Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Telanjang

20 Juli 2017   09:23 Diperbarui: 20 Juli 2017   13:36 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah "telanjang", sebuah metafor yang menggambarkan sikap diri apa adanya, sebagaimana apa yang terjadi pada diri dengan apa adanya. Esensinya tidak dilebihkan, juga tidak dikurangi. Tentu untuk menyatakan fakta diri sendiri dengan polos dalam 'kenaturan'.

Manusia sedang bertelanjang ketika ia tidak telanjang. Segala sesuatu memang bisa ditutupi, tapi tidak dengan ketelanjangan itu sendiri! Semua manusia boleh mengenakan apa saja menutupi auratnya yang fana. Tetapi hati---di mana sumber kehidupan itu berada---justru tak tertutupi oleh apapun juga, dan dalam situasi apapun, hati kita memang selalu telanjang.

Secara aksiomatis, semua insan manusia hakikatnya telanjang! Manusia telanjang, sebab tidak lagi berangan-angan untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan putih, dan kalimat-kalimat absolut, juga klaim moral-ideal. Dengan ketelanjangan, manusia menjadikan tutur dan ujaran, serta sikap dan perilaku, sebagai kondisi konkrit sebagaimana adanya. Tanpa ia harus takut dinilai oleh manusia-manusia berlidah moral. Sehingga pada titik ini, ketelanjangan adalah depersonifikasi yang membedakan manusia sebagai dimensi keunikan dari yang lain: yang bendawi.

Keunikan natur manusia adalah roh-jiwa-badan. Di sini, ketelanjangan menyentuh sisi "roh yang bernurani" yaitu "rohani" dalam diri individu. Keunikan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai sesama, adalah wajah yang telanjang. Sebagaimana dikatakan Levinas dalam filsafat wajahnya, bahwa .."wajah yang telanjang itu mengatakan kepadaku, jangan membunuh saya, terimalah saya! Saya harus taat pada keunikan sesama". Levinas dalam hal ini tidak mengartikan "wajah" sebagai sesuatu yang bersifat fisis-biologis, yang artinya raut muka yang fisik. Tetapi  menunjukkan wajah sebagai bentuk kehadiran "dia yang lain". Wajah dalam pemahaman filsafat Levinas, adalah entitas yang tampil di hadapan saya sebagai realitas yang berdiri sendiri; suatu penampilan dari dia yang lain. Penampilan wajah dalam kondisi seperti ini adalah suatu ketelanjangan.

Ketelanjangan wajah adalah ketelanjangan yang paling telanjang. Ketelanjangan yang paling telanjang adalah juga tanda kepolosan dan kelurusan dari wajah itu sendiri. Karena kepolosannya itu hadirlah fenimena kemiskinan yang sangat hakiki. Pada dimensi seperti ini, ketelanjangan mewartakan kemiskinan dan ketakberdayaan orang lain yang tampil di hadapanku. Orang lain yang tampil sebagai wajah adalah dia yang datang dari kepolosan dan kemiskinannya.

Maka hati yang telanjang mengukir nomenklatur yang serba telanjang. Sebab ketelanjangan itu jujur, sederhana dan tidak mencubit.

Itu sebabnya, dalam ketelanjangan insan manusia, semua hitam adalah putih, dan semua putih adalah hitam. Manusia memiliki apa yang kurang (kekurangan), tetapi juga apa yang lebih (kelebihan). Realitas kurang-lebih dalam ketelanjangan, mengkondisikan natur manusia sebagai realitas alam yang lain dari entitas diluar dirinya sendiri, tetapi derajadnya menjadi sama di dalam wajah-wajah moral sesama.

Hakikat ketelanjangan dalam realitas alam seperti ini, merupakan syariat tak terbantahkan dalam realitas sosial. Kenyataan-kenyataan alam, termasuk manusia di dalamnya, menjadi pusat aturan main tentang bagaimana membangun kenyataan sosial sebagai nilai-nilai luhur dalam progeni yang kesetaraan yang hakiki.

Ya, nilai-nilai itu menentukan ketelanjangan manusia menjadi rhema bagi hidup manusia itu sendiri. Jika teater ketelanjangan ini gagal, maka aktor ketelanjangan manusia pun menjadi tidak bermoral.

Akhirnya, pada tempat yang telanjang, manusia membuka segalanya. Semua tak tersembunyi, bahkan tak tertutupi. Dan dalam setiap jejak ketelanjangannya, segalanya pun tak lekang oleh sang waktu. Sebab manusia bersuara jujur dan apa adanya.

Sehingga setiap kejujuran pun menyibak halwa dalam candu kenikmatan, yang meragkai madu-madu fardu menjadi  kian abadi dalam realitas ketelanjangan itu sendiri. Sebab sesungguhnya, manusia datang dengan telanjang, dan akan pergi dengan ketelanjangan itu sendiri. Inilah manusia dalam ketelanjangannya yang sesungguhnya ia telanjang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun