Jalan pintas itu bernama Referensi , adalah sebuah kabar gembira meneruskan bacaan selanjutnya dengan memiliki dasar refrensi dari para pembaca sebelumnya, baik itu berupa teks ataupun hasil cipta karya. Akan tetapi referensi tetap harus dibaca dengan kewaspadaan dan kewaskitaan agar yang terbaca bukanlah simbolisasinya melainkan nilai subtansinya. Pembacaan simbol berkemungkinan menghasilkan kepadatan yang kaku dan cenderung tak bernilai. Perlu difahami bahwa ada beberapa lapisan untuk benar-benar memahami sebuah nilai yang dituliskan dan dinyatakan dalam bentuk karya oleh seorang pembaca dari hasil bacaanya. Salah satu contoh pada masyarakat sunda dan jawa ada setidaknya ada tujuh lapisan dalam memahami hasil cipta karya kebudayaan leluhur yaitu Sindir, Sampir, Sandi, Silib, Siloka, Sasmitha, dan Sunyata sedang dalam kebudayaan barat ada empat yaitu Icon, Index, Code, Symbol. Selain lapisan-lapisan tersebut perlu diperhatikan juga diaektika kontekstual yang melatar belakanginya, dan yang demikian diatas itu perlu agar ketika bacaan dari referensi masuk ketahap laku, si pembaca tidak melempar senyum kepada orang yang lapar, meskipun senyum adalah sedekah.
Waskita
Disini penulis memilih tafsir Waskita adalah Kewaspadaan yang berasal dari pandangan Mata Hati. Kenapa Mata Hati, tidak lain karena hati lah yang memiliki kemampuan merasakan apa-apa yang tak mampu diungkapkan panca indra karena kemampuan panca indra memang terbatas. Hati juga mampu memproses lebih dari satu lipatan logika bahkan bisa memproses lebih dari satu lipatan rasa seperti benci tapi rindu dan seterusnya dan sebagainya. Adapun kewaskitaan ini adalah dampak dari latihan secara terus menerus dari hasil bacaan kedalam diri dan keluar, kemudian kedalam, keluar lagi, lalu kedalam dan seterusnya.Bacaan kedalam membuat si pembaca mengerti unsur-unsur diri baik yang fisik maupun non fisik, juga mengerti batasan kemampuan, mengerti  Bacaan kedalam menjadi salah satu penentu penting dalam merumuskan tindak dan laku serta cipta dan karya para pembaca. Bacaan ke dalam membuat kita tahu garis batas antara kebutuhan dasar dan pelampiasan. Bacaan keluar membuat pembaca mengerti hak-hak apa apa yang ada diluar diri pembaca, kemudian dengan menenggelamkan kembali kedalam, pembaca bisa merasakan simpati dan empati serta permakluman sehingga sasaran-sasaran cipta karya yang merupakan pengejawantahkan hasil bacaan, benar-benar berada pada presisi terbaik dalam kemanfaatan dan kemudahan bagi segenap alam, tanpa mendasarkan pada ego, untung dan rugi, kalah -- menang, dan seterusnya dan sebagainya. Dan dengan ke-waskita-an ini seorang pembaca memiliki legitimasi untuk berdaya cipta serta berdialektika mewujudkan kemanfaatan berdasakan hasil bacaanya.
Keterasingan Para Pembaca
Masuk kedalam golongan para pembaca sehingga memiliki kemampuan untuk tidak melulu tahu dengan diberi tahu, menjadi mengerti makna dan arti rahasia-rahasia yang baginya bukan rahasia lagi, bahkan menciptakan anomali dari hasil dialektika pembacaan alam, mendapati diri memiliki tugas dan tanggung jawab, penyalamatan, mempelopori, mengungkapkan, melayani, mendampingi, mengasuh, menjaga peresisi agar tidak keluar dari keproposionalan keadilan, bukanlah hal ringan namun tidak adil juga bila disebut berat terlebih bila dilakukan bersama-sama. Adapun sesekali merasa terasing karena harus melakukan penyesuaian antara pilihan kata dan laku serta daya cipta dengan keselarasan konteks penerima hasil bacaan adalah dialektika permainan yang mengasyikan. Dalam salah satu episode Kenduri Cinta Mbah Nun pernah terdengar sedikit Curcol " Ketika saya bilang Energi yang muncul dibenak pendengar adalah Listrik, pas saya bilang Cahaya yang muncul dipikiranmu Lampu bohlam, oke..oke... Malaikat!!! yang digambarkan sesosok berpakaian serba putih dan bersayap... iki yoo opooo".... begitu kurang lebih yang saya ingat... heheheee..... Penyderhanaan hasil bacaan sendiri memerlukan pemetaan yang matang, dan karena disederhanakan maka penguraian lipatan lipatan tersembunyi kompleksitasnya membutuhkan stamina, nafas panjang, kesabaran, keuletan, bahkan dibutuhkan juga selingan selingan hiburan untuk menetralisir kebosanan dan kemutungan.
Ber Silmi-Silmi Ria menghadap Kiblat
Terus berproses membaca dan mengolah hasil bacaan akhirnya harus di Ejawantahkan semampu-mampunya, pertanyaanya adalah mulai dari mana? Tentu saja dari peran yang masing-masing kita sandang, seperti peran Sebagai Ayah, Peran sebagai Ibu, Peran sebagai Anak, Ataupun peran-peran lain dalam keluarga. Juga peran ditengah masyarakat seperti Peran sebagai Pemimpin, Pejabat, Pedagang, Pengusaha, Karyawan, Buruh dst dsb. Peran-Peran tersebut masing-masing memiliki keharusan, seharusnya bagaimana tentunya seorang pembaca bisa menemukan kiblat-kiblat dari masing-masing peran. Dan karena Anda adalah pembaca maka menemukan momentum kreativitas serta inisiatif dalam sublimasi peradaban bukan juga hal yang harus saya dengungkan disini. Dan dengan ber silmi-silmi ria menghadap kiblat anda ikut serta dalam Gerilya.
" jangan remehkan sebuah huruf karena ia mampu membuat sepatah kata, jangan remehkan sepatah kata karena ia bisa menyusun sepotong kalimat, jangan remehkan sepotong kalimat karena ia berdaya menjadi sebuah karya, jangan terburu-buru menilai sebuah karya karena mungkin yang kau tangkap belumlah RUHnya "