Mohon tunggu...
Agung Dwi
Agung Dwi Mohon Tunggu... Editor - When the night has come

Menulis - Menyunting - Mengunggah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Masih "Merubah"?

22 Agustus 2017   10:25 Diperbarui: 22 Agustus 2017   13:58 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan berita yang saya cari di mesin pencari hari ini (22 Agustus 2017). Masih banyak media daring besar yang alpa menggunakan kata

"Tuhan tidak merobah nasibnya suatu bangsa, sebelum bangsa itu merobah nasibnya" (Bung Karno - Pidato HUT Proklamasi, 1964).

Kita bisa juga cek di teks yang lebih tua. Misalkan dalam kutipan di bawah ini.

"maka vakcentraale Persatoean Perkoempoelan Kaoem Boeroehberikhtiar mendapatkan kekoeasaan boeat meroebahperi penghidoepan itoe dengan melaloei djalan kodratnja sendiri." (Soerjopranoto dalam kongres CSI IV di Surabaya Oktober-November 1919).

Hingga kini, kata "merubah" muncul karena peninggalan zaman dulu dan terus-menerus digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Lantaran sering digunakan, secara alam bawah sadar kita menganggap "merubah" itu benar. Padahal, sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang mengajarkan dalam bahasa Indonesia bahwa "merubah" adalah bentuk salah atau tidak baku dari kata "mengubah".

Tidak mungkin kan kita terus-menerus "menjadi rubah" (arti sebenarnya "merubah" secara pembentukan kata meN+rubah). Mari kita perbaiki penggunaan bahasa Indonesia dari hal-hal kecil, seperti tidak lagi menggunakan "merubah" dan diganti "mengubah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun