Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Berjuta Alasan untuk Tidak Membeli Mobil Pribadi di Jakarta

27 Februari 2020   09:22 Diperbarui: 27 Februari 2020   14:37 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di saat semua orang memimpikan punya mobil pribadi, kami malah enggan memilikinya. 

Alasan utamanya adalah karena "Jakarta." Kami tinggal di kota yang menurut survey TomTom Index berada pada peringkat 10 sebagai kota termacet di dunia (kompas.com)

Dalam hal ini mempunyai mobil pribadi hanya akan menambah beban permasalahan hidup sendiri dan juga orang lain. 

Ketika seseorang membeli mobil, yang ingin didapat seharusnya adalah kemudahan dalam hal transportasi. Terutama bagi mereka yang anggota keluarganya banyak. Namun di Jakarta bisa terjadi sebaliknya. 

Jakarta tidak hanya berhadapan dengan macet tapi juga crowded. Crowded di sini bisa diartikan kacau atau banyak pengendara ugal-ugalan atau melanggar lalu lintas. 

cnnindonesia.com mentatat jumlah pelanggaran tahun 2019 mencapai 167.928 pelanggaran dari operasi patuh jaya. Dari jumlah sebanyak 114.673 mendapat surat tilang dan 53.255 lainnya mendapat teguran.

"Tahun lalu tilang 70.226. Sekarang naik 63,29 persen," kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP M Nasir.

Jumlah tersebut belum termasuk pelanggaran-pelanggaran lain yang tak tertangkap dan tercatat. 

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi
Mobil di Jakarta lebih banyak dianggurkan

Beberapa kerabat yang memiliki mobil pribadi mengaku lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk berangkat kerja. Alasannya tentulah macet. 

Jarak lokasi kerja yang tak seberapa dan biasa ditempuh dalam waktu beberapa menit saja malah bisa memakan waktu berjam-jam jika menggunakan mobil pribadi. 

Namun, masih ada juga rekan kami yang tetap memilih membawa mobil. Yang model ini biasanya akan menjadi seorang pejuang pergi pagi pulang petang. Maksudnya, mereka berangkat pagi buta dan pulang larut malam.

Berkaca dari sana, bukankah memiliki mobil malah justru menyusahkan dan mubazir?

Di Jakarta ada juga yang tidak punya rumah tapi punya mobil. Model begini kalau di kampung halaman saya di Jawa akan jadi bahan tertawaan. 

Pasalnya masyarakat Jawa menganggap tempat tinggal adalah kebutuhan utama sementara mobil hanyalah kebutuhan tambahan. Orang yang punya mobil tapi tak punya rumah artinya lebih mementingkan gengsi ketimbang kebutuhan. 

Tapi di Jakarta, hal seperti ini sudah dianggap lumrah. Harga tempat tinggal di Jakarta diluar nalar dan bila dibandingkan dengan harga mobil tentulah berbeda jauh. 

Mobil di Jakarta sudah bukan lagi barang mewah. Jadi maklum saja kalau orang mudah beli mobil tapi belum tentu punya tempat tinggal sendiri alias masih ngontrak atau punya rumah tapi di daerah lain (kampung halaman).

Nah, masalahnya adalah banyak dari mereka yang memiliki mobil pribadi tinggal di area pemukiman yang tidak bisa dilalui mobil alias masuk ke gang kecil. 

Itulah salah satu pemicu munculnya sewa lahan parkir di Jakarta. Harganya bisa bermacam-macam, kalau di dekat tempat saya sekitar 300 hingga 400 ribuan per bulan. Jadi jika punya mobil, kami harus menyisihkan dana untuk sewa lahan parkir sejumlah itu. 

Belum berhenti disitu, memiliki mobil juga harus memikirkan biaya tambahan lain-lain seperti, biaya parkir yang hitungannya perjam dan biaya tol.

Di Jakarta tak ada yang gratis. Sekadar parkir motor di Indomaret saja kita harus bayar 2000, apalagi ke mall, rumah sakit atau gedung-gedung tertentu yang hitungan parkirnya perjam. Bisa-bisa kita menghabiskan jutaan rupiah per bulan hanya untuk parkir. 

Selain itu masih ada biaya operasional lain. Contohnya saja ketika kita bepergian pastilah butuh bahan bakar. Kita juga harus menyediakan dana cadangan jika sewayah-wayah terjadi kerusakan atau mogok di tengah jalan.

Sejauh ini saya sendiri lebih terbiasa dan nyaman menggunakan transportasi umum. Jakarta memang gudangnya transportasi umum, ada bus trans Jakarta, bajai, Commuterline, LRT, MRT, taksi konvensional hingga ojek online yang jumlahnya sudah mencapai ratusan ribu. 

LRT / doc.pri @irerosan
LRT / doc.pri @irerosan

commuterline/dokpri @irerosana
commuterline/dokpri @irerosana

MRT / dokpri @irerosana
MRT / dokpri @irerosana

Selain kualitasnya yang bisa dibilang cukup baik, harganya pun sangat terjangkau. Kalaupun sedang malas menggunakan trasportasi massal kita bisa memilih alternatif lain seperti taksi online (taksol). 

Keuntungannya adalah selain tidak perlu repot menyetir, kita juga terhindar dari biaya-biaya operasional seperti yang tadi disebutkan.

Kalau dihitung-hitung dengan asumsi jarak sama, jumlah biaya operasional menggunakan kendaraan pribadi sepertinya lebih banyak ketimbang harga yang harus dibayar untuk menyewa taksol.

Dari naik transportasi umum pula saya menemukan banyak ide-ide segar dan pengalaman yang unik. Asik lho ternyata, berbaur dengan banyak orang dan melihat hal-hal yang berbeda -beda setiap hari. 

Kalau benar dirunut, ada berjuta alasan untuk tidak memakai kendaraan pribadi di kota ini. Jadi wajar kiranya jika kami memilih untuk tidak membeli mobil dan mengalihkan dana untuk investasi lain yang jelas lebih menguntungkan. 

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun