Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Indonesia Belum Raih Nobel?

29 Mei 2013   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:51 8594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_256602" align="alignnone" width="576" caption="Hadiah Nobel. Dua politikus dunia yang baru-baru ini mendapatkannya adalah Barack Obama dan Aung San Suu Kyi."][/caption]

Beberapa bulan lagi dunia akan kembali menyambut para peraih Nobel 2013. Nobel Foundation sebagai penyelia program apresiasi bidang fisika, kimia, fisiologi, kedokteran, ekonomi dan perdamaian itu akan mulai melansir nama-nama peraih Nobel pada 7 Oktober nanti dilanjutkan penyerahan hadiah pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan 117 tahun kematian penggagasnya, Alfred Nobel.

Tahun lalu ada beberapa catatan tentang penganugerahan Nobel, semisal penobatan Uni Eropa sebagai peraih Nobel Perdamaian dalam perannya membangun situasi damai di belasan negara teritorialnya pasca-Perang Dunia II. Lalu ada cerita Mo Yan yang memenangkan Nobel Sastra 2012 meski dirinya dianggap sebagai bagian dari sayap kiri yang menentang banyak kebijakan pemerintah Cina, memperpanjang kisah masa lalu yang menggugat pemberian Nobel Perdamaian untuk tahanan Liu Xiaobo dan pemimpin masyarakat pengasingan Tibet, Dalai Lama. Tahun-tahun sebelumnya ada nama kontroversial seperti tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi dan presiden keturunan Amerika-Afrika pertama Amerika Serikat  Barack Obama.

Tahun ini terkirim lebih dari 3.000 surat kepada para tokoh yang dinilai layak masuk nominasi penerima hadiah Nobel. Angka itu termasuk 259 kandidat peraih Nobel Perdamaian 2013. Satu yang yang paling difavoritkan sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun ini adalah Malala Yousafzai. Murid sekolah dasar asal Pakistan yang pada September lalu ditembak di kepala oleh kelompok Taliban dan selamat setelah perawatan di Inggris.

Malala, 14 tahun, tercatat sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian termuda. Kristian Berg-Harpviken, direktur Peace Institute di Oslo mengunggulkan Malala sebagai peraih lantaran kisah perjuangan gadis yang masih berusia 9 tahun itu membela kaumnya: perempuan dan anak-anak, dan menyebutnya sebagai “keajaiban kemanusiaan”. Malala akan bersaing dengan Bradley Manning, seorang prajurit AS yang mengakui telah membocorkan ratusan kawat diplomasi rahasia pemerintahan kepada situs Wikileaks.

Beberapa negara mencatat lebih dari 100 warga negaranya berhasil mendapatkan hadiah Nobel. Yang terbanyak masih dipegang Amerika Serikat, yakni sebanyak 338 Nobel sejak zaman Theodore Roosevelt. Disusul Inggris Raya dan beberapa negara Eropa lainnya serta Amerika Latin. Di Asia, Cina memimpin raihan hadiah Nobel dengan 9 penghargaan. Asia Tenggara, Myanmar (Birma) dan Vietnam tiap-tiapnya mencatat 1 Nobel.

Indonesia Kapan?

Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua proses pandang. Pada tahun 1924, ilmuwan Willem Withoven meraih Nobel bidang Fisiologi dan tercatat kenegaraannya sebagai Hindia-Belanda. Pun laman Wikipedia yang merangkum nama-nama peraih hadiah Nobel berdasarkan negara mencatat nama Withoven sebagai satu-satunya penerima dari Indonesia. Pada Mei 1860 Withoven lahir di Surabaya yang dulu bagian dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda, meskipun menghabiskan masa dewasa hingga akhir hayatnya di Leiden, Belanda. Ayahnya seorang dokter dan ibunya adalah bagian kelompok kerja yang membawahi banyak pekerja Jawa dan Madura. Kisah Withoven tak banyak dikenal.

Kisah Nobel dan Indonesia lain terjadi pada saat Uskup Gereja Katolik Dili Carlos Filipe Ximenes Belo beserta José Ramos-Horta menerima hadiah Nobel Perdamaian pada 1996. Uskup Belo lantas jadi kontroversi karena saat itu ia tercatat sebagai warga Timor-timur yang adalah bagian dari negara Indonesia. Timor-timur baru melakukan referendum pemisahan dari NKRI pada 1999 yang lantas disetujui oleh presiden waktu itu, B.J. Habibie. Uskup Belo dan Ramos-Horta dinilai berperan aktif dalam referendum itu hingga akhirnya negara baru mereka Timor Leste resmi berdiri pada 2002. Beberapa tokoh Indonesia, termasuk sastrawan Goenawan Muhammad dan pengamat politik Fadjroel Rahman menganggap Uskup Belo tokoh gerakan kemanusiaan yang berpendirian kuat.

Nama Uskup Belo dulu sering disejajarkan dengan sastrawan, mendiang Pramoedya Ananta Toer. Pram hingga saat ini dikenal sebagai tokoh Indonesia yang kehidupannya paling dekat dengan Nobel.

Sejak 1996 Pram berkali-kali dinominasikan sebagai kandidat peraih Nobel Sastra, berkat perannya di dalam membangun cerita kemanusiaan lewat jalur kepenulisan. Kisah pertentangannya dengan pemerintah, celetuk-celetuk satire-nya soal pembengkokan sejarah, hingga visinya membawa nama Indonesia ke kancah dunia membuat Pram dinilai pantas meraih Nobel. Tapi fakta berbicara lain. Penghargaan tertinggi Pram yang dikenal di antaranya “hanya” Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature and Creative Communication Arts (1995)  dan Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France (2000).

Sudut pandang sejarah (1) memang mencatat keterlibatan Indonesia dalam peraihan hadiah Nobel melalui beberapa tokoh. Meski di sudut pandang lain (2) secara konkret belum ada warga negara yang pulang dan meletakkan hadiah itu di Tanah Air.

Belum aktif

Harus diakui bahwa Indonesia belum seaktif banyak negara Eropa dan Cina dalam mengajukan calon kandidat peraih Nobel. Selain itu, daftar pengajuan yang secara resmi banyak diajukan kepada lembaga riset Nobel Foundation yang tersebar di banyak regional sering kali sudah penuh ratusan bahkan ribuan nama di tahun sebelum penentuan kandidat. Begitu pula saat Pram dinominasikan berkali-kali untuk kategori Sastra. Beberapa opin berhembus bahwa posisi pemerintah saat itu bingung antara mau mendukung keterpilihan Pram ataukah membincangkan pemberontakan masa lalu yang memosisikan sang tokoh kandidat pada baris pemberontak sejarah bangsa.

[caption id="" align="alignright" width="225" caption="Septinus George Saa (dispresi.wordpress.com)"]

Septinus George Saa (dispresi.wordpress.com)
Septinus George Saa (dispresi.wordpress.com)
[/caption] Angin segar baru terhembus saat Septinus George Saa, matematikawan remaja asal Maluku Manokwari, berhasil meraih penghargaanFirst Step to Nobel in Physics” lewat Olimpiade Fisika tahun 2004 di Polandia. Namanya lantas dimasukkan ke dalam daftar “siswa internasional” yang memiliki akses penuh ke banyak beasiswa luar negeri termasuk para profesor penasihat Nobel. Tentu saja membanggakan. Meski demikian, titel ‘nobel’ dalam penghargaan itu tentunya bukan berasal dari yayasan di Oslo ataupun Swedia.

Fisikawan Indonesia Profesor Yohanes Surya, Ph.D., mentor George Saa pernah menuliskan, statistik mencatat sejak 1961 para peraih hadiah Nobel rata-rata adalah murid atau mantan murid dari para peraih Nobel sebelumnya. Para peraih Nobel itu kemudian dijadikan guru, tempat belajar dan menimba ilmu. Meski pada praktiknya semua proses itu tidak semata-mata ditujukan untuk mengincar hadiah Nobel, peluang terbesar bisa tercipta di sana: di Amerika, di Eropa.

Yohanes yang punya mimpi Indonesia meraih Nobel pada 2020 ini mengklaim saat ini melalui beberapa program kerjasama pemerintah-kampus pihaknya berhasil mengirim beberapa siswa Indonesia untuk belajar kepada para peraih nobel. Di laman resminya ia mencatat beberapa nama yang hingga saat ini tengah menempuh proses belajar di kampus-kampus top dunia. Siswa-siswi tersebut di antaranya Widagdo Setiawan di Massachussets Institute of Technology (belajar pada Wolfgang Keterlee, peraih Nobel Fisika 2001), Oki Gunawan di Princeton University (pernah jadi murid Daniel Tsui, peraih Nobel Fisika 1998), dan Rizal Fajar yang pernah mengajar di Caltech, dan satu kelasnya sempat dihadiri oleh satu dari tiga peraih Nobel Fisika 2004.

Optimisme Indonesia dan Nobel saat ini masih terbendung di kalangan akademisi dan peneliti kampus. Jarang terdengar kabar proses pembelajaran para periset keilmuan kita yang kiprahnya banyak dikenal di luar negeri. Di samping pemerintah juga terkesan belum serius menyiapkan warganya untuk mendapat pengakuan lebih  banyak di luar negeri (selain presidennya, tentu saja), masyarakat Indonesia juga belum akrab dengan Nobel.

Kita juga masih berkutat dengan gejala sosial yang masih belum punya tenggang rasa penghargaan yang baik bagi sesama kolega. Budaya penghargaan kita belum sebaik negara-negara para peraih Nobel itu memang.

Kalau kita ingin ada orang Indonesia “asli” meraih Nobel, kiranya bisa memulai dengan menghargai orang-orang di dalam negeri dulu. Saat ini, biaya riset Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia. Anggaran yang nilai totalnya hanya 0,15 persen dari total PDB sangat jauh dari cukup untuk melahirkan inovasi-inovasi di bidang keilmuan dan teknologi. Komisi Inovasi Nasional (KIN) pada Desember lalu menyatakan pihaknya melalui kerjasama Dewan Riset Nasional mengajukan anggaran riset Sains, Teknologi dan Inovasi Indonesia harus naik jadi minimal 1 persen, atau setara dengan Rp 20 trilyun. Itupun, jika dimaksimalkan, masih jauh dari perjalanan meraih Nobel.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun