dewa dan hyang. Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki oleh raja harus digunakan untuk dapat menjamin kemakmuran dan keamanan seluruh rakyatnya.  Apabila kemakmuran dan keamanan seluruh rakyatnya dapat terjamin itu berarti kekuasaan raja berada dalam restu para dewa dan hyang. Sebaliknya timbulnya kekacauan, pemberontakan, kebejatan moral yang semakin merajalela dan bencana alam, semuanya menandakan bahwa restu para dewa dan hyang tidak lama lagi akan terlepas dari raja (Franz M.S,1988:105). Dengan demikan aspek keamanan dan kemakmuran merupakan sebuah syarat yang harus diwujudkan oleh seluruh raja yang berkuasa apabila seorang raja menginginkan kekuasaan mendapatkan restu dari para dewa dan hyang.

Usaha-usaha untuk menciptakan keamanan untuk melindungi kerajaan dan rakyatnya telah pula dilakukan oleh para raja dari Kerajaan Sunda. Hal ini dapat ditemukan pada Prasasti Batu Tulis (1533 M) yang menyebutkan tentang adanya usaha dari Sri Baduga Maharaja untuk melindungi ibukota kerajaan yakni Pakuan dengan cara memaritinya. Prasasti itu berbunyi “...nu nyusuk na pakwan...” artinya “...yang memariti di pakuan...”. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Surawisesa dan diperuntukan bagi mengenang 12 tahun kematian ayahnya yakni Sri Baduga Maharaja dengan menuliskan beberapa usaha yang telah dilakukan oleh ayahnya tersebut ketika memerintah Kerajaan Sunda. Usaha Sri Baduga Maharaja untuk memariti istana Pakuan dapat ditafsirkan sabagai usaha untuk mempertahankan kerajaan dari segala ancaman yang dapat mengganggu kerajaan dan rakyat di Kerajaan Sunda. Makna dari kata “memariti” ini dapat mempunyai arti yang bercabang. Pengertian pertama dari kata “memariti” dapat mempunyai arti kata yang sebenarnya yakni dengan membuat parit/ benteng pertahanan di sekitar ibukota kerajaan, sedangkan pengertian yang kedua dari kata tersebut mempunyai arti “melindungi kerajaan” yang maknanya lebih luas dari sekedar membuat parit pertahanan.

Untuk pengertian yang pertama yakni adanya parit-parit pertahanan di sekitar ibukota kerajaan dapat diketahui dari sumber tertulis berupa naskah dan laporan perjalanan yang menyinggung tentang hal tersebut. Di dalam Naskah Bujangga Manik ( J.Noorduyn,1984:11) misalnya, disebutkan bahwa untuk memasuki istana kerajaan harus membuka pintu gerbangnya terlebih dahulu yang terletak di Sungai Cipakancilan.  Hal ini memberikan gambaran bahwa ibukota kerajaan dikelilingi oleh sebuah benteng pertahanan dan setiap orang yang ingin memasukinya harus melewati pintu gerbang.

Sumber lain yang menyebutkan tentang adanya parit pertahanan berasal dari laporan perjalanan Abraham Van Riebeeck, seorang tentara kompeni, yang melakukan ekspedisi ke reruntuhan Istana Pakuan. Dalam laporannya pada tanggal 17 agustus 1703 M dia menyebutkan sebagai berikut:

Berangkat dari kampung baru jam 07.25, melewati Parakan Baranang Siang tiba 7 menit kemudian. pada jembatan penyeberangan sungai besar (Ciliwung). Mendaki kemudian menurun dan juga melewati jembatan yang disebutkan tadi. Tibalah pada jalan naik kota Pakuan. Naik mendaki sepanjang tanggul yang diapit oleh dua buah parit yang merupakan parit bawah (Saleh D,1983: 19).

Dalam laporan perjalanan selanjutnya tanggal 15 Mei 1704 M, Abraham Van Riebeeck juga menyebutkan tentang adanya parit pertahanan di ibukota kerajaan. “...melintasi sebuah anak sungai yang arus tenang mengalir ke Cisadane lalu melewati sebuah parit yang dalam...setengah jam perjalanan dari sungai tadi, mencapai tanggul atau jalan sempit mendaki dari dataran atas Pakuan.  Pada kedua tepinya diapit oleh parit yang dalam dan mengerikan. Dari benteng yang tinggi atau benteng jawa. Dan disanalah pernah berada istana Pakuan kepunyaan raja Jakarta ratu Pajajaran (ibid).

Pada tahun 1911, Pleyte menulis sebuah laporan yang berjudul Het Jaartal op en Batoe Toelis Nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batu Tulis di dekat Bogor), yang menyebutkan bahwa kampung Batu Tulis sebagai ibukota kerajaan. Ibukota Kerajaan Sunda dikelilingi oleh benteng alam yang berupa tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya dan hanya bagian tenggara batas kota tersebut yang berlahan datar. Pada bagian ini ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk setempat yang diwawancarai oleh Pleyte menyebut sisa benteng sebagai kuta maneuh (ibid,:25).

Pengetian yang kedua dari kata “memariti” yang dapat berarti lebih luas dari sekedar memariti dalam arti kata yang sebenarnya, yakni melindungi kerajaan dan seluruh rakyatnya dari segala bahaya yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kerajaan. Naskah CP menyebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja mampu memimpin kerajaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun