"Mas, tampaknya aku harus mundur dari pekerjaan ini. Selalu saja hatiku bertentangan dengan kenyataan yang ada. Aku nggak betah, Mas!" keluhku pada Mas Hamid hampir setiap hari kalimat ini kusampaikan saat dia pulang kerja.
Ini keluhanku yang mungkin sudah ke seribu kali. Untung saja Mas Hamid tipe lelaki yang tidak mudah tersulut emosinya.
Kadang dia hanya melirikku  sambil menyelesaikan pekerjaannya, dan memperhatikan semua luapan emosiku. Kadang juga hanya ditanggapi sambil lalu, malah asyik  membaca koran.
Dasar lelaki, tidak pernah mau mendengarkan keluhan perempuan, batinku mendengus pelan.
Aku tidak peduli dengan sikapnya yang seperti datar saja. Bagiku menyampaikan unek-unek itu sudah merasa puas dan lega, apalagi jika ditanggapi dengan serius.
"Mbok ya coba kamu berpikir jernih lagi. Seperti saat ini kan nggak mudah jika cari kerjaan, kok malah pingin berhenti. Nggak sayang, tuh dengan posisimu di tempat kerja?"
Mas Hamid kali ini menanggapi kalimat-kalimatku dengan cukup serius. Mungkin sebenarnya dia juga  sebel dan muak mendengar segala keluhanku yang hampir tiap hari terdengar seperti kaleng roti yang dipukul. Sember dan tidak bernada!
"Mas, lama-lama aku bisa stress, tahu nggak. Cobalah pahami dikit saja," rengekku minta perhatiannya.
Aku, Santi, perempuan berumur empat puluh tahun yang memiliki dua anak remaja. Â Sejak berusia muda, Â sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Akhir-akhir ini banyak menemui hal yang di luar ekspektasi dan jauh dari nurani.
Pergantian pimpinan perusahaan yang sudah berjalan sekitar dua tahun, telah banyak memberikan perubahan.
Sayang sekali perubahan yang diharapkan kadang jauh dari hati  nurani. Hal ini sangat dirasakan oleh beberapa karyawan senior, termasuk  diriku.