Mohon tunggu...
Zuraini Basyar
Zuraini Basyar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

menulis untuk berbagi info dan pengalaman.\r\n\r\nmenulis juga di zurainibasyar.wordpress.com.\r\n\r\ntwitter: @zuraini_basyar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lho, Kok Nawarnya Lebih Mahal?

9 Desember 2012   05:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:58 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau Anda sering belanja di pasar tradisional, pasti sudah tak asing lagi dengankegiatan tawar-menawar. Ya, lain halnya dengan belanja di mall atau supermarket dimana semua barang sudah dibanderol dengan harga pas, di pasar tradisional masihada ruang untuk tawar-menawar. Kalau ada kesepakatan harga antara pembeli dan penjual, maka terjadilah transaksi.

Tapi kali ini saya bukan ingin menceritakan proses tawar-menawar di pasar. Saya cuma ingin bercerita pengalaman unik terkait tawar-menawar ini.

Pengalaman ini terjadi pada tahun 90-an. Waktu itu, kantor saya melaksanakan kegiatan di luar kota. Kalau tidak salah, kegiatannya di daerah Cianjur. Dalam perjalanan pulang, mobil singgah sebentar di suatu tempat. Beberapa teman memanfaatkan kesempatan ini untuk berbelanja oleh-oleh untuk dibawa pulang. Seorang remaja mendekat ke rombongan kami, menawarkan kue moci yang dikemas dalam kotak-kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu.

“Moci Pak, Bu. Empat kotak sepuluh ribu.”

Kami melihat-lihat moci yang ia tawarkan. Moci adalah penganan yang terbuat dari tepung beras ketan, dibentuk bulat-bulat kecil, dan pada bagian luar diberi tepung maizena agar tidak lengket. Ada beberapa variasi rasa moci seperti moci rasa durian, rasa pandan, rasa coklat, moci isi kacang dll. Teksturnya kenyal, rasanya enak, dan karena ukurannya kecil kalau makan tidak cukup satu biji J. Moci yang terkenal dari daerah Sukabumi.

Bos saya tampak tertarik pada salah satu varian moci. Katanya, “Mahal amat. Tiga sepuluh ribu ya.”

Mendengar tawaran beliau, sontak kami tertawa. Lho, kok lebih mahal? Bos saya cuma tersenyum, dan melanjutkan transaksi dengan harga yang ia tawarkan.

Saya sebenarnya tidak heran dengan gaya menawar si Bos. Sebelumnya, saya pernah melihat ia membeli sesuatu. Sewaktu ngobrol-ngobrol, si Bos cerita ia membeli barang tersebut lebih karenaingin membuat laris dagangan si penjual. Sebelum bertemu si Bos, walaupun sudah keliling seharian si penjual belum juga berhasil menjual barang dagangannya.

Saya merasa tersentuh. Empati dan peduli pada orang kecil, itulah pelajaran yang saya dapat dari si Bos.Dan alhamdulillah, saya juga pernah bertemu dengan orang yang lebih kurang satu tipe dengan bos saya. Kali ini kejadiannya di sebuah stasiun kereta api di Jakarta. Seorang ibu sambil mengasuh dua anak balita menjual tissue di bawah tangga stasiun. Harga tissue per bungkus dua ribu rupiah. Bila beli tiga bungkus, harganya menjadi lima ribu rupiah. Beberapa orang yang lewat, mampir membeli tissue.

“Beli tissuenya satu bungkus Bu,” seorang ibu mengambil sebungkus tissue serta menyerahkan selembar uang lima ribuan, dan ia langsung berlalu.

“Bu, ini kembaliannya, “ si penjual memanggil.

“Tidak usah Bu, buat Ibu saja, “ ibu itu tersenyum dan kembali melangkah.

Saya yang mendengar percakapan mereka menjadi tertegun. Sebuah pelajaran lagi. Tampaknya saya harus mulai meningkatkan kepedulian untuk berbagi, meskipun dengan nilai rupiah yang terbilang kecil.

Salam peduli J

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun