Mohon tunggu...
Abdillah Imron Nasution
Abdillah Imron Nasution Mohon Tunggu... Dosen -

Berdomisili dan bekerja di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kesiapsiagaan Bencana di Rumah Sakit

1 Agustus 2015   23:31 Diperbarui: 6 September 2015   21:32 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia diatur terutama melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan peraturan-peraturan pemerintah serta peraturan presiden turunan dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007. Pelaksanaan penanggulangan bencana di pusat maupun di daerah akan memerlukan koordinasi dengan semua sektor dan unsur masyarakat. Pembagian peran di antara para pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana juga akan menjadi hal yang yang sangat dibutuhkan dalam upaya pengurangan risiko bencana di daerah.

Di Aceh, beberapa penguatan regulasi penanggulangan bencana dan pemaduan program pengurangan risiko bencana telah mulai diterapkan sejak pasca rehab rekon. Dalam pelaksanaan, kegiatan ini telah berhasil mengaktualisasikan peta risiko menjadi dasar perencanaan daerah yang berwawasan pengurangan risiko bencana, seperti Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontinjensi yang diperkuat dengan peraturan bupati. Hanya saja, potensi ini belum bersinergi dengan kepemimpinan di daerah. 

Unsur penting lainnya yang diperlukan untuk mewujudkan kesiapsiagaan di Aceh yang sampai saat ini belum mendapat perhatian adalah rumah sakit dan sumber daya kesehatan. Menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), penguatan kesiapsiagaan rumah sakit dan sumber daya kesehatan dalam sistim peringatan dini dan jalur evakuasi di rumah sakit yang saat ini luput dari perhatian, sehingga masih banyak rumah sakit yang belum memiliki sistim koordinasi kedaruratan. Padahal, kesiapsiagaan di rumah sakit menjadi penting ditingkatkan karena selain sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan saat terjadi bencana, rumah sakit juga merupakan fasilitas yang di dalamnya terdapat kelompok rentan yang distribusi mobilitasnya tersebar hampir di semua ruangan. Sangat dibutuhkan sistim kesiapsiagaan dan peringatan dini di rumah sakit yang bersinergi di dalam sebuah sistim koordinasi kedaruratan rumah sakit yang terdiri dari standard operational procedure kedaruratan bencana di rumah sakit, aktivitas dan pelaku kunci, dan jalur evakuasi rumah sakit yang mencakup tempat evakuasi sementara dan tempat evakuasi aman.

Menurut data BPS, Provinsi Aceh memiliki 23 rumah sakit yang merupakan milik pemerintah daerah, 12 unit milik swasta/ perusahaan, dan 3 milik TNI/ POLRI. Dari total 38 rumah sakit yang terdapat di Aceh, kurang 1% yang telah memiliki jalur evakuasi dan belum memiliki sistim koordinasi kedaruratan. Ini sangat mengkhawatirkan dimana pada kenyataannya beberapa rumah sakit terletak pada daerah yang berisiko bencana. Seperti Rumah Sakit Ibu Anak dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Kota Banda Aceh yang terletak pada daerah rawan tsunami. Rumah sakit di beberapa kabupaten juga terletak pada daerah berisiko bencana kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung api, angin puting beliung dan kegagalan teknologi. Sangat dibutuhkan fasilitasi sistim koordinasi kedaruratan terhadap rumah sakit di Aceh yang tentunya dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan peringatan dini yang terkoordinasi dengan BPBA, BPBD, Dinas Kesehatan dan pemilik rumah sakit baik pemerintah daerah, TNI? POLRI, maupun pihak swasta.

Upaya ini hendaknya memfokuskan permasalahan kepada bagaimana menyempurnakan dan memfasilitasi pembuatan sistim koordinasi dan kedaruratan di rumah sakit dengan mempertimbangkan kelompok rentan, sumber daya kesehatan di sekitar jalur evakuasi, dan risiko bencana yang kemungkinan terjadi untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta sektor kesehatan dalam kesiapsiagaan dan peringatan dini. Sistim koordinasi dan kedaruratan ini adalah sistim yang terdiri dari standard operational procedure kedaruratan bencana di rumah sakit, aktivitas dan pelaku kunci, dan jalur evakuasi rumah sakit yang mencakup tempat evakuasi sementara dan tempat evakuasi aman. Sistim ini tidak saja berguna bagi petugas kesehatan dan masyarakat yang bekerja dan sedang mendapat perawatan tapi juga dapat meningkatkan kesiapsiagaan pendatang yang belum mengenal baik rumah sakit tersebut.

Selain Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BNPB, UU No. 24 tahun 2007 juga mengenali peran serta pihak lain yang seharusnya berperan dalam upaya-upaya penanggulangan bencana, yaitu lembaga usaha dan lembaga internasional. Pasal 28 UU No. 24 tahun 2007 merumuskan peran lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. 

Pelibatan dunia usaha dalampenanggulangan bencana di Aceh dapat dikatakan masih jauh dari aktif. Ini semakin mengkhawatirkan disaat kepemimpinan di daerah masih memerlukan adanya peningkatan kepemimpinan yang berwawasan pengurangan risiko bencana untuk memperkuat efisiensi regulasi dan pemaduan program pengurangan risiko ke dalam rencana pembangunan. Sudah pasti, rencana pembangunan yang berwawasan pengurangan risiko bencana yang direncanakan oleh pemerintah daerah membutuhkan keterlibatan entitas lain. Salah satu entitas yang seharusnya berperan aktif adalah dunia usaha atau perusahaan. Kedua entitas ini memiliki tanggung jawab sosial untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini ditetapkan ke dalam suatu mekanisme yang disebut program Corporate Social Responsibility (CSR). Integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam program-program CSR perusahaan harus segera dimulai. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran kritis, kapasitas dan daya tawar politik pemerintah daerah dengan mendorong dunia usaha dan perusahaan untuk mengubah orientasi kebijakan strategis di daerah untuk melibatkan dan bekerja sama dengan dengan dunia usaha/ perusahaan dalam kerangka pencapaian perencanaan pembangunan yang berwawasan pengurangan risiko bencana.

Sementara itu, untuk masyarakat yang berada di garis depan dan berhadapan langsung dengan ancaman bencana tetap harus tersentuh oleh program-program penguatan kapasitas yang beraspek berkelanjutan untuk mencapai desa tangguh. Hal ini akan tercapai dengan adanya sinergitas antara rencana dan regulasi daerah dengan rencana aksi di masyarakat. Dengan adanya pendampingan terhadap rencana-rencana aksi di tingkat komunitas diharapkan akan dapat meningkatkan keberdayaan komunitas dalam memahami potensi, ancaman, kerentanan, kapasitas terkait ancaman bencana tertentu, serta merumuskannya dalam pengurangan risiko bencana yang efektif dan partisipatif. Tentunya pendampingan terhadap masyarakat dalam mengimplementasikan rencana aksi dalam penanggulangan bencana ini harus tetap terkoordinasi dengan BPBD dan forum kebencanaan di kabupaten ataupun provinsi, terutama rencana-rencana aksi yang mengedepankan pengurangan kerentanan pada kelompok rentan seperti ibu hamil, lansia, kelompok miskin, dan orang-orang cacat. Dapat dibayangkan jika konektivitas yang baik ini akan menjadi sia-sia karena kurangnya kapasitas kebencanaan di rumah sakit dan sumber daya kesehatan yang ada. 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun