Mohon tunggu...
Affa 88
Affa 88 Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Siapa Bilang Rasisme Sepakbola sebagai Bumbu Penyedap?

11 April 2011   04:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1302496182548702742

Adik teman saya yang baru kelas 3 SD tiba-tiba menyanyikan yel-yel suporter klub sepakbola nasional yang biasanya diteriakkan oleh kelompok suporter dalam mendukung klub lokal kesayangannya, seperti The Jakmania mendukung Persija Jakarta, Viking mendukung Persib Bandung, Aremania mendukung Arema Indonesia, Bonekmania mendukung Persebaya Surabaya dan Pasoepati mendukung Persis Solo. Padahal, dia biasanya menyanyikan lagu-lagu pop terkini dan qasidah, namun kali ini suara yang keluar dari mulutnya adalah teriakan suporter yang biasa dia tonton di televisi dalam siaran langsung Liga Indonesia. Awalnya, yang saya dengar adalah lagu-lagu penyemangat, tetapi kemudian lagu-lagu yang bernada (kata) kotor yang tidak pantas dikatakan oleh anak sebelia dia (dan sebenarnya juga segala usia).

Meskipun tak lama kemudian saya menegur keras ulah adik teman saya ini, bagi saya sendiri, kejadian ini adalah sebuah peristiwa yang kelewatan. Kata-kata kotor bernada mengejek dan mencela pihak-pihak tertentu atau suporter klub lain yang sering kita dengar pada yel-yel suporter sepakbola Liga Indonesia beberapa tahun terakhir ternyata telah mewabah kepada anak-anak usia dini. Bagi pencinta sepakbola, mungkin sudah lumrah, namun bagi orang awan, nyanyian seperti itu sangat tidak etis dan sangat jauh dari hakikat sepakbola pada umumnya yang menjadi hiburan bagi masyarakat.

Itulah yang sering disebut Rasisme dalam sepakbola. Di Eropa, kejadian rasisme berbeda dengan di Indonesia. Jika di surganya sepakbola itu, rasisme menyangkut isu perbedaan kulit (kulit putih dan kulit hitam) seperti yang muncul pada era pergerakan di Afrika Selatan. Sedangkan di Indonesia, rasisme lebih dikaitkan dengan perselisihan antar suporter lokal. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu. Dalam Singa Mania Cyber dituliskan bahwa, rasisme pada intinya adalah mengganggap suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak ketimbang suatu ras/kaum yang lain. Sekarang rasismepun mengalami penambahan kata, yaitu menunjukkan kelompok etnis tertentu (etnosentris), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).

Rasisme dalam sepakbola Indonesia seperti nyanyian mengejek dan mencela suporter klub lain (bahkan meskipun yang sedang bertanding bukan klub yang dimaksud) seharusnya ditendang sejauh-jauhnya. Hal ini senada dengan Statuta FIFA yang mengakui bahwa peranan olahraga, khususnya sepakbola adalah sangat besar, diantaranya adalah mempersatukan umat manusia, sebagai sarana pertukaran kebudayaan, media untuk mengkampanyekan aspek kemanusiaan dan aspek pendidikan. Oleh karena itu Rasisme, dalam bentuk apapun mengingkari nilai-nilai dan tujuan yang terkandung dalam pasal 2 statuta FIFA. Jadi, para penggemar sepakbola perlu menyerukan : “LET US KICK RACISM OUT OF FOOTBALL”

Seorang Michel Platini, Presiden UEFA telah mengenalkan program egaliterisme dalam dunia sepakbola. Di mana masing-masing individu memiliki hak yang sama. Implementasi dari hal ini adalah setiap individu berhak menonton, menikmati atau sekedar berkiprah dalam dunia sepakbola tanpa adanya gangguan yang bersifat diskriminasi rasial ataupun perbedaan gender (Gender Difference).

Sebagai seorang suporter, saya selalu mengeluhkan adanya rasisme seperti itu. Dampak yang terjadi selain mempengaruhi psikologis suporter itu sendiri, pemirsa siaran televisi pun akan terkena imbas nyanyian rasis seperti itu. Selain itu, aksi demikian memicu sikap emosional bagi pihak yang dirugikan dan bisa jadi menimbulkan bentrokan atau tawuran. Sudah banyak korban baik jiwa maupun infrastruktur akibat kerusuhan suporter karena dipicu oleh saling ejek dan sikap rasisme tersebut.

Lagu-lagu rasis yang menjurus ke sebuah lagu hujatan, timbul karena adanya persaingan sebuah kelompok suporter. Setiap kelompok suporter mengaku bahwa kelompok suporternyalah yang paling baik, sebaliknya memandang kelompok suporter lain sebagai suporter yang bercitra buruk. Sebenarnya sah-sah saja jika terdapat seorang suporter mengagung-agungkan nama kelompok suporternya sendiri, karena itu juga berarti sebuah kebanggaan. Namun tidak menjadi sah jika kemudian seorang suporter tersebut menilai bahwa kelompok suporter lain bernilai buruk tanpa sebuah analisa yang cermat dan tepat.

Dangkal rasanya kalau ada yang berpikiran bahwa anarkisme dan rasisme yang terjadi pada supporter Indonesia tersebut dianggap sebagai sebuah bumbu penyedap, sebuah hal yang unik, nyeni, menambah greget dalam persepakbolaan tanah air. Hal ini bukannya meningkatkan prestasi, justru menimbulkan dampak jangka panjang yang memprihatinkan (bagi anak-anak).

Begitu besarnya akibat yang buruk bagi persepakbolaan nasional, sudah seharusnya rasisme di Indonesia yang melibatkan suporter dihentikan. Menjadi suporter yang profesional dengan menikmati hiburan berupa sepakbola tanpa melakukan perbuatan rasis juga sudah ditunjukan oleh suporter timnas Indonesia yang memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno dalam laga timnas. Karena suporter timnas dengan bangga membawa baju merah putih dan syalnya menyanyikan lagu penyemangat tanpa campuran nyanyian ‘racun’ yang justru kadang merugikan tim yang didukungnya. Bisa dibayangkan jika kata-kata kotor didengungkan keras sepanjang stadion, akan menyebabkan psikis pemain menjadi terpengaruh dan kemudian mengakibatkan tindakan yang tidak diinginkan oleh pemain. Tentu ini sangat disayangkan karena dapat membuat malu nama kelompok suporternya sendiri, selain dapat memperkeruh hubungan antar suporter, tidak enak didengarkan dan juga tidak mendidik bagi suporter yang masih berusia dini.

Seperti adik teman saya, sepakbola adalah olahraga yang diminati oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Apa yang terjadi pada suporter, yang dianggap sebagai sosok keren oleh anak-anak, akan mudah ditiru begitu saja oleh generasi masa depan tersebut tanpa mengetahui sebab musabab bagaimana hal itu terjadi. Doktrin orang-orang dewasa di sekitarnya pun turut memperparah keadaan. Miris melihat dengan begitu mudahnya anak-anak menyanyikan yel-yel ala suporter di stadion, atau berlaku urakan. Apakah kemelut antar suporter yang sekarang terjadi harus diwariskan pada generasi berikut, anak cucu kita kelak?

Fanatisme dan loyalitas sebagai pendukung sebuah klub bukan sebuah hal buruk, namun harus didasari oleh kebenaran, agar tidak menimbulkan rasisme dan anarkisme. Jadi, bagi para suporter klub manapun di Indonesia, marilah kita ciptakan lagu-lagu fresh penyemangat tim tanpa embel-embel rasis. Jadikan tontonan sepakbola menjadi menarik dengan tensi yang hangat dengan lagu-lagu penyemangat itu. Sudah selayaknya tontonan Liga Indonesia sehangat Piala Asia yang mempertandingkan timnas Indonesia. Karena sesama suporter adalah saudara, karena seorang adik teman juga adalah saudara, dan JANGAN cuma karena bola, kita perang saudara..

Salam Damai, Salam Satu Hati, Salam Edan Tapi Mapan..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun