Mohon tunggu...
Achmed Sukendro
Achmed Sukendro Mohon Tunggu... TNI -

Membaca Menambah Wawasan, Menulis Berbagi Wawasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Poligami Pejabat Negara: Keluhan Para "Centeng"

4 Januari 2014   00:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Poligami adalah urusan pribadi bukan politik. Benar, saya yang buta dan tidak tahu politikpun tahulah. Poligami tidak melanggar syari'at. Sangat Benar, saya yang Muslim awam dalam arti bukan jebolan pondok pesantren maupun sarjana agama, juga faham. Meski pemahaman yang diberikan oleh guru ngaji saya, Poligami itu bukan perintah Tuhan atau kewajiban, bukan keringanan, namun Kebolehan, kebolehan dengan syarat-syarat tertentu.Kebolehan adalah suatu kelonggaran bagi manusia yang diberikan oleh Allah karena situasi, dan kondisi baik dalam diri manusia maupun situasi dan kondisi diluar manusia atau karena lingkungan. Sebagai Laki-laki dan Muslim tentu saya tidak dalam posisi menentang poligami. Kalau sampai saat ini saya tidak eh belum berpoligami hehehhehhe bukan karena termasuk kelompok penentang poligami namun karena ada aturan yang mengikat saya untuk tidak boleh berpoligami kecuali memenuhi aturan-aturan perkecualian dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Dari sisi kepegawaian(baca aparatur negara) justru saya termasuk orang yang menyetujui aturan di institusi saya bekerja, melarang poligami. Saya sangat setuju aturan larangan poligami bagi pegawai negeri yang dibuat pada era Orde Baru, mengapa? Mari saya ceritakan kisah nyata keluhan beberapa senior saya yang menjadi "centeng" pejabat negara yang kebetulan punya istri lebih dari satu.

Cerita ini bukan dalam konteks membuka rahasia, karena para"centeng" jelas telah disumpah untuk menjaga rahasia sekeras-kerasnya. Ini hanya keluhan atau curhatan kepada kawan atau koleganya. Alkisah, Kangmas(begitu kami harus memanggil orang yang lebih dulu menjadi "centeng)  X, mendapat kepercayaan yang luar biasa setelah melalui seleksi yang sangat ketat, untuk menjadi "centeng" bagi tuannya yaitu pejabat tinggi negara, Maha Patih di negeri ini yang kebetulan punya istri lebih dari satu. Sebagai "centeng" Kangmas X bertugas melayani sekaligus mengawal sang Maha Patih dalam menunaikan tugasnya mengurus negara.Seberat apapun tugasnya, bagi para "centeng" itu hal yang biasa bahkan merupakan suatu kebanggaan karena tidak semua "centeng" di negeri ini bisa menjadi"centeng" Raja atau Maha Patih.Semua tugas dikerjakan tanpa keluhan. Namun kali ini Kangmas X curhat setengah mengeluh pada saya : " Dik..pusing aku kalau caranya begini. Mengawal Bapak kadang serba salah, misalnya pas perjalanan pulang ke kediaman tiba-tiba Bapak minta belok menuju Bogor mau ke kediaman istri kedua, ditengah jalan ditelepon ibu pertama, disuruh bohong , masih ada acara ke mana githu?. Jumlah "centeng" yang dikerahkan juga harus lebih banyak ,karena istri lebih satu , anak-anaknya juga banyak. Belum lagi "centeng" jadi sasaran protes ibu pertama atau kedua kalau tidak adil dalam membagi acara misalnya,meresmikan A, ibu pertama, kok meresmikan B ,ibu pertama lagi, nah ibu ke dua, protes. Banyak persoalan-persoalan lain yang sebenarnya kecil dan remeh, menjadi urusan kita. Jawab saya ya hanya sekedar: Sabar Mas".....

Benar juga para pendahulu yang membuat aturan larangan poligami bagi pegawai negeri. Bila orang yang berpoligami itu pejabat negara, tentu merepotkan seperti keluhan Kangmas saya, belum fasilitas yang disediakan negara jelas lebih boros dibanding bila hanya beristri satu. Kalau kegiatan kenegaraan dilakasanakan diluar Jakarta dan menginap, anda bisa prediksi pasti pengeluaran negara lebih dibanding jika hanya satu pendamping.Jika peran istri mendukung suami dalam melaksanakan tugas negara seperti Dharma Wanita, tidak perlu lebih dari satu, selama ini kegiatan dukungan istri dalam kegiatan tugas kenegaraan cukup satu, sudah jalan. Para pendahulu yang membuat aturan larangan poligami bagi pegawai negeri pasti sudah memikirkan dan menghitung semua manfaat dan kerugian/Mudharat nya bagi institusi jika pegawai negri dibiarkan bebas berpoligami. Yang menjadi pertanyaan barangkali, Pejabat Negara Berpoligami, Apa Manfaatnya Buat Rakyat?. Kalau janji atau sumpahnya mengabdi untuk kepentingan rakyat, dari sisi mana manfaat poligami bagi pejabat negara?

Kerugian atau kemudharatan poligami bagi institusi, dapat dicegah dengan peraturan larangan poligami bagi pegawai negeri. Bagi Pegawai atau pejabat negara yang memperoleh kedudukan melalui politik bukan karier atau jalur reguler, bagaimana? Rakyatlah yang akan menentukan. Jawaban Sabar yang saya berikan sama para"centeng" karena memang "Centeng" tidak punya hak memilih dan dipilih, hanya menerima tugas yang dibebankan kepadanya. Rakyatlah yang menentukan pilihan. Rakyat sudah pintar memilih dan berpengalaman bagaimana memilih pemimpinnya yang otomatis menjadi pejabat negara,bisa memberi manfaat atau hanya membuat kerugian.

Sekali lagi,Poligami adalah urusan pribadi bukan politik, tidak melanggar aturan agama. Namun kalau sudah bicara Pejabat Negara,lain persoalan. Tidak perlu memperdebatkan tentang poligami karena urusan pribadi dan tidak melanggar aturan agama, namun jika sudah menyangkut kekuasan, jabatan dimana pejabat adalah wakil, pemegang amanah rakyat, mari kita bertanya dan berdebat, Poligami Pejabat Negara, Apa Manfaatnya buat Rakyat?. Selamat bertanya, selamat berdebat. Saya tidak ikut-ikutan hehehhehhe..karena saya belum berminat untuk poligami meski tidak munafik sebagai laki-laki dan tidak melanggar aturan agama..berminat juga hahhahahhaha. Saya juga belum berminat menjadi pejabat negara, karena saya masih mahasiswa yang harus segera menyelesaikan kuliah hehhehehhe.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun