Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Untung Surapati] Budak, Cinta, dan Penjara

3 September 2019   03:17 Diperbarui: 3 September 2019   03:35 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher 

MEMBICARAKAN mengenai asal-usul Untung Surapati (Surawiraaji) tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Bali. Sejarah dari suatu pulau di Indonesia yang terletak di sebelah timur pulau Jawa dan dikenal dengan Pulau Dewata. Dikatakan Pulau Dewata, dikarenakan sebagian besar penduduk pulau tersebut memeluk agama Hindu. Selain itu, pulau tersebut dikenal dengan keelokan alamnya.

Diketahui bahwa sebelum menjadi wilayah Indonesia, Bali semula berstatus sebagai kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan Dharmodayana pada abad ke-10. Di masa pemerintahan Dharmodayana itulah, Bali menjalin hubungan persahabatan dengan Medang (Jawa Timur) melalui perkawinan politik antara Udayana dan Mahendradatta (putri  Makuthawangsawardhana).

Paska pemerintahan Dharmodayana, Bali mengalami masa surut. Semasa pemerintahan Kertanagara (1254-1292), Bali merupakan jajahan Singhasari. Di masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350), Bali menjadi wilayah kekuasaan Majapahit pada tahun 1343.

Semasa Bali dikuasai oleh Sri Kresna Kepakisan -- raja vassal yang ditunjuk Tribhuwana -- terjadi pemberontakan kaum Bali Aga. Akibat pemberontakan tersebut, Sri Kresna Kepakisan yang merupakan orang Bali Majapahit itu bermaksud menyerahkan tahta kekuasaan pada Tribhuwana. Sri Kresna Kepakisan tidak ingin melihat pertumpahan darah yang ditimbulkan perang antara orang Bali Aga dan orang Bali Majapahit.

Menanggapi ,maksud Sri Kresna Kepakisan yang akan menyerahkan tahta kekuasaan di Bali, Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada tidak sepakat. Karenanya Gajah Mada memberikan saran kepada Sri Kresna Kepakisan untuk merangkul kaum Bali Aga dengan memelajari budayanya.

Saran Gajah Mada itu diterima oleh Sri Kresna Kepakisan. Maka langkah-langkah yang harus Sri Kresna Kepakisan tempuh, yakni: pertama, melakukan sembahyang di pura Besakih yang dimuliakan kaum Aga. Kedua, mengadakan upacara kremasi untuk menghormati raja dan para bangsawan Bali yang gugur dalam invasi Majapahit. Ketiga, memuliakan mendiang para bangsawan Bali sebagai leluhur. Keempat, merekrut kaum Aga dalam pemerintahan.

Sejak Sri Kresna Kepakisan melaksanakan pendekatan politis dengan kaum Aga, Bali berangsur-angsur aman. Kaum Aga dan Kaum  Majapahit hidup dalam kerukunan hingga terjadilah pernikahan campuran dari kedua kaum tersebut. Persatuan dan kesejahteraaan warga Bali pun tercipta.

Semasa Majapahit jatuh di tangan Kesultanan Demak pada tahun 1527, Bali justru mencapai kejayaan. Dikarenakan imigran dari Jawa yang tidak mengakui kekuasaan Demak tersebut justru memerkaya ide dan seni budaya di Bali. Tokoh-tokoh dengan ide cemerlang kemudian bermunculan. Salah seorang dari mereka adalah Raja Dalem Waturenggong yang mengutamakan persatuan. Di masa pemerintahan Waturenggong yang diembani oleh Mahapatih Ularan (seorang Aga keturunan Ki Pasung Grigis), kekuasaan Bali meliputi Blambangan, Lombok, dan Sumbawa.

Paska pemerintahan Raja Dalem Waturenggong, Bali mengalami masa surut. Keturunan Waturenggong tidak cakap dalam mengelola pemerintahan. Akibatnya banyak daerah koloni melepaskan diri satu persatu. Hingga pada tahun 1639, Bali sempat diserang oleh Sultan Agung dari Mataram. Namun invasi dari Mataram itu berhasil dipukul mundur oleh Patih Jelantik Bogol di pantai Kuta.

Pada abad ke-17, Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan terbesar pecahan Bali adalah Buleleng. Suatu kerajaan dengan ibukota di Singaraja dan di bawah kekuasaan Ki Barak Panji Sakti (Patih Jelantik). Melalui Panji Sakti, serangan Mataram ke Bali berhsil dicegah. Bahkan melalui pasukan Truna Goak (pasukan gabungan Bali Aga, Jawa, Bugis); Panji Sakti berhasil melakukan invasi ke Blambangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun